Jingle Jangle: A Christmas Journey, merupakan salah satu film natal yang ditayangkan di Netflix sejak hari Jumat lalu (13/11/2020).
Film ini dibintangi oleh Forest Whitaker, Keegan-Michael Key, Hugh Bonneville, Anika Noni Rose, Madalen Mills, Phylicia Rashad dan Ricky Martin. Disutradarai oleh David E. Talbert serta penata musik oleh John Debney.
Banyak hal yang menjadi kejutan ketika menonton film ini.
Film ini bergenre musikal ala broadway yang mengingatkan kita akan The Greatest Showman-nya Hugh Jackman.
Dengan lagu-lagu yang sarat makna serta parade tarian yang memukau pasti akan segera mendapat perhatian dari para pencinta film musikal.
Padahal jika dilihat secara sekilas dari posternya, tidak nampak tanda-tanda nya bahwa film ini adalah film musikal.
Ini baru kejutan pertama.
Film ini juga meniadakan hampir semua ornamen natal yang biasanya hadir di film bertemakan natal, seperti lagu-lagu natal yang syahdu, kebersamaan keluarga ketika makan natal bersama, bahkan tidak ada satupun wujud Santa Claus dengan rusa kutubnya sedang membagikan hadiah natal.
Selain itu, baru kali ini rasanya melihat Forest Whitaker yang berperan sebagai Jeronicus Jangle, bernyanyi dan menari.
Whitaker yang biasanya dikenal dengan peran-perannya yang serius mampu menghadirkan sosok ayah dan kakek yang tengah berjuang melawan luka di masa lalunya dan terlihat rapuh sampai akhirnya bisa bangkit kembali dengan bantuan Jessica, anaknya dan Journey, cucunya.
Ricky Martin juga gemilang memberikan nyawa lewat suaranya untuk karakter boneka Don Juan Diego yang narsis dan licik. Alunan lagu yang bernuansa Zorro pun dilantunkan Ricky Martin dengan sangat apik.
Namun di balik semua itu, ada banyak sekali pelajaran yang sangat berharga dari film ini mengenai perjuangan melawan trauma, nilai sebuah keluarga dan kekuatan rasa percaya, hal-hal yang memang sangat dibutuhkan oleh dunia saat ini di masa pandemi.
Tidak ada orang yang tidak pernah terluka, semua pasti pernah mengalami masa-masa sukar dalam hidup di masa lalu yang kadang membawa trauma dan luka sampai masa kini.
Maka dari itu, film ini mengajarkan untuk tidak terlalu berpegang kepada harta benda, kebanggaan, atau apapun itu bentuknya yang bisa membuat kita merasa berharga selain diri kita karena apabila satu saat itu semua 'diambil', kita tetap bisa mampu berdiri dan berjuang kembali.
Film ini juga mengajarkan untuk belajar memaafkan dan melupakan setiap trauma dan luka di masa lalu dengan cara menghargai dan bersyukur atas apa yang ada saat ini terutama kehangatan sebuah keluarga yang mampu menyembuhkan setiap trauma.
Karena keajaiban akan terjadi bukan pada apa yang telah hilang dalam hidup tapi apa yang saat ini masih ada.
Nama Journey sebagai cucu Jeronicus Jangle pun rasanya dipilih dengan alasan tertentu. Ia mengajarkan tentang akar kuadrat dari ketidakmungkinan adalah mungkin kalau kita punya rasa percaya.
Untuk membangun rasa percaya bahwa semua masalah dan rintangan dapat kita hadapi adalah sebuah perjalanan (journey) kehidupan. Tidak ada yang instant.
Akhir kata, hadapilah perjalanan kehidupan ini dengan semua halang rintangnya dengan rasa percaya bahwa kita mampu dan bisa melewatinya.
Karena Square root of impossible is possible.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H