Mohon tunggu...
Gazanovva Berlian
Gazanovva Berlian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Be Yourself!

Ambil yang baik, buang yang buruk, dan jadilah diri sendiri!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Cara Menyelesaikan Soal Cerita Matematika pada Anak Usia 5-6 Tahun

29 Desember 2022   21:19 Diperbarui: 29 Desember 2022   21:31 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Teori kognitif pada awalnya dikemukakan oleh Dewwy, dilanjutkan Jean Piaget, Kohlberg, Damon, Mosher, Perry dan lainnya, yang membicarakan tentang perkembangan kognitif dalam kaitannya dalam belajar. Kemudian dilanjutkan oleh Jerome Bruner, David Asubel, Chr. Von Ehrenfels Koffka, Kohler, Wertheimer dan sebagainya. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antar stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar melibatkan prinsip-prinsip dasar psikologi, yaitu belajar aktif, belajar lewat interaksi sosial dan lewat pengalaman sendiri. Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan para ahli sebelumnya mengenai belajar, sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada hubungan stimulus- respons-reinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Terdapat banyak pandangan tentang belajar, sehingga muncul berbagai teori belajar. Antara teori yang satu dengan teori lainnya berbeda-beda dalam mendefinisikan belajar. Teori belajar hadir dan muncul pada dasarnya disebabkan oleh para ahli Psikologi belum puas dengan penjelasan teori-teori yang terdahulu tentang belajar. Di antara teori belajar yang sangat terkenal adalah teori behavior dan teori kognitif. Dalam teori kognitif, belajar pada prinsipnya adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai perubahan tingkah laku yang kongkrit. Di sisi lain, teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa, belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti diungkapkan oleh Winkel bahwa "belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap, perubahan itu bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan        dan     pemahaman tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi perubahan sikap, dan seterusnya (Sutarto,   2017).  Pemahaman  tentang perkembangan kognitif pada anak juga menjadi pedoman dalam menentukan strategi, model, metode dan teknik evaluasi dalam pembelajaran. Anak akan lebih mudah memahami suatu materi apabila materi yang disampaikan oleh guru menggunakan metode yang sesuai dengan kemampuan anak dalam berpikir (Dian, 2018).

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang objek kajiannya bersifat abstrak sehingga memerlukan penalaran deduktif untuk memahaminya. Oleh karena itu, belajar matematika selalu dikaitkan dengan kesiapan kognitif. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan dari struktur kognitif. Kesiapan anak untuk belajar matematika ditinjau dari kesiapan struktur kognitifnya, yaitu kapasitas kemampuan berpikir secara terorganisir dan teratur. Struktur kognitif diperlukan untuk mengembangkan kemampuan penalaran yang dapat distimulasi melalui pengkajian matematis suatu objek. Jadi, ada hubungan timbal balik antara kesiapan struktur kognitif dengan pengembangan kemampuan penalaran dalam konteks belajar matematika (Juwantara, 2019).

Matematika merupakan salah satu jenis ilmu pengetahuan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika sedang berbelanja maka kita perlu menghitung jumlah benda yang akan dibeli dan harga yang harus dibayar. Ketika sedang dalam perjalanan, kita perlu mengingat arah tempat yang akan dituju, berapa lama waktu perjalanan, dan lainnya. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein - mathemata yang berarti belajar atau yang dipelajari. Dalam bahasa Yunani "Mathematike" yang berarti mempelajari, berasal dari kata mathema yang berarti ilmu atau pengetahuan (science, knowledge), (Syafdahningsih, 2020).

Matematika permulaan merupakan keterampilan dasar untuk memahami konsep matematika selanjutnya. Pada pengembangan matematika permulaan, diperlukan beberapa tahapan atau proses yang berkesinambungan dan berkaitan yang nantinya akan terus berkembang menjadi sebuah kemampuan. Adapun kemampuan atau pemahaman dasar anak pada matematika permulaan, yaitu: 1) Korespondesi satu persatu. 2) Membilang dan   menghitung.   3)   Mengurutkan.   4) Kalkulasi. 5) Klasifikasi. 6) Pengukuran. 7)Perbandingan. 8) Geometri (bentuk). 9) Pola. Perkembangan  matematika permulaan anak usia 5-6 tahun yaitu, anak usia 5-6 tahun mempunyai kemampuan pada aspek perkembangan kognitif yang terdiri dari anak mampu mengenal dan memahami berbagai konsep sederhana dan dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Anak mampu mengelompokkan benda dengan berbagai cara yang diketahui anak, misalnya warna, bentuk, ukuran, jenis, dan lainnya. Anak mampu membilang atau menyebut urutan bilangan dari 1-20. Anak mampu mengelompokkan berbagai bentuk geometri (lingkaran, segitiga, segiempat, dan lainnya). Anak mampu menyusun kepingan puzzle menjadi bentuk utuh (7-10 keping). Anak mampu menyebutkan konsep depan-belakang-tengah, atas-bawah, kiri-kanan, luar-dalam, pertama-terakhir- diantara, keluar-masuk, maju-mundur, naik- turun. Serta, anak mampu memperkirakan urutan berikutnya setelah melihat bentuk 3- 4 pola berurutan, seperti biru, merah, dan putih.

Pembelajaran matematika sangatlah dibutuhkan oleh anak sebagai bekal hidupnya. Namun saat ini matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dikarenakan harus menggunakan banyak rumus dan banyak juga guru yang masih menggunakan metode pengajaran konvensional, seperti didaktik (didactic teaching) sehingga anak kurang paham atas apa yang diajarkan. Disini guru mengajar dengan memberitahu kepada siswa secara langsung apa materinya dan konsep yang harus dikuasai. Tugas siswa hanyalah menerima, mengingat, dan menghafal. Hal tersebut tidak dapat diterapkan dalam pengajaran tentang soal cerita, karena pada soal cerita anak dituntut untuk bisa menganalisis soal cerita tersebut sampai akhirnya menemukan cara atau operasi yang tepat untuk mengerjakannya.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional, untuk melatih agar para siswa dapat menyelesaikan soal cerita dengan benar, maka perlu diperhatikan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) mendata hal-hal yang diketahui berdasarkan keterangan yang termuat dalam soal, (2) mencermati apa yang ditanyakan termasuk satuan-satuan yang ditanyakan, (3) menyelesaikan permasalahan berdasarkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Dalam hal ini, soal cerita menggali kemampuan anak dalam mengidentifikasi bagian yang diketahui dari soal cerita matematika, bagian yang ditanyakan dan kemampuan menjawab soal cerita matematika menggunakan operasi yang tepat (Kaprinaputri, 2013). Penyelesaian soal cerita juga menggunakan bahasa yang dikenal dalam dunia matematika. Untuk menyelesaikan soal cerita diperlukan kemampuan sebagai berikut: (a) menentukan hal yang diketahui dalam soal, (b) menentukan hal yang ditanyakan dalam soal, (c) membuat model matematika (kalimat matematika), serta (d) melakukan komputasi (perhitungan, dan mengintepretasi jawaban model ke permasalahan soal semula) (Sukarno, 2001). 

Penyelesaian soal cerita merupakan kegiatan pemecahan masalah. Pemecahan masalah dalam suatu soal cerita matematika merupakan suatu proses yang berisikan langkah-langkah yang benar dan logis untuk mendapatkan penyelesaiannya. Dalam menyelesaikan suatu soal cerita matematika   bukan sekedar memperoleh hasil yang berupa jawaban dari hal yang ditanyakan, tetapi yang lebih penting anak harus mengetahui dan memahami proses  berpikir atau langkah-langkah untuk    mendapatkan jawaban tersebut. Kemampuan  dalam menyelesaikan soal cerita terdiri dari empat indikator yaitu: (1) kemampuan menuliskan aspek yang diketahui, (2) kemampuan  menuliskan     aspek  yang ditanyakan, (3) kemampuan menyelesaikan model matematika, dan (4) kemampuan menarik kesimpulan. Dalam membaca soal cerita anak memerlukan kehati-hatian untuk memahami soal dan memastikan bahwa anak mengerti apa yang dibaca. Memerlukan banyak waktu untuk anak memahami teks soal yang sulit, karena anak harus memperhatikan,       memvisualisasikan informasi untuk membantu mengingat dan mengerti dengan apa yang sudah dibacanya (Wahyuddin, 2016).

Dalam menyelesaikan soal cerita sangat diperlukan kemampuan-kemampuan dalam menentukan hal yang diketahui, ditanyakan, membuat model matematika, dan melakukan perhitungan. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dideskripsikan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita sangatlah penting untuk dikuasai oleh anak. Terutama dalam menentukan apa yang diketahui dari soal, apa yang ditanyakan oleh soal, memilih operasi yang tepat menjawabnya dengan jawaban yang tepat (Kaprinaputri, 2013).

Karakteristik pada anak usia 5-6 tahun terdapat hubungan antara aspek perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Karakteristik perkembangan bahasa pada anak umur 5-6 tahun yaitu; anak sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata, kosakata yang diucapkan oleh anak berkaitan dengan warna, ukuran, bentuk, rasa, aroma, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak, tekstur, lalu pada umur ini anak sudah dikatakan dapat melakukan peran menjadi pendengar yang baik, dapat ikut berpartisipasi dalam suatu percakapan (hal ini dikarenakan anak sudah dapat menjadi pendengar orang lain serta sudah mulai menanggapi suatu pembicaraan), percakapan yang dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun sudah mulai berkaitan dengan berbagai komentar terhadap kegiatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain. anak pada usia 5-6 tahun sudah mulai memperlihatkan ekspresi diri, meulis, membaca dan berpuisi (Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini Pengantar dalam Berbagai Aspeknya., 2011). Lalu aspek perkembangan kognitif pada usia 5-6 tahun akan terlihat karakteristiknya diantaranya yaitu; anak sudah mulai dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari, memperlihatkan sikap kreatif pada saat beraktivitas dalam menyelesaikan masalah, menerapkan pengetahuan atau pengalaman dalam konteks baru, mengenal perbedaan berdasarkan ukuran "lebih dari"; "kurang dari"; mengenal dan memahami sebab- akibat tentang hal yang terjadi dilingkungan sekitarnya, anak mampu mengklasifikasikan benda berdasarkan warna, bentuk dan ukuran. lalu anak dapat menyebutkan lambang bilangan 1-10, mengenal lambang bilangan untuk berhitung, dsb (Rohita., 2021).

METODE PENELITIAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun