Seperti yang kita ketahui dan akui bumi Indonesia tidak perlu diragukan lagi kesuburannya. Maka, tak ayal seorang politikus pada masa pencalonan pasti mejual diri di bidang pertanian. Walau pun kadang selama menapak di bumi ini tidak pernah bercocok tanam, tapi mulutnya berbusa-busa mengaku diri sang ahli.
Mulai dari tingkat kepala desa, Bupati/Walikota, DPR, DPD dan termasuk Presiden saat ini, Joko Widodo, melakukan hal serupa---kira-kira ujungnya memberdayakan petani. Sah-sah saja sepajang tidak dilempar batu saat ngomong, bukan?
Walaupun kadang, memang harus kita akui juga barang yang seharusnya tumbuh elok, malah pada waktu tertentu harus mengimpor demi memenuhi defisit kebutuhan. Akan hal itu, juga tidak elok jika kita semena-mena menuding pihak yang harus bertanggung jawab. Sip, ya?
Untuk memuluskan jalan menjadi RI-1, Presiden kita tercinta terkenal dengan sihir dahsyat beliau, nawa cita. Makjleb, umpan dimakan.
Karena sudah menaiki tangga tiga tahun, maka bolehlah selang beberapa bulan lalu Lembaga pengaji dan penganalisis yang berinduk di Landen itu memandu tepuk tangan penghargaan. Dan bapak 'dalang' kasus E-KTP mengamininya. Aplus!
Didalam Nawa cita yang agung, mencakup gairah menggenjot sektor pertanian, "meningkatkan swasembada pangan" dengan salah satu cara: memperluas lahan bagi petani, keren.
Namun, tidak perlu terlalu jauh dengan lahan baru yang akan diberikan. Nyatanya di daerah-daerah, terkhusus daerah penulis, lahan yang sudah digenggam saja masih memaparkan peliknya hasil.
(Bukan mau menjelek-jelakan, apalagi ngiri) Sebagian prajurit pemerintah, terkhusus Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang sudah diberi mandat mulia malah mangkir dari lintasan.
Seharusnya pionir pemerintah dalam bidang pertanian ini berbaur erat dengan petani. Jadi, konyol namanya jika PPL benci beceknya sawah yang sedang dibajak.
Kerena profesi keluarga saya mutlak petani. Sepulang dari rantau, daripada menabung bosan saat waktu luang, saya memilih ikut dari belakang. Saya pernah bertanya siapa PPL untuk Kampung kami. Ketika itu kebun Cabai keluarga sedang digerogoti habis-habisan oleh antraknosa.
Anehnya, keluarga saya tidak ada yang tau. Ya, itu masih bisa dimaklumi, karena secara total warga kampung adalah petani, maka wajar jika PPL tidak sempat bertegur sapa dengan semua. Tak apa cahaya suluh tidak sempurna memberi terang.
Keanehan semakin menjadi-jadi, sebab banyak warga yang tidak tau. Ada yang tau, tapi hanya menyebut kalau manusianya perempuan. Kemudian, setelah bercerita dengan Pengulu (kepala desa) baru saya yakin kalau orangnya memang kaum hawa. Saya pun sempat melihat orangnya dan saat ini sudah lupa namanya.
Sebelum bulan puasa kemaren. Saat harga Cabai dan Bawang merah sedang ditengah jalan menuju penurunan. Kami para petani tentu curhat habis-habisan. Kataku, berdasar pengakuan kementan barang penghasil pedas lagi meledak.
Dari banyaknya basa-basi sesama pesakitan, ada yang nyindir PPL tadi. Ternyata, usut punya usut Komandan itu sudah diganti lama, tidak tau kapan tepatnya. Saya pun bertanya orang mana. Ini yang paling aneh alias ajaib bin ganjil. Bagaimana tidak aneh, jika ada yang tidak kenal dengan bagian dirinya---asalnya saja tidak ada yang tau, apalagi batang hidungnya,mustahil lagi kalau racikannya. Wadooh.
Jadi, mustahil kalau tangan anda ikut berkeringat saat ekonomi masyarakat meningkat, jika pun memang fungsi anda mengingkatkan pemberdayaan, tapi nyatanya seperti diatas.
Kejadian itu di kampungku. Gak tau kampung lain. Tapi, kuat dugaan bagai pinang dibelah dua alias mirip bin serupa.
Kami sudah sama-sama tau, memang kalau dengan PPL kami cukup skeptis, bahkan bisa disebut apatis. Tidak mau mendengarkan teori yang diserap dari goresan Profesor dalam buku tebal itu. Kami tidak mau nurut usulan yang ribet-ribet dari pengetahuan PPL, apalagi yang mahal (catat: sebagian).
Juga karena kami kurang pendidikan, ada juga yang tidak pernah sekolah. Walau pun anda (PPL) dibekali kemampuan sebagai pengajar, sah saja kalau enggan mengajar murid yang tidak mau diajar. Banyak, kan? Apalagi tak jarang murid malah mengurui balik. Eh, bandel banget itu.
Karena begitu kejadiannya, kita sepakati damai saja, kami juga tau PPL itu manusia. Tapi, kalau boleh sedikit judes, saat kami panen raya jangan berkata "kita berhasil meningkatkan produktivitas", apalagi pake diumumkan ke khlayak ramai. Loe, kagakikut usaha kale!
Terakhir, seperti yang kami tau baru-baru ini, tugas pokok anda adalah menyuluh---kalau boleh agak kasar: dibayar untuk menyuluh, itu pun jika memang dibayar. Nah, bagaimana caranya jika sewaktu-waktu anda diminta melaporkan persiapkan, pelaksanaan, perkembangan dan hasil evaluasi kegiatan penyuluhan? atau tidak pernah melapor?
Oh, iya! Hampir kami lupa, kalau anda sudah dibekali keterampilan, juga kami tidak menuduh keterampilaan itu termasuk memanipulasi. Sip, ya? *Tapi, disitu kadang kami merasa sedih! Huhu ...
*Catatan: saat ini ditulis, saya tidak tau apa masih ada jatah penyuluh untuk kampung kami. Besok cari tau ah.
Gayo Lues, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H