Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pemuda, Bercita-cita "Asal Bukan Petani" itu Keliru

19 Januari 2018   15:13 Diperbarui: 20 Januari 2018   20:36 2165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: pertanian.go.id

Kompasianer Kadir Ruslan juga membenarkan kemungkinan petani akan punah. Sebab berdasarkan faktanya, kultur bertani kita semakin tergerus. Salah satu penyebabnya kebanyakan generasi muda, sekalipun anak petani tidak lagi bercita-cita jadi petani.

Menurutnya penyebab utamanya sama adalah anggapan bahwa petani itu bercirikan miskin, dan tidak modern. Hingga yang bergelut di bidang pertanian hanya tinggal orang tua saja, dan dengan kapabilitas rendah atau kurang pendidikan. Maka, tantangan penyediaan pangan nantinya akan semakin berat.

Lalu dijelaskan, untuk mencegah bencana itu terjadi kita harus menginovasi dan memodernisasi sektor pertanian. Semisal mengikis citra miskin di sektor pertanian tersebut, memberikan sudut pandang bahwa bertani dapat memberi kesejahteraan, terutama generasi muda kita.

Dari pemaparannya, salah satu akar masalah dari kemiskinan di sektor pertanian adalah masalah lahan yang sempit. Padahal menurut sejumlah kajian untuk mencapai Break even point (BEP) seorang petani harus menggarap lahan minimal setangah Hektar. Karenanya citra miskin itu menjadi wajar, sebab ada sekitar 56 persen rumah tangga pertanian gurem atau memiliki lahan kurang dari setengah Hektar.

Kompasianer Fathan Muhammad Taufiq mengira asumsi pemuda yang memilih tidak mau bertani adalah sebuah kesalahan. Menurutnya bertani merupakan sebuah usaha yang paling menguntungkan dibanding pekerjaan lainnya.

Lahan dan modal pula bukan rintangan besar. Charlie Tjendapati (Bandung) yang menekuni usaha Kangkung hidroponik dan Safriga (Aceh Tengah) yang membudidayakan Kentang dan Kol telah berhasil membuktikan. Kedua pemuda tersebut telah meraup jutaan rupiah per bulannya.

Apalagi dengan berkembangnya teknologi para petani tak perlu lagi menguras tenaga berlebihan. Alat-alat yang ada sudah siap untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan, hingga menjadikannya lebih efektif dan efesien.

Mahalnya harga pupuk juga dapat digantikan dengan pupuk organik,misalnya limbah buah dan sayuran, kotoran ternak dan sebagainya. Pula banyak sekali program bantuan dari instansi terkait.

Untuk menekan gengsi, pemuda bisa juga berkiprah di bidang pengolahannya. Dengan menunjukkan kreativitas dan inovasi untuk menciptakan alat pertanian. Dan bisa juga di bagian pemasarannya. Apalagi dengan adanya kemudahan yang disediakan internet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun