Keluarga saya juga pernah beberapa kali didatangi famili jauh yang nyambi jadi Timses dari salah-dua kandidat yang menawari begitu. "Tenang, pokoknya kau kerja dengan kita" (tidak persis sama, dilebih-lebihkan, hehe). Melihat ada gelagat penolakan, dia tambah menegaskan. "Jangan khawatir, kau akan kerja dalam tempo secepat-cepatnya", tukasnya dengan semangat. Haha. Merasa gagal, ia mengintruksikan yang lain, dan masih ada bau keluarga. Tau kan kenapa memakai cara keluarga? Tepat sekali, agar sulit ditolak tanpa money politic. Tak perlu menerka apa saya menerima, titik.
Ditengah masa Sepatu Pantofel Lebih Berdaya Magis daripada Otak (tulisan saya), bukan hanya pemain politik yang bermain, tapi juga pemegang hak pilih ikut 'berpolitik', melobi kandidat baik dengan jualan "sekian suara" dan bahkan materil sebisa mungkin turut dihanguskan dan sebagai imbalan nantinya, jika jadi, "posisi" yang diberikan, ya, demi memenuhi gengsi, mendapat label Pemda atau lainnya, entah padanya atau keluarga.
Jelas saja para politikus menerima, yang notabene untuk memenuhi kepentingannya apa pun terkadang dilakukan, termasuk manipulasi, korupsi apalagi hanya sekedar nepotisme yang konon jarang terlacak. Rupiah melimpah pun dikucurkan apalagi hanya sekedar mengamini janji-janji. Maka permainan itu lancar jaya.
Tepat pada tanggal 03 Oktober kemaren, pemimpin baru di daerah penulis sudah dilantik---yang terpilih Muhammad Amru dan Said Sani. Tidak disangka, ditengah berdebunya gurun perpolitikan Bupati Terpilih seakan mampu membawa oase. Menanggapi isu mutasi beliau berkata, ".....Hanya dahan yang rapuhlah yang takut dengan datangnya angin."
Tentu saja kata-kata itu mampu meredam rasa dahaga yang sudah dirasa sebelum dahaga itu datang. Menerapkan sistem the rigth man on the rigth job sepertinya diutamakan, ya memang seharusnya. Kendati begitu memukaunya permulaan masa pimpinannya, mungkin saja ada simpatisan loyal beliau yang masih menyimpan dendam pada lawan merasa kecewa. Itu juga harus dimaklumi.
Dari situ saya berasumsi, di kemudian hari nanti beliau tidak akan 'membunuh' lawan politiknya yang ada di pemerintahan jika tidak tepat alasan---tapi masih belum 'sepenuhnya' yakin sih. Ya, karena "tiada kawan dan lawan abadi dalam politik" tadi.
Saya hanya berharap, jangan menghukum pejabat negara yang potensial hanya karena berbeda pandangan politik, seperti 'kabar' yang sudah-sudah. Tapi kalau mengancam pencapaian visi dan misi karena dendam politik sih terserah, sekali pun itu dilempar ke tepi neraka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H