Sudah pukul 12:00, ia belum mau tidur. Padahal ia harus istirahat. Sebab sudah beberapa hari ia berbaring. Tidak ke mana-mana. Hanya di kamar, yang sesekali dijenguk Ibunya. Bosan.
Karena itu ia pun memutuskan untuk jalan-jalan sebentar siang itu. Pertama ia beranjak ke Kampung tetangga. Bagi siapa saja yang lihat belalakan matanya, pasti mengira ia sedang terpana. Takjub.
Kebun Kopi di Kampung tetangga sungguh mengundang inspirasi baginya. Asri dan teduh kata yang tepat menggambarkan suasana.
Sungai yang belum tercemar tak henti-hentinya menghibur petani dan siapa saja yang datang. Bernyanyi membelah kebun yang terhampar.
Pohon Lamtoro sebagai penudung tanaman kopi tak pernah jeda menari, dedaun yang sudah tua landai berguguran ditiup angin halus. Yang nantinya akan menjadi nutrisi bagi tanaman, diserap melalui akar.
Setelah menyeruput kopi dari taik musang di pondok kebun, sejenak ia berkeliling, mengamati bunga-bunga kopi yang bermekaran. Putih bersih dan mulai berjatuhan, meninggalkan buah-buah kecil yang terus kembung berisi.
Ia terus berlangkah dan menemui gumpalan-gumpalan buah kopi yang sudah memerah. Ranting-ranting kopi menunduk ke bumi, menahan beban yang amat berat, tapi ikhlas dan bahagia.
Ia pun langsung memetik buah-buah yang sudah ranum. Satu persatu keranjangnya terisi. Penuh. Senyumnya merekah.
Pengepul telah menanti di persimpangan, tempat mangkal biasanya. Kata sepakat segera terbentuk. Goni-goni didudukkan diatas timbangan, jarumnya pun segera menunjukkan angka. Tak lama lembaran rupiah memenuhi sakunya. Dalam sekejap ia jadi kaya.
Lalu pada pukul: 12:10 ia beranjak ke sebuah acara penganugrahan ratu kecantikan di Ibu Kota.
Liurnya meleleh melihat paras ayu Nona Negerinya yang baru dinobatkan. Sekita kelopak-kelopak asmara bermekaran di dadanya.