Tahun 2013 lalu, saya pernah bertemu dengan orang yang bukan dari golongan kebanyakan: para normal muda, atau mengaku diri begitu. Ketika itu kami sesama penumpang dalam angkutan. Dianya nyeloteh melulu, yang ujung-ujungnya mengakui diri punya indra keenam. Yang bisa meramal kerja, dan jodoh. Bisa ditebak, tujuannya hendak menawarkan jasanya pada saya, meramal masa depan, mencakup kerja dan sebagai bonus perihal jodoh tadi. Huehehe.
Saya menolak, saya pikir dia itu tidak lebih dari politisi, yang masa pendekatannya membual akan mengurangi pengangguran, hingga suara kaum terasing dalam genggamannya. Dan diujungnya bisa ditebak. Nihil.
Kemudian di tahun 2014, saya ketemu lagi dengan orang yang bukan dari golongan kebanyakan. Dengan keadaan serupa, sesama penumpang dalam satu angkutan. Tapi bukan para normal, pula bukan politisi. Melainkan seorang Ibu-ibu yang belum terlalu tua untuk disebut Nenek, juga tidak pantas disebut pengantin baru. Singkatnya tidak terlalu tua dan muda, pokoknya ibu-ibu saja sudah.
Ibu-ibu itu tipe peramah. Jarang sebenarnya saya dapati kaum hawa seperti itu dalam kondisi serupa. Banyak omong, tapi dalam konteks positif.
Selain peramah, dari ceritanya, saya menyimpulkan kalau dia yang berkerudung merah adalah perempuan petarung. Pergerakannya bukan hanya ke dapur, ke sumur dan ke tempat tidur atau dibalik ke tempat tidur, ke sumur dan ke dapur, sama sekali bukan seperti itu. Sebab ia mengaku baru saja pulang mengatar dagangan hasil tani ke Medan, ia berasal seputaran Brastagi, saya lupa kampungnya. Singkatnya keren sekali lah.
Ia telah melepuh dipanggang terik matahari dan diserbu bau amis sampah sembari menggelar dagangan di Pasar hingga jiwanya telah bermain dengan rasa takut sambil dibelai angin malam jalan Blangkejeren-Medan saat menjadi kurir ganja (tidak perlu dicontoh). Katanya yang terakhir ia lakoni demi menghidupi dua anaknya, ketika ditinggal suaminya ke penjara, karena kasus serupa---kurir ganja.
"Wah! Ibuk nekat." Mendengar ceritanya saya tidak sadar nyeletuk demikian. Itu sebagai simbol pujian sekaligus kekonyolan yang saya sematkan padanya. Pujian, karena kesan perjuangannya yang luar biasa, dan atau kekonyolan karena ia telah berani menampar hukum. Konteks positifnya mulai memudar.
Hidup itu memang harus begitu, katanya. Yang penting berusaha, apapun profesinya. Bahkan terang-terangan ia menyatakan setuju dengan orang yang berprofesi sebagai pelacur atau maling sekali pun. Saya tanya kenapa, ia menjawab karena sudah berusaha. Mungkin dalam "kamus hidup" perempuan tidak kebanyakan itu hanya satu, yaitu terkutuklah kau pengangguran. Jadilah antara konteks positif dan negatif terhadap Ibuk itu 50:50 menurut saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H