"Boleh bertemu," bukamu lagi, masih kaku. Melihatku beku memegang daun pintu. Aku terus bergeming, dengan hati rusuh---bertanya-tanya, tapi sulit mengungkapkannya.
"Ini Kitab Pak Ahmad tinggal," jelasmu, "dan saya hanya ingin mengembalikannya."
Aku melihat sodoran tanganmu. Setelah mengenali Kitab mungil itu, mataku terbelalak. Mengingat Bapak selalu mencari benda kesayangannya, yang kata Beliau lupa nyimpan di mana. Amarahku tiba-tiba muncul.
"Saya tidak mencurinya," terangmu, dengan suara bergetar. Mungkin takut aku mencerca atau ditangkap Polisi.
"Lalu?"
"Pak Ahmad meninggalkannya di taman Alun-alun."
Aku bingung. Â Menanggapi perkataanmu dengan menggeleng ke kanan sembari menaikkan alis sebelah kiri, meminta penjelasan lanjutan.
"Sekira sejam setelah itu, Saya menghubungi. Tapi Nomor yang Bapak berikan sampai saat ini tidak aktip."
Bapak memang pernah cerita kesialan itu. Pulang dari Alun-alun, ponselnya raib, tidak jelas di mana.
Darimu aku tau, kebetulan setelah melepas penat sehabis pulang Salat Jum'at antara kau dan Bapak sebangku di taman. Pertemuan tidak direncanakan itu melesahkan banyak cerita, berbagai topik, dalam sejam saja. Juga bertukaran alamat. Bapak lebih dulu berpamitan, sedang kau masih di situ hingga menjelang Salat Asar. Sebenarnya kau tidak hendak lebih lama. Karena Kitab itu membuatmu menanti---kali aja dijemput kembali, rekamu.
"Kenapa tidak mengantar lebih cepat?" tanyaku tanpa perasaan, dan langsung menyambar kejam sodoranmu, curigaku kau sengaja menikmati tanpa minta izin.