Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Katanya, "Terkutuklah Pengangguran"

12 Februari 2018   23:50 Diperbarui: 13 Februari 2018   10:44 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelamar PTTK Kabupaten Gayo Lues sedang antri pembagian nomor tes tulis (Dokumentasi Pribadi)

Tidak enak memang jadi pengangguran. Sebab manusia adalah makhluk hidup yang secara alami telah bercirikan "makan". Yang mana untuk memenuhinya Sang Pecipta tidak mengabulkan hanya dengan menengadah pada-Nya. Sudah pula tidak bisa menghidupi dirinya sendiri, apalagi bagi yang sudah bekeluarga. Dari mana harga bedak istri tercinta, coba?

Sebab itu, siapa saja yang menyandang gelar tidak diharapkan itu pasti merasa terasing. Lebih parahnya turut pula diasingkan (catat, sebagian, yang kebetulan paling apes saja): "hey, jangan berteman dengannya, nanti nasib buruknya menular padamu"atau "berteman dengannya, palingan ia mau minta traktir tu",berlaku untuk sesama jenis.

Bagaimana jika yang berlainan jenis? Ujung-ujungnya bisa begini: "mau makananin kuda mulu sampai kapan?" yang objeknya cewek, bisa diwajarkan sebenarnya, "ya ampun, heh, mau makan apa kau nanti" untuk sasaran cowok, cukup keterlaluan, sebab apa pun ceritanya, rezeki itu = tak terhingga.

Sakit? tidak perlu ditanya, sudah jelas pasalnya. Hingga tidak perlu terlalu heran jika prosesi 'pemandian' sial itu terkadang dilakukan dengan cara mengesampingkan beban moril yang selama ini memang sudah terjajah. Semisal dengan ramuan kembang tujuh rupa atau sebangsa, dan atau perawatan kutukan itu dilakukan dengan cara bersalaman di bawah meja dengan "dokter" yang membidangi agar penyakit lenyap seketika.

Kasarnya begini, saat ada kabar gembira penghapusan gelar terkutuk itu jasa para normal kian laris di pasaran. Padahal beberapa waktu lalu, saat-saat pengajian, begitu takzimnya mengangguk-anggukkan kepala ketika penceramah membual bahwa segala sesuatu yang berbau mistis itu menduakan Tuhan. Semula mulai tenggelam, namun kini kembali naik ke permukaan.

Serta kemarin, tradisi memberi hadiah untuk mendapat imbalan dan merangkul asal keluarga jadi bahan hinaan, kembali dicari peluangnya. Pada saat jadi aktivis dulu, rela tidak makan hingga dua hari dua malam demi menyuarakan penolakan kepada kaum yang berpesta pora dengan korupsi dan nepotisme serta bangsa pengamal gratifikasi. Dulu katakan tidak... kini jadi incaran.

Gak malu? Ah, malu hanya perkara waktu. Bahkan bisa goyang dengan angin subuh yang berlalu, apalagi jika badai menyerbu. Sudah.

Terasing sih wajar, ini diasingkan tadi yang jadi tekanan. Entah kita sadar (tidak semua), terkadang dalam percakapan biasa kita telah mengutuk saudara yang malang. Kalau ia kuat hati mungkin bisa dijadikan motivasi, bagaimana kalau sebaliknya? Jangan sampai bunuh diri. Berlebihan.

Lagi, kalau dalam percakapan dengan orang-orang selevel (sesama sedang jadi pendamba kerja, pengangguran) sih wajar saja. Ini teman lama yang dulu saling tabok-tabokan sudah hampir sedekade tidak ketemuan, eh pas ketemuan yang tidak disengaja nanyanya langsung kerja apa, di mana, dengan siapa. Weleh, kenapa gak sekalian nanya makan apa, ya gak? Kali aja yang dulu makan nasi kini makan batu.

Bagaimana kalau ketemuan sama calon mertua? Wah, masalah ini sudah jauh hari jadi lelucon kaum jomblo, bukan? Baiklah, mengingat keperluannya sangat vital buat kita yang masih ingin hidup sampai besok, maka bisa diwajarkan. Hingga orang yang sedang kita dekati, teman dekat atau teman jauh, saudara dekat maupun saudara jauh perhatian sama kita.

Namun, terkadang kejadian (yang saya anggap) penyudutan itu kita lakoni dalam percakapan tidak biasa atau tidak dengan orang yang kita kenal---misal dalam perjalanan.

Tahun 2013 lalu, saya pernah bertemu dengan orang yang bukan dari golongan kebanyakan: para normal muda, atau mengaku diri begitu. Ketika itu kami sesama penumpang dalam angkutan. Dianya nyeloteh melulu, yang ujung-ujungnya mengakui diri punya indra keenam. Yang bisa meramal kerja, dan jodoh. Bisa ditebak, tujuannya hendak menawarkan jasanya pada saya, meramal masa depan, mencakup kerja dan sebagai bonus perihal jodoh tadi. Huehehe.

Saya menolak, saya pikir dia itu tidak lebih dari politisi, yang masa pendekatannya membual akan mengurangi pengangguran, hingga suara kaum terasing dalam genggamannya. Dan diujungnya bisa ditebak. Nihil.

Kemudian di tahun 2014, saya ketemu lagi dengan orang yang bukan dari golongan kebanyakan. Dengan keadaan serupa, sesama penumpang dalam satu angkutan. Tapi bukan para normal, pula bukan politisi. Melainkan seorang Ibu-ibu yang belum terlalu tua untuk disebut Nenek, juga tidak pantas disebut pengantin baru. Singkatnya tidak terlalu tua dan muda, pokoknya ibu-ibu saja sudah.
Ibu-ibu itu tipe peramah. Jarang sebenarnya saya dapati kaum hawa seperti itu dalam kondisi serupa. Banyak omong, tapi dalam konteks positif.

Selain peramah, dari ceritanya, saya menyimpulkan kalau dia yang berkerudung merah adalah perempuan petarung. Pergerakannya bukan hanya ke dapur, ke sumur dan ke tempat tidur atau dibalik ke tempat tidur, ke sumur dan ke dapur, sama sekali bukan seperti itu. Sebab ia mengaku baru saja pulang mengatar dagangan hasil tani ke Medan, ia berasal seputaran Brastagi, saya lupa kampungnya. Singkatnya keren sekali lah.

Ia telah melepuh dipanggang terik matahari dan diserbu bau amis sampah sembari menggelar dagangan di Pasar hingga jiwanya telah bermain dengan rasa takut sambil dibelai angin malam jalan Blangkejeren-Medan saat menjadi kurir ganja (tidak perlu dicontoh). Katanya yang terakhir ia lakoni demi menghidupi dua anaknya, ketika ditinggal suaminya ke penjara, karena kasus serupa---kurir ganja.

"Wah! Ibuk nekat." Mendengar ceritanya saya tidak sadar nyeletuk demikian. Itu sebagai simbol pujian sekaligus kekonyolan yang saya sematkan padanya. Pujian, karena kesan perjuangannya yang luar biasa, dan atau kekonyolan karena ia telah berani menampar hukum. Konteks positifnya mulai memudar.

Hidup itu memang harus begitu, katanya. Yang penting berusaha, apapun profesinya. Bahkan terang-terangan ia menyatakan setuju dengan orang yang berprofesi sebagai pelacur atau maling sekali pun. Saya tanya kenapa, ia menjawab karena sudah berusaha. Mungkin dalam "kamus hidup" perempuan tidak kebanyakan itu hanya satu, yaitu terkutuklah kau pengangguran. Jadilah antara konteks positif dan negatif terhadap Ibuk itu 50:50 menurut saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun