Mohon tunggu...
Gde PutraDananjaya
Gde PutraDananjaya Mohon Tunggu... Freelancer - Part-time analyst, full-time megalomania.

A Nederland graduate. Currently livin in Bali. Part-time analyst, full-time megalomania.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Salah Kaprah Kondisi Keuangan Indonesia dikarenakan Wabah Virus Corona

22 Maret 2020   15:15 Diperbarui: 22 Maret 2020   21:05 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/03/26/kondisi-utang-luar-negeri-indonesia-1998-dengan-2017

“Dollar melewati 16 ribu, negara bangkrut?”

“Krisis 1998 terulang kembali?”

Begitulah opini yang terbentuk di masyarakat ketika mengetahui nilai tukar Rupiah terhadap US$ melewati Rp16.000,- pada hari kamis, 19 Maret 2020. Well, ketakutan seperti ini merupakan bentuk kewajaran, karena harga nilai tukar Rupiah pada kamis tempo hari merupakan yang tertinggi sejak 1998. Lalu, apakah benar Indonesia sedang krisis dikarenakan wabah virus COVID-19? Penanganan wabah virus COVID-19 atau yang lebih dikenal dengan coronavirus oleh pemerintah Indonesia memang cukup lambat. Growth rate suspect mencapai 1,2 – 1,4x per hari, death rate di Indonesia juga cukup tinggi, sekitar 8% atau bisa dikatakan salah satu yang tertinggi di dunia. Akan tetapi, dari sisi ekonomi, Indonesia sebenarnya masih sangat jauh dari kondisi krisis. Saya sebenarnya ada 2 alasan logis untuk pernyataan ini.

Cadangan Devisa Indonesia

Mengutip data dari CNBC Indonesia, cadangan devisa Indonesia per Februari 2020 mencapi US$130,4 milyar. Jumlah ini, hampir 6x lipat dari cadangan devisa Indonesia pada tahun 97/98 yang hanya mencapai US$23 miliar. Semakin tebal dan semakin tinggi cadangan devisa suatu negara, merefleksikan ketahanan ekonomi suatu negara.

Perbandingan Hutang dan PDB Indonesia

Banyak berita yang mengatakan hutang Indonesia terus meningkat. CNBC bahkan melaporkan, pada Februari hutang Indonesia mencapai Rp 4.817 triliun atau setara 30.21%. Well, tingkat hutang yang mencapai 30% PDB sebenarnya masih jauh di batas maksimal tingkat hutang yang diijinkan dalam undang – undang. Berdasarkan UU 17/2003, jumlah maksimal perbandingan hutang dengan PDB adalah 60%. Jadi, kondisi saat ini bisa dikatakan masih terkendali.

Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa US$ bisa melambung setinggi itu jika kondisi keuangan dalam negeri masih baik – baik saja? Salah satu faktor utama dalah kondisi ekonomi Amerika serikat yang jauh dari kata baik saja. Dikarenakan wabah yang sama, coronavirus, JP Morgan baru saja membuat prediksi pertumbuhan PDB Amerika Serikat. Laporan yang diterbitkan pun cukup mencengangkan, yakni pertumbuhan ekonomi Amerika serikat “tumbuh” -4% pada kuartal 1 dan -14% pada kuartal 2. Well, pertumbuhan yang “fantastis” tersebut tentu saja membuat kepanikan luar biasa bagi para pelaku usaha dan investor yang sudah menanamkan modalnya di bisnis riil ataupun berbagai macam produk investasi. Saat ini “cash is king” dan terjadilah likuidasi besar – besaran di seluruh instrumen investasi di seluruh dunia.

https://www.nytimes.com/reuters/2020/03/18/us/18reuters-health-coronavirus-jpmorgan-usa.html
https://www.nytimes.com/reuters/2020/03/18/us/18reuters-health-coronavirus-jpmorgan-usa.html
Indonesia pun, terkena dampaknya akibat aksi ini. Untuk menjaga likuiditas perusahaan, hedge fund (sejenis reksadana) di Amerika serikat memutuskan untuk menglikuidasi asset – asset mereka yang tidak hanya ada di dalam negeri, tetapi yang ditanam di berbagai macam negara berkembang, contohnya Indonesia. Dalam seminggu ini saja, data IHSG menyebutkan ada sekitar Rp 2,46 triliun net foreign sales atau dana yang keluar dari Indonesia. Arus kas yang keluar sebesar itu menyebabkan nilai IHSG rontok sebesar 14.5% dalam waktu seminggu saja. Dus, arus kas yang keluar tidak hanya berdampak terhadap IHSG, tapi juga menyebabkan US$ melambung jauh ke atas hingga mencapai lebih dari Rp 16.000,-.

https://www.rti.co.id/?m_id=1&sub_m=s1#inv_cht
https://www.rti.co.id/?m_id=1&sub_m=s1#inv_cht
Well, dikarenakan wabah coronavirus di Indonesia maupun Amerika Serikat belum mencapai puncaknya, kondisi yang cukup chaos seperti ini bisa berlangsung hingga bulan Juni atau bahkan Juli. Terlalu menguatnya US$ dan melemahnya Rupiah sebenarnya merugikan kedua belah pihak. US$ yang terlalu kuat akan mengakibatkan nilai produk maupun jasa yang di ekspor oleh Amerika Serikat akan menjadi semakin mahal. Apalagi diperparah dengan kondisi ekonomi di dalam negeri yang tidak bagus juga, presiden Trump akan berusaha sangat keras agar nilai tukar US$ menjadi menarik kembali. PR Indonesia dengan Amerika sebenarnya sama, menjaga aktivitas ekonomi selama wabah corona dan menyeimbangkan nilai tukar supaya neraca dagang tetap seimbang. Sebagai informasi, nilai tukar dalam APBN 2020 adalah Rp 14.400/US$, sehingga, terlalu melemahnya nilai tukar akan mengacaukan hitungan biaya dan pendapatan negara.

https://bisnis.tempo.co/read/1322013/skenario-terburuk-corona-sri-mulyani-ekonomi-tumbuh-0-persen
https://bisnis.tempo.co/read/1322013/skenario-terburuk-corona-sri-mulyani-ekonomi-tumbuh-0-persen
Sebagai penutup, wabah virus COVID-19 ini harus ditanggapi dengan sangat serius oleh pemerintahan presiden Jokowi. Kondisi terkini keuangan Indonesia memang masih sehat, akan tetapi, wabah  coronavirus ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi yang selama beberapa tahun terakhir sudah berlangsung cukup baik. Jika penanganan wabah ini terus berlarut – larut, sesuai dengan pernyataan bu Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi kita bisa terancam tidak tumbuh sama sekali alias 0%.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun