Mohon tunggu...
Gabriela Vanessa Pantas
Gabriela Vanessa Pantas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Saya merupakan seorang mahasiswa program studi Pariwisata yang senang mengulik tentang pariwisata dan ingin berbagi cerita di sini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Ekowisata Indonesia: Masa Depan Ada di Tangan Siapa?

4 Desember 2022   14:15 Diperbarui: 4 Desember 2022   14:20 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Nasional Alas Purwo (Sumber: instagram.com/btn_alaspurwo)

Istilah ekowisata kian kerap digunakan dalam beberapa dekade terakhir. Semakin banyak destinasi wisata yang melabelkan dirinya sebagai destinasi yang menerapkan prinsip-prinsip ekowisata. 

Definisi ekowisata sendiri menurut Fennell (2008) merupakan bentuk wisata berbasis alam yang berkelanjutan serta non-invasif yang berfokus terutama pada pembelajaran tentang alam secara langsung, dikelola secara etis agar berdampak rendah, tidak konsumtif, dan berorientasi pada masyarakat lokal (kontrol, manfaat, dan skala). Ini biasanya terjadi di daerah alami dan setidaknya harus berkontribusi pada konservasi di daerah tersebut. 

Wallace dan Pierce (1996) dalam Fennell (2008) juga menyatakan bahwa suatu destinasi dapat dikatakan sebagai ekowisata apabila memenuhi enam prinsip utama sebagai berikut:

  1. Jenis pemanfaatan yang meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat;

  2. Adanya kesadaran dan pemahaman tentang sistem alam dan budaya suatu daerah serta keterlibatan pengunjung selanjutnya dalam masalah yang mempengaruhi sistem tersebut;

  3. Konservasi dan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan alami lainnya

  4. Terdapat partisipasi awal dan jangka panjang oleh masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan jenis dan jumlah kegiatan pariwisata yang harus dilakukan;

  5. Mengarahkan manfaat ekonomi dan manfaat lainnya kepada masyarakat lokal yang melengkapi, bukan menggantikan praktik-praktik tradisional (pertanian, perikanan, sistem sosial, dsb.);

  6. Terdapat penyediaan kesempatan khusus bagi masyarakat lokal dan pegawai wisata alam untuk memanfaatkan dan mengunjungi kawasan alam serta mempelajari lebih banyak tentang keajaiban alam maupun budaya yang dilihat oleh pengunjung lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekowisata cenderung berfokus pada konservasi, baik konservasi alam maupun budaya serta peningkatan taraf hidup masyarakat lokal. Sayangnya, implementasi dari ekowisata tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Terdapat beberapa contoh kasus di destinasi ekowisata yang menunjukkan adanya implementasi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.

Salah satu contoh kasus terkait permasalahan ini yaitu kasus yang terjadi di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Destinasi ini mengalami masalah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. 

Pihak Balai Taman Nasional Alas Purwo yang dinilai kurang akomodatif terhadap warga di sekitar taman nasional dianggap menjadi penyebab terjadinya praktik illegal logging dan perburuan satwa-satwa yang dilindungi. Permasalahan terkait status pajak bagi perusahaan jasa pariwisata di sekitar taman nasional juga belum terselesaikan hingga kurun tahun 2021. 

Adanya permasalahan terkait konservasi alam dan perekonomian tersebut akhirnya menimbulkan disintegrasi dan perbedaan sudut pandang antara para pengembang ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo, yaitu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Balai Taman Nasional Alas Purwo. 

Di satu sisi, pemerintah ingin menjadikan Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu daya tarik wisata yang mampu meningkatkan kunjungan wisatawan ke kabupaten tersebut. Namun, di sisi lain, Balai Taman Nasional Alas Purwo ingin menjaga fungsi utama taman nasional tersebut sebagai kawasan konservasi. 

Kasus yang kurang lebih sama, yakni terkait dampak ekologi dan kemungkinan-kemungkinan dampak ekonomi yang timbul akibat adanya implementasi prinsip-prinsip ekowisata yang kurang tepat juga terjadi di destinasi lainnya, yaitu di Kawasan Ekowisata Riam Pangar, Kalimantan Barat. 

Destinasi ini dikelilingi oleh kawasan alami berupa sungai, hutan, perkebunan, dan air terjun yang menjadikan tempat tersebut semakin asri dan menarik banyak wisatawan untuk berkunjung. 

Namun, sayangnya terdapat dampak ekologi negatif yang timbul akibat kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan ekowisata di destinasi ini. Masyarakat sekitar merasa bahwa dengan adanya pengembangan ekowisata di kawasan Air Terjun Riam Pangar dapat menimbulkan dampak pada area perkebunan maupun hutan yang ada di sekitar area objek wisata. 

Pembangunan akomodasi seperti tempat penginapan dan berbagai fasilitas lainnya dapat menyebabkan terjadinya pengurangan luas hutan dan perkebunan. Tindakan wisatawan domestik maupun mancanegara yang semena-mena membuang sampah sembarangan juga dinilai berkontribusi dalam perusakan kelestarian alam dan kebersihan yang ada di sana. 

Sementara dari segi ekonomi, pengembangan ekowisata di Riam Pangar dianggap meningkatkan inflasi dan menyebabkan harga jual tanah menjadi mahal sehingga masyarakat lokal cenderung kesulitan untuk membeli harga lahan di sana karena kalah dengan para investor dan wisatawan yang mampu membayar dengan harga yang lebih tinggi. 

Terjadi pula ketimpangan antar daerah dan kesenjangan pendapat antar kelompok masyarakat. Sumber daya manusia lokal yang ada di sekitar kawasan Ekowisata Riam Pangar juga dinilai masih kurang sehingga belum bisa berkontribusi secara optimal untuk pengembangan ekowisata. 

Air Terjun Riam Pangar (Sumber: instagram.com/riam_pangar)
Air Terjun Riam Pangar (Sumber: instagram.com/riam_pangar)

Berdasarkan dua contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa label "ekowisata" tidak dapat menjamin apakah suatu destinasi dapat terlepas dari berbagai masalah. Justru, dengan adanya label tersebut, semakin besar tanggungan dan ekspektasi yang harus dipenuhi oleh suatu destinasi.

Masalah illegal logging yang terjadi di Taman Nasional Alas Purwo dan konstruksi fasilitas pariwisata di kawasan Ekowisata Riam Pangar yang dikhawatirkan dapat mengurangi area hijau merupakan salah satu bentuk implementasi prinsip ekowisata yang kurang tepat, yaitu konservasi terhadap kawasan lindung dan alami. 

Permasalahan terkait status pajak bagi perusahaan jasa pariwisata di Taman Nasional Alas Purwo yang belum terselesaikan dan inflasi serta jurang kesenjangan ekonomi yang terjadi di kawasan Ekowisata Riam Pangar juga merupakan salah satu wujud kegagalan dari pengimplementasian prinsip ekowisata, yaitu mengarahkan masyarakat lokal pada manfaat ekonomi dan manfaat lainnya. Sudah seharusnya sumber daya manusia lokal juga turut dikembangkan dan dilibatkan dalam pengembangan suatu destinasi ekowisata agar masyarakat lokal juga turut merasakan manfaatnya. 

Apabila mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang pengembaangan kawasan ekowisata, sudah sepatutnya pelaku usaha ekowisata didorong dan diberikan dukungan untuk berkembang agar mampu menjadi sumber penggerak perekonomian di wilayah setempat dan memberikan manfaat pula bagi masyarakat lokal.

Mengingat bahwa ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata yang berorientasi pada konservasi alam, budaya, peningkatan pengetahuan, pendidikan, serta perekonomian masyarakat lokal, rasanya Indonesia merupakan negara yang tepat untuk mengembangkannya. 

Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya alam yang indah, tetapi juga potensi sumber daya manusia yang melimpah dan kebudayaan yang beragam. Isu-isu seperti yang telah dibahas di atas diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk ke depannya. 

Di masa mendatang, ada baiknya apabila pengembangan ekowisata di Indonesia bukan hanya digencarkan melalui pemasaran dan kunjungan wisatawannya saja, melainkan juga melalui pembuatan standar-standar yang harus dipenuhi dan pengawasan terkait implementasi dari prinsip-prinsip yang sudah ada. Pengembangan pariwisata boleh saja dilakukan, namun juga harus mengingat pentingnya konservasi dan manfaat bagi masyarakat lokal. 

Semua pihak, baik pemerintah, pengelola destinasi, masyarakat lokal, maupun akademisi sama pentingnya dan harus bersinergi serta bekerja sama untuk membangun ekowisata yang lebih baik di Indonesia. 

Apabila implementasi dari prinsip-prinsip ekowisata dilaksanakan dengan baik dan seluruh pihak bersedia untuk sepakat dan berkomitmen dalam pengembangannya, maka tidak heran jika di masa mendatang ekowisata di Indonesia akan semakin maju dan disenangi banyak orang. Pasti menyenangkan, bukan?

Referensi:

David Fennell. (2008). Ecotourism (3rd ed.). New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Pynanjung, P. A. dan Rianti, R. (2018). Dampak pengembangan ekowisata terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupten Bengkayang. Jurnal Nasional Pariwisata. 10(1). 22-38. Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/tourism_pariwisata/article/view/59469/29072. 

Wallace, G.N. and Pierce, S.M. (1996) 'An evaluation of ecotourism in Amazonas, Brazil', Annals of Tourism Research 23(4): 843--873.

Yuanjaya, P. (2021). Antara pariwisata dan ekologi: pengembangan ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo. 6(2). 261-281. Doi: 10.21776/ub.transformative.2021.007.02.6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun