Walaupun tetap tidak yakin, memang bukan sebuah kemustahilan profesi yang menurut saya mulia, petani, akan semakin surut seiring perkembangan zaman.
Di daerah saya misalnya, kebanyakan pemuda telah membulatkan cita-citanya jadi "asal bukan petani". Tentu mendapat restu dari orang tua, mendorong malah. Alasannya macam-macam. Salah satu alasan utamanya tidak berpenghasilan. Sepertinya alasan itu hampir menyeluruh.
Menurut Kompasianer Junaidi Khab, untuk ke depannya kesejahteraan petani harus diprioritaskan. Karena disadari atau tidak petani adalah tulang punggung bangsa dan dunia.
Tapi, sepenting itu pun perannya kadang mereka tidak mendapat prioritas kesejahteraan. Hal itu harus menjadi renungan, terutama pemerintah. Menganggap petani hanya sebuah bayangan gelap dan semu dibanding profesi lain merupakan sebuah tindakan keliru.
Karena 90 persen kehidupan dunia bergantung pada petani. Maka ketika mereka enggan bertani, tentu akan muncul krisis pangan dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok hidup manusia.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasioanal (Sakernas) tahun 2016, yang dibagikan Kompasianer Muhammad Aliem dari 118,14 juta penduduk yang bekerja 28,50 persennya adalah pemuda. Dari 33,7 juta pemuda tersebut hanya 23,03 persen saja menggeluti sektor pertanian dan yang paling besar adalah sektor jasa yaitu sebesar 51,94 persen.
Data tersebut menegaskan, jika tidak secepatnya ditemu-amalkan sebuah solusi bukan sebuah kemustahilan dalam waktu dekat bahwa negeri kita memang akan mengalami krisis pangan.
Hal yang selaras juga diuraikan Kompasianer Muhammad Aqiel, kepuhanan petani semakin nyata. Sebab perlahan SDM nya kian berkurang. Setiap tahunnya sekitar 466.800 petani memilih pensiun dari pertanian.
Alasan kurang modern dan terhitung melarat jadi penyulutnya. Hingga generasi muda lebih bermimpi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) ketimbang jadi petani, sekalipun keluaran dari pendidikan yang terfokus di bidang pertanian.
Aliem menambahkan, kalau sebenarnya masalah tersebut bisa diatasi, tentu jika pemerintah mengucurkan dana yang melimpah dan yang paling utamanya mengembalikan kedaulatan pangan pada petani bukan pihak swasta, serta melumpuhkan koorperasi pertanian, karena melanggar prinsip kedaulatan pangan dan bahkan memicu perubahan iklim.
Jika urbanisasi juga tidak terelakan, maka untuk mencegah kepunahan petani bisa memulai dengan Urban Farming, selain karena akan meningkatkan peran serta gernerasi muda juga dapat memotivasinya.
Kompasianer Kadir Ruslan juga membenarkan kemungkinan petani akan punah. Sebab berdasarkan faktanya, kultur bertani kita semakin tergerus. Salah satu penyebabnya kebanyakan generasi muda, sekalipun anak petani tidak lagi bercita-cita jadi petani.
Menurutnya penyebab utamanya sama adalah anggapan bahwa petani itu bercirikan miskin, dan tidak modern. Hingga yang bergelut di bidang pertanian hanya tinggal orang tua saja, dan dengan kapabilitas rendah atau kurang pendidikan. Maka, tantangan penyediaan pangan nantinya akan semakin berat.
Lalu dijelaskan, untuk mencegah bencana itu terjadi kita harus menginovasi dan memodernisasi sektor pertanian. Semisal mengikis citra miskin di sektor pertanian tersebut, memberikan sudut pandang bahwa bertani dapat memberi kesejahteraan, terutama generasi muda kita.
Dari pemaparannya, salah satu akar masalah dari kemiskinan di sektor pertanian adalah masalah lahan yang sempit. Padahal menurut sejumlah kajian untuk mencapai Break even point (BEP) seorang petani harus menggarap lahan minimal setangah Hektar. Karenanya citra miskin itu menjadi wajar, sebab ada sekitar 56 persen rumah tangga pertanian gurem atau memiliki lahan kurang dari setengah Hektar.
Kompasianer Fathan Muhammad Taufiq mengira asumsi pemuda yang memilih tidak mau bertani adalah sebuah kesalahan. Menurutnya bertani merupakan sebuah usaha yang paling menguntungkan dibanding pekerjaan lainnya.
Lahan dan modal pula bukan rintangan besar. Charlie Tjendapati (Bandung) yang menekuni usaha Kangkung hidroponik dan Safriga (Aceh Tengah) yang membudidayakan Kentang dan Kol telah berhasil membuktikan. Kedua pemuda tersebut telah meraup jutaan rupiah per bulannya.
Apalagi dengan berkembangnya teknologi para petani tak perlu lagi menguras tenaga berlebihan. Alat-alat yang ada sudah siap untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan, hingga menjadikannya lebih efektif dan efesien.
Mahalnya harga pupuk juga dapat digantikan dengan pupuk organik,misalnya limbah buah dan sayuran, kotoran ternak dan sebagainya. Pula banyak sekali program bantuan dari instansi terkait.
Untuk menekan gengsi, pemuda bisa juga berkiprah di bidang pengolahannya. Dengan menunjukkan kreativitas dan inovasi untuk menciptakan alat pertanian. Dan bisa juga di bagian pemasarannya. Apalagi dengan adanya kemudahan yang disediakan internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H