Daerah terpencil, memiliki akses yang rumit memang membuat penghuninya sulit mengembangkan ekonomi. Alasannya sulit menyebarkan pemasaran, sekali pun potensi penghasilan melimpah ruah. Ongkos kirim yang besar dan perjalanan panjang membuat barang rentan rusak.
Hal itu cukup menjadi daya tarik penduduk untuk memproduksi barang yang laku dan tidak mudah rusak, sekali pun hukum tidak melegalkan. Seperti Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang terkenal dengan "tembakau hijau", sebutan halus untuk ganja, yang hingga kini belum punah peredarannya. Jadi kalau ganja terkenal di Aceh, maka di Aceh, Gayo Lues lah induknya, begitu kata mereka.
Kualitas ganja yang dihasilkan Gayo Lues tidak perlu diragukan lagi. Bahkan bisa dikatakan sebagai kualitas kelas wahid. Hal itu saya yakini saat sekolah dulu, dalam suatu acara pemberantasan narkoba, salah satu pembicara pernah berkata atau menyampaikan penilaian orang asing, "The Best Marijuana in the World... there is here, Gayo Lues," kira-kira begitu kekaguman mereka. Tapi, yo, Anda berlebihan melabeli kalau di sini ganja tumbuh di pekarangan rumah, titik!
Jujur saya dan mungkin teman-teman yang masih labil, cukup bangga mendengar pengakuan itu. Pesan pencegahan yang disampaikan kalah dengan niat ingin mencoba. Dan bablas satu pukul (sebatang rokok) telah membuat saya fly, setelah itu saya mengibarkan bendera menyerah dan hingga kini tidak pernah lagi. Karena pengosumsi parah yang jadi "gila" cukup menjadi alasan kalau benda itu memang gila.
Jelas kita (apalagi pemerintah) sangat paham kalau benda itu tidak boleh dilegalkan di Indonesia. Pelarangan itu bersandarkan pada Undang-undang No. 8 Tahun 1976, tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.
Tapi ada pengecualian pada/dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009, tentang Narkotika. Di situ ganja termasuk dalam narkotika golongan I. Pada Pasal 7, Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi. Meski di lain pasalnya ada lagi pengecualian, tetap saja melalui surat izin dan terbatas membudidayakan atau produksinya.
Sudah pula capek memundak (dikenal dengan sebutan Bejangkat), malah sebagian tidak dapat menyesap hasil yang katanya glamor. Karena penadah yang tergabung dalam sindikat yang kompleks tak jarang akhirnya bermain curang. Jadi hanya dapat letih dan bisanya cuma mengurut dada. Mau nuntut tidak bisa, karena benda itu dilarang. Kecuali mungkin di pengadilan akherat yang tak pasti (sebab ada juga ceritanya dulu ustad jadi dalang).
Tidak legal, hingga harus sembunyi-sembunyi dan tak jarang dikadali, otomatis prosesnya yang mudah tidak masuk akal sebagai alasan. Lantas, apa alasan meraka? Saya bingung.
Apa di pemerintah di Gayo Lues melarang? Jelas! Tidak perlu ditanya lagi, Gayo Lues juga salah satu Kabupaten dari Indonesia. Banyaknya keraguan serupa pernah membuat BNN kalap. Ketika Pelatihan "pencegahan" yang diadakan Dispora, tahun lalu, salah satu pematerinya Kepala BNN Gayo Lues, Samsul Bahri, beliau memaparkan terstrukturnya peredaran narkotika yang memang membuat peserta melongo.
"Sekarang sudah tau cara peredarannya. Jadi jangan lagi sebut-sebut pemerintah tidak mau mencegah!" geramnya pada peserta pelatihan, seolah kami menuding demikian.
Konyolnya, setelah acara pelatihan itu, Pikiranmerdeka.co (11/03/2016) melansir berita yang mengagetkan, yang berjudul "Telibat Sabu, Pejabat Dispora Gayo Lues Dibekuk", hal itu membuat saya tertawa heran.
Kalau dulu, boleh lah hitamnya ekonomi sebagai dalih, seperti yang disinggung pada paragraf pertama dan kedua. Tapi sekarang? Infrastruktur sudah mulai disihir, walau pun para normalnya belum sakti madraguna, hingga karyanya masih ompong, ya wajarlah.
Namun sudah cukup banyak distributor barang yang bisa jadi sandaran ekonomi---misal bertani serai wangi yang sudah diakui bisa berpenghasilan besar, Kopi Gayo yang melegenda, bertani cabe yang kadang kita bisa mendadak jadi "orang kaya baru" dll.
Keanehan kembali muncul, sudah pula diancam dengan hukuman mati, kenapa masih saja belum berhenti? Apa karena memang sudah ingin mati? Atau, ah, ada jaminan moral keliru dari penegak hukum?
Sepertinya yang terakhir terindikasi kuat keberadaannya. Sebab, HarianAndalas.com (03/10/2017) merilis berita berjudul, "Lepaskan Napi, Penjaga LP Blangkejeren Ditangkap", di situ diterangkan kalau Petugas LP berinisial U melepaskan Seorang Napi yang baru menjalani hukuman 1,9 tahun, sedang vonis yang ditetapkan 12,3 tahun. Nahas, si Napi yang "sakti" itu kembali ditangkap karena mengedarkan ganja.
Di situ pula diterangkan, ada rumor bahwa napi mengikuti cara dedengkot korupsi Gayus Tambunan memuluskan jalan. Memberikan uang sebesar Rp. 10.000.000,00 pada petugas. Nah, kalau benar kan lumayan, mendapat uang 10 juta bisa menghabiskan gaji petugas berbulan-bulan. Uang bisa mengatur segalanya kawan.
Kalau di rumah penghukuman atau lebih ringannya pemulihan saja para algojonya merestui mereka kembali berbuat hitam, jelas saja itu menghabiskan anggaran, bukan?
Maka, kalau seandainya di Gayo Lues ganja belum juga surut saya berkeyakinan ada oknum pemerintahan yang lebih besar dan terstruktur menjadi penguat aksi yang tergabung dalam sindikat peredarannya. Titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H