Inspirasi memang bisa datang dari mana saja. Entah itu dari orang terdekat, orang asing (lain), dan tentu saja dari gebetan atau pacarmu. Misal, beberapa hari belakangan kamu tak doyan makan, tapi eh tiba-tiba si doi tau dan memintamu makan, "Nanti kalau sakit saya yang sedih," bujuknya. Jadilah secepat kilat kamu bisa menghabiskan nasi tiga piring, sekalipun itu tanpa lauk.
Bisa juga dari benda mati. Misalnya air, yang selalu mengalir dengan riak yang menenangkan. Jadilah kita terpikir, kenapa selama ini selalu berusaha membuat rusuh keadaan yang memang kadang sedang gaduh.
Selain itu, sumber inspirasi terkadang nyambar berkat pencapaian diri dan kondisi lingkungan. Untuk pencapaian diri (prestasi) seperti para peraih Kompasianival Awards, yang mana berdasarkan pengakuan para jawara penghargaan itu akan memacu mereka lebih giat lagi.
Sedangkan inspirasi yang datangnya dari kondisi lingkungan, saya sudah pernah ceritakan dalam sebuah artikel: Sukrianto yang berhasil mengolah warisan leluhur (budaya) jadi usaha. Yaitu memakai keindahan motif pakaian adat ke dalam bentuk lain---hiasan rumah tangga.
Bahkan inpirasi bisa datang dari binatang "menyedihkan" tapi pekerja keras: Laba-laba. Ibrahim namanya yang memulai dagang setelah terilhami dari serangga penjerat itu.
Sudah belasan tahun lalu (ia lupa tepatnya), Ibrahim merantau ke Kabupaten tetangga, Aceh Tengah. Ia pergi meninggalkan segudang masalah yang menurutnya tak ada jalan lain sebagai pemecahnya, selain kabur. Ia suka berjudi hingga mencipta gunungan hutang dan membohongi istri yang sudah melahirkan dua anaknya, Lela Mahdi dan Imah, untuk menjual sebidang sawah warisan dari mertuanya.
Sekira dua tahun ia menjadi kuli kasar di sana, pekerja harian di kebun warga. Tapi akhirnya mendapat tenelen (baca: keluarga angkat), yang mau memberinya modal menanam Kopi di kebun milik "malaikat" penolongnya itu. Sampai masa panen ia dibelanjai merawat, dan selanjutnya akan bagi dua kebun: separuh sah jadi miliknya tanpa perlu merawat lagi bagian yang sudah menjadi milik pemodal.
Tapi, sebelum masa jaya itu datang ia kembali membuat ulah. Ia mengaku memang sulit meninggalkan kebiasaan, sekali pun tau itu tidak baik. Kembali jadi "berandal", mengikuti para pejudi tuan rumah rantauannya. Ditambah ia mulai suka "mengedip-ngedipkan" mata pada janda. Hal itu juga kadang dicoba pada anak gadis. Sebab itu keluarga angkatnya berang, membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa ampun mengusirnya.
Setelah itu ia pun pindah ke lain kecamatan. Tentu saja dengan beban penyesalan, akunya. Kembali merangkak---jadi kuli harian di kebun warga demi menyambung hidup.
Suatu hari ia mendapat borongan mengikis gambut kebun kopi yang baru tumbuh. Tidak tanggung-tanggung, satu Ha ia pegang sebdiri. Niatnya setelah kerja kelar akan merambah ke Kabupaten lain, atau mungkin ke Sumatra Utara.
Kebun yang sangat ia harapkan upahnya itu lumayan jauh dari pemukiman warga. Tapi sudah ada jalan setapak yang bisa dilewati motor zaman jadul. Beberapa kali ada petani menawarkan tumpangan. Kebanyakan tidak, sebab kendaraan mesin yang lalu-lalang mengangkut hasil tani.