Sejak Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) melanda Negeri tercinta, tidak sedikit subsidi (bantuan sosial) yang digelontorkan Negara untuk menjaga rakyatnya tetap hidup. Ada yang berupa uang dan ada yang berupa barang. Ada penyalurannya dari pemerintah pusat langsung, melalui pemda (provinsi dan kabupaten), TNI, Polri dan melalui Pemerintah Desa.
Golongan masyarakat yang dapat Bantuan Sosial (Bansos) bermacam-macam. Terutama masyarakat yang murni kehilangan mata pencarian akibat dampak Covid-19: seperti Sopir angkutan yang memarkirkan alat angkutannya karena penumpangnya---dan dirinya---harus mengurung diri; buruh bangunan yang tidak bisa lagi "bermandikan" debu semen karena dana proyek pembangunan dialihkan untuk mendongkrak kesehatan dan ekonomi; tukang jahit yang terpaksa berhenti memandang eloknya tarian jarum jahitnya karena konsumennya lebih tertarik memenuhi kebutuhan perut daripada kebutuhan kondangan; dan lain-lain profesi yang terpaksa berhenti akibat serangan pandemi Covid-19.
Selain itu, masyarakat yang turut kebagian Bansos adalah keluarga yang punya anggota keluarga pengidap penyakit kronis dan keluarga miskin yang belum terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang disingkat DTKS dan biasa disebut BDT (Basis Data Terpadu).
Nama Bansosnya bermacam-macam, ada Bantuan Langsung Tunai (BST), Bantuan Pangan Nontunai (BPNt), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Khusus BLT yang penyalurannya melalui Pemerintah Desa (BLT-DD), di daerah saya Kabupaten Gayo Lues, cukup mendapat guncangan dari masyarakat langsung.
Sebagaimana Aparatur Desa yang wajib menjadi Relawan Desa Tanggap Covid-19 dan otomatis diberi amanah mulia untuk menentukan Data Penerima BLT sangat merasa diuji. Kemuliaan hatinya mendapat sorotan keras. Tetangga kanan kiri yang tidak masuk Daftar Penerima BLT kontan menggedor pintu rumahnya. Mereka datang tidak sedang menguatkan hati sang Kepala Dusun dari seabrek urusan, sebaliknya menambah ruet pikirian---yang intinya kucuran BLT-DD harus mereka dapat, tanpa syarat, jika tidak siap-siap dihujat.
Sejujurnya menjadi perangkat desa tidak semudah pejabat Pemda, apalagi dibanding Pejabat yang sering tampil di layar kaca. Paling tidak perangkat desa tidak bisa semudah mereka dalam hal mengumbar janji, yang mana mereka bisa mengumbar janji layaknya kentut---yang enak sangat mengejan namun ketika keluar baunya minta ampun dan sesudah itu biasa lagi.
Perangkat desa tidak boleh berjanji sembarangan (padahal siapapun tidak boleh, kan?). Kata-kata dari mulut harus bisa dipegang. Terkait tugas yang diemban jangan sampai mengeluarkan kata "akan", sebab besoknya jika "akan" tak kunjung menjadi nyata langsung ditagih di depan mata.
Maka, Kepala Dusun yang dilabrak masyarakatnya karena tidak dapat BLT-DD haram hukumnya menjanjikan bahwa mereka itu akan dapat BLT-Dana Desa. Namun sebelum kata-kata itu keluar, mereka sulit pulang (berhenti merepet).
Akhirnya, mau tidak mau Kepala Dusun mengeluarkan janji karena penjelasan dengan Regulasi tidak mungkin dimaklumi. Janjinya, "Ya, baiklah. Nanti akan saya tanya kepada Kepala Desa."Â Dan mereka pun pulang. Hari sudah menjelang petang, Kepala Dusun tidak bisa lagi bekerja sampingan guna memenuhi nafkah keluarga.
Ya, begitulah kerja pejabat desa di daerah saya yang Alhamdulillah diberi Penghasilan Tetap (gaji) tidak lebih dan kurang dari sebesar Rp950,000.00 (<--itu sesuai Peraturan Bupati Gayo Lues Nomor 67 Tahun 2019, alangkah indahnya jika sesuai PP.11/2019, yaitu 2 Juta lebih) dan itu kebanyakan tanpa tunjangan karena Bupati tidak mengeluarkan Keputusan untuk itu hingga pemerintah kampung tidak mau bermain api.
Dengan itu mereka harus tetap hidup di masa pandemi ini, dengan manusia yang harus diberi makan pasti bukan hanya dirinya (istri, anak dan sebagian orang tuanya) serta tugasnya yang bertambah sejak Pandemi Covid-19 (terutama sejak keluar Permendes PDTT No. 6/2020 tentang Perubahan Permendes PDTT No.11/2019 yang di dalamnya adanya kewajiban penganggaran BLT yang bersumber dari Dana Desa tadi).
Dengan keadaan itu, apakah mereka mangkir dari tugasnya? Tidak! Apakah ada yang sudah memundurkan diri? Tidak tau pasti. Apakah ada yang bercerai dengan istrinya? Setau saya tidak. Berantem ada. Tapi tidak tau lah, ya.
Lalu, pandemi masih berlalu. Saya tertarik mencari tau, dengan nasib itu kenapa perangkat desa masih bisa tersenyum. Pasti mereka mendapat bantuan perangsang organisme kehidupan. Sudah pasti itu, pikir saya.
Dan benar saja, seperti masyarakat lainnya, sebagian mereka kebagian jatah Stimulus dari Perusahaan Listrik Negara (mereka tidak lagi mendapat tagihan listrik). Saya masih penasaran, pasti ada yang lain. Ya, betul. Ada yang lain. Sebagian mereka terdaftar dalam data penerima BPNt, PKH, BST. Itu sebagian saja, kebanyakan tidak. BLT-DD mereka dapat, tidak? Oh, mereka haram hukumnya mendapat produk mereka sendiri. Jadi, menurut saya tidak mungkin.
Terus, yang tidak kebagian Bansos bagaimana? Ya, mereka harus mandiri lah. Itu kan ada warisan orang tuanya, jual aja jika tidak mau kena masalah. Kalau tidak ada warisan? Pokoknya pandai-pandai saja lah. Coba dulu belajar rutin puasa senin kamisnya. Huekekekek.... Ampun dah Corona!
====
Sebenarnya tulisan tidak penting ini berawal dari kegelisahan hati saya sesaat setelah menonton Televisi, sebuah acara yang mempertontonkan kejeniusan Bapak Menteri BUMN yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Beliau mengungkap rencana heroic pemerintah dalam masa pandemi ini, yaitu rencana Indonesia Sehat, Indonesia Bekerja, Indonesia Tumbuh.
Dari penjelasan Pak Erick, pemerintah tak ada kendor-kendornya menyuntik stimulus agar rakyat tetap hidup. Paling dahsyat dan menyita perhatian menurut saya, akan ada BLT untuk 13,8 Juta pegawai non-PNS dan non-BUMN dengan gaji di bawah Rp5 Juta. Masing-masing mereka akan mendapat Rp2,4 Juta.
Karena saya tidak mendengar secara langsung Pak Erick mengulas rencana terkait nasib perangkat desa, hati saya bertanya-tanya.
Saya pun hanya bisa berpikiran positif, bahwa pemerintah pasti punya rencana dahsyat juga untuk perangkat desa yang terbagi dalam 83,9 ribu wilayah kerja itu. Kan tidak mungkin Pak Erick dan orang-orang kantornya langsung melayani masyarakat desa. Perangkat desa harus tetap hidup, bukan?
Saya malah yakin, paling tidak mereka masuk dalam 13,8 juta manusia yang akan diberi subsidi tadi. Pasalnya, mereka bukan PNS dan bukan pula pegawai BUMN, serta nyata-nyata perangkat desa tidak memakan gaji di atas Rp2.022.200,00 kecuali Sekretaris Desa---apalagi di daerah saya cuma Rp950.000,00 saja cuy. Tepatnya, memenuhi syarat sebagai 13,8 juta manusia tadi.
Jika dipikir secara logika sekalipun, perangkat desa pasti mendapat subsidi untuk tetap hidup: (1) Yang digaji Rp4.999.999,99 saja dapat masak yang digaji Rp950.000,00 pas tidak dapat. (2) Perangkat desa kan pionir perang melawan dampak pandemi, mereka butuh makan lahap untuk terus berperang, jika tidak Covid-19 akan memporakporandakan desa.
Maka Pak Erick, mana dong Stimulus untuk perangkat desa? Kasih dong angin surga. Cepat umumkan, nanti keburu loyo duluan. Dan kita kalah melawan Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H