Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KUR yang Begitu "Seksi", Malah Memuja Si Sepuh Rentenir

19 Maret 2018   18:14 Diperbarui: 19 Maret 2018   19:45 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena sudah tidak ada akar lagi di pekarangan, maka Ayah mengabil rotan dari mulut Macan

Kita mungkin sudah alami, paling tidak pernah dengar cerita bagaimana ceritanya saat dilanda keadaan kepepet. Entah itu urusan materil yang berseri, dikejar deadline kerja, dikejar anjing gila, bertemu penjahat, bertemu jalan buntu dan bisa juga dianggap kepepet ketika kebetulan berpapasan dengan mantan yang bergandeng tangan sama pasangan barunya.

Apapun modelnya, jelas rasanya tidak enak. Hal itu cukup menjadi alasan, demi melewatinya, kita mengambil tindakan diluar kemampuan. Keringat tumpah merupakan hal wajar saja. Malah yang paling buntung, celana kesayangan pun kadang harus kita relakan menjual diri di tempat loakan. Taklah mengapa itu.

Yang paling sering terjadi dan cukup beragam tindakan konyol penyelesaiannya tentu yang menyangkut materil, berurusan dengan kebutuhan primer. Jelasnya masalah uang.

Rumah tangga akan mulai goyah, saat wadah perberasan tinggal menyisakan lebih kurang sekilo beras. Adapun uang tapi yang menjual tidak ada akan jadi runyam juga. Lebih-lebih kalau alat tukarnya tidak ada. Kepepet luar biasa namanya.

Dapur tidak mau tau urusan di belakangnya. Pokoknya tiga kali sehari harus mengepul---walaupun bukan dapur pribadi tapi kepulan dapur warung harus dinikmati.

Karenanya tindakan diluar kewajaran tadi harus dilakukan: misal yang tidak biasa jadi buruh kasar harus rela meleburkan tenaga di tempat pengadukan semen, jadi "binatang" pebajak sawah juragan, dlsb... atau, ah, jarah saja kebun warga sudah (di Kampung), sekurangnya jadi pencopet jika di kota, barangkali.

Pilihan menjual tenaga kebetulan tidak tersedia atau gengsilah. Bekerja sebagai malingpun dilarang hati. Terus jadi peminta-minta? Itu memalukan kawan, apalagi rentan ditangkap Satpol PP. Persimpangan itu sangat menentukan, yang mana setiap arahnya bias adanya.

Kita yang jadi pengamal otak dagang, penganut setiap tindakan adalah berjudi, pecinta resiko tinggi memilih mengajukan diri ke tempat pemberi modal cuma-cuma---tanpa syarat berbelit---sekalipun kita tau setiap saat darah terisap.

Kabar tindakan yang diambil lebih banyak buntungnya dilupakan saja. Ini menyangkut perut. Toh, tetangga sebelah dapat bernapas panjang setelah "pulang" dari situ. Ia bisa, kenapa kita tidak. Begitu.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk!"

Setelah masuk, "Mau apa?"

"Mau pinjam modal pak."

"Apa usahamu?"

"Mau jualan di pasar pak."

Rentenir mengangguk-angguk, "Berapa?"

"Satu juta saja pak."

"Ya udah. Bunganya dua ratus ribu sebulan."

Mudah. Tidak ada yang namanya urusan administrasi. Tidak perlu Photocopy KK, KTP, Buku Nikah atau pun agunan sebagai pengikat. Setelahnya... ada yang terbebas, namun kebanyakan terbelit.

Negeri Seribu Bukit, Gayo Lues baru-baru ini gempar dengan eksistensi Rentenir di Pajak Terpadu Blangkejeren. Pasalnya, daerah yang masuk ke dalam wilayah pengamal Syariat Islam ternyata sebagian penduduknya penganut garis keras sebagai pemuja Rentenir. Cukup mengherankan sebenarnya, jelas-jelas kalau islam melarang, tapi...

Seperti yang dilansir Podiumpos.com (03/03/2018), salah satu Pedagang Jengkol, Seniah, di Pajak/Pasar Terpadu Blangkejeren mengaku kesulitan keluar dari jeratan rentenir, yang menamakan diri Koperasi Keliling (Kopling), karena dagangannya kurang laku.

Ia meminjam 4 juta rupiah, yang mana setiap harinya harus dicicil 160 ribu rupiah. Berdasarkan perkiraan saya, proses setoran baru kelar selama sebulan. Dari situ kita tau, bahwa besaran bunga yang dipatok Kopling sebesar 20% per bulannya.

Kalau saja dibandingkan dengan (sebut saja) bagi hasil dari program dukungan ekonomi kerakyatan dari pemerintah, yang dinamakan Keredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui beberapa Bank, jelas lebih seksi KUR daripada si sepuh Rentenir, sepuh: karena umurny sudah dari dulu. Apalagi kabar terbaru bunga KUR yang harus dimekarkan turun, dari 9% menjadi 7% saja per tahun---ya, pertahun bukan per bulan apalagi per hari.

Sudah begitu, kenapa masih dilakukan? Masih dari berita, Ibu Samsier yang juga pemuja Kopling mengaku hal itu terpaksa dilakukan, alasannya demi membeli beras, klasik kawan. Dan pula proses yang ditawarkan Kopling mudah.

Selain itu saya akan berbagi cerita pemuja Rentenir di Kampung yang pernah saya dengar dari orangnya langsung, tapi saya anggap cerita selevel warung kopi. Sama saja. Begini...

Pertama, petani/pekebun kacangan. Pertengahan Oktober tahun lalu saya pernah singgah di Kebun salah satu warga Kampung saya, kita temanan sebenarnya. Ditengah terik ia sedang memasang mulsa plastik. Kebunnya tidak terlalu luas, tapi lumayan, empat gulungan mulsa.

Ia pun langsung mengajak saya berteduh ke Gubuk kebunnya, dan seperti biasa sambil basa-basi acara ngopi pasti ada. Nikmatnya ngopi di kebun susah dilupakan kawan. Basa-basi tak terasa berlarut, lama.

Saya pun memuji kebunnya. Dia mengaku sudah terlambat menanam. Saya sudah bisa menebak, karena waktu itu harga Cabai sedang tinggi-tingginya. Katanya, sebelumnya ia tidak bisa beli mulsa, pupuk, bibit dlsb... intinya modal berkebun. Ditambah waktu itu istrinya sedang dalam perawatan.

Saya pun langsung kepo berlebih. Temanan jadi alasannya, sebenarnya. Saya bertanya berapa modal kebunnya sekarang dan dapat dari mana. Ia bertutur dengan raut kesedihan, yang berusaha disamarkan dengan senyuman. Meski teman saya itu berusaha sebiasa mungkin, Kopi suguhannya sudah sangat tidak nikmat di mulut saya.

Dari curhatannya ia menghabiskan dua juta rupiah untuk modal dasar kebunnya. Ia terpkasa meminjam dari Rentenir kampung, sebab uang simpanannya sudah ludes untuk pengobatan istrinya.

Bunga pinjamannya tetap tinggi, meski pemberi modal masih berbau saudara dengannya. Menjadi pembenar kalau uang tidak bersaudara. Dalam satu juta rupiah harus dibayarkan tambahannya dua ratus ribu rupiah per bulan. Mahal sekali, desis saya, biasanya juga lima puluh ribu sebulan---saya juga sudah pernah, tiga jutaan, dan sudah mengaku kapok, kalau tidak kepepet tapi. hehe

Mudahnya ia bisa membayarkan modal plus bunga sekaligus setelah panen. Sembari menunggu panen, ia yang sudah beranak satu harus rela menjadi kuli harian demi memenuhi belanja harian. Untungnya ia sanggup, karena badannya model petarung, kekar.

Saya bertanya kenapa tidak pinjam modal dari Bank. Saya tau ia punya rumah, dan beberapa petak kebun, yang menurut saya bisa diajukan sebagai agunan kalau meminjam modal usaha dari Bank.

Ada tiga alasannya, pertama, katanya ia tau dari orang-orang kalau urusannya ribet. Kalau boleh kasar, saya menganggap hanya orang-orang yang tidak sekolah atau tidak biasa saja yang menganggap ribet, bagi yang belum dapat sangsi dari Bank. Seperti Pak Cik saya yang ngomel melulu, ketika saya temani waktu mengajukan pinjaman KUR. Baginya berurusan dengan kertas, Photocopy, tanda tangan ini dan itu sangat tidak baik untuk kesehatannya. Giliran dapat uangnya baru senyum-senyum.

Kedua, tidak sanggup menyicil bulanannya (padahal ini bisa diakali dengan membayar diawal, dari modal yang dipinjam untuk setoran beberapa bulan ke depan, seperti pak cik saya tadi).

Ketiga, tidak tau kalau bunganya sekecil itu, karena keterlambatan taunya, sepertinya ia menyesal.

Baru-baru ini saya tau, teman saya itu bisa melunasi hutangnya dari hasil kebunya, dan katanya ada sedikit modal untuk berkebun lagi. Alhamdulillah.

Ada juga pemuja Rentenir, kedua,Penjual Bensin Eceran. Salah satu penjual Bensin Eceren di kampung saya juga jadi pemuja Kopling. Tidak terlalu banyak, satu juta rupiah saja. Darinya saya sering beli, karena untuk kebutuhan satu liter bensin rasanya terlalu jauh ke SPBU, PP bisa habis seliter bensin.

Ia harus menyetor empat puluh ribu rupiah per harinya pada petugas Kopling yang setelah zuhur selalu keliling, mereka tak peduli hujan atau mendung. Karena pelaku usaha serupa bukan dia saja dan faktor lainnya, terkadang jualannya tidak laku.

Tidak jarang ia malah harus bergeriliya ke tetangga untuk urusan uang empat puluh ribu. Padahal di terasnya Kopling sudah menunggu, tidak akan bergegas sebelum rupiah di tangan.

Lain dengan petani kacangan di atas, ia sudah tau KUR begitu menggoda tapi tidak ada yang bisa digadaikan untuk menikmatinya. Tidak ada selembar kertas pun yang dipunya, bisa sebagai agunan. Karenanya hingga kini ia masih bermain dengan Kopling.

Selain dari Petani Kacangan dan Penjual Bensin Eceran diatas, adalagi, ketiga,Tukang gorengan kampung. Tak jarang di suatu pagi saya ke warung gorengannya, saya sudah bisa menyebutnya langganan. Walaupun bukan dia saja tukang gorengan di kampung, warungnya di depan rumah jadi musababnya.

Tempat yang sudah jadi tongkrongan anak muda dan orang tua tanggung selalu ramai di pagi dan sore hari. Mungkin karena kekurangan modal, ia terpaksa menjadi salah satu makanan empuk Kopling.

Suatu sore mukanya pernah kusut saat Kopling datang menagih. Gorengannya menurut saya laris manis. Ada apa gerangan? Tapi ya begitu, ia sudah punya tiga anak yang harus dibiayai.

Setelah transaksi kelar, saya tidak bertanya, ia sendiri yang berbagi. Katanya kapok berurusan dengan Kopling. Sepertinya ia meminjam banyak, setoran hariannya lumayan saya lihat.

Rupanya ia bukan tidak tau atau tidak punya agunan untuk mengajukan pinjaman KUR. Ia masih berurusan dengan pihak Bank, perihal pinjaman.

Dari ketiga cerita pelaku pemujaan terhadap Rentenir diatas saya rasa cukup menggambarkan alasan mereka-mereka yang masih bermain dengan transaksi yang menurut islam sangat haram itu, sekalipun di wilayah bersyariat islam. Bukan bermaksud setuju ini, sebatas mewajarkan saja. Agar diri tidak terlalu heran.

Setelah gempar cerita Rentenir tadi Pajak/Pasar Terpadu Blangkejeren, tentu yang berkepentingan atau merasa diri berkepentingan langsung mengambil tindakan. Kelompok yang menamakan diri Koperasi Pasar (Kopas) akan mengusir Kopling dari pasar terpadu.

Kopas dibawah binaan Dinas Koperasi dan UKM setempat akan menggantikan layanan Kopling (kenapa gak dari dulu). Maka dugaan sementara Kopling akan lenyap dari Pasar, tidak tau pasti nantinya.

Namun bagaimana drama pemuja rentenir di kampung-kampung? Waktu yang bisa menjawab. Semoga bisa teratasi dengan adanya aturan pemerintah, bahwa 30% gelontoran dana desa harus dianggarkan sebagai penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Kampung (BUMKp).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun