Sekira seminggu yang lalu, perlahan semua warga telah mengibarkan kain suci dua warna, bendera merah putih. Semenjak ditancapkan di pekarangan, bulir-bulir hujan senantiasa menghujam, memberi gigil dan bahkan tak jarang gigilan belum sirna, giliran badai yang menghentak kejam.
Pagi 17 Agustus 2017, suasana begitu adem, pasalnya embun menyelimuti dinding-dinding keropos dan atap-atap berkarat rumah warga. Kendati begitu, orang-orang terus berlalu-lalang, pergi mengais remah-remah materi demi hasrat tinggi merayakan kemerdekaan yang hakiki.
Sunyi, iya sunyi sekali, selain pemasangan bendera tidak ada pernak-pernik perayaan kemerdekaan, seperti halnya yang kita tahu---mungkin mereka tak pernah tau, atau memang tidak mau tau, juga mungkin tidak merasa levelnya untuk merayakan lebih.
Pada saat detik-detik kemerdekaan, di tengah cuaca yang berawan aktivitas kampung begitu sepi, selain Merah-Putih yang terus bergeliat diterpa angin kencang yang tak tentu arah, hingga nyaris roboh. Bukan menunggu proklamator kekinian membacakan ikrar merdeka. Juga bukan menghayati glamornya merdeka yang sudah melangkah 72 tahun. Bukan!
Melainkan mereka sedang khusuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri, di ketinggian areal pertanian dan hamparan sawah. Sedang berperang. Mereka sama sekali belum merdeka.
Di Pendopo-pendopo megah, jiwa-jiwa yang merasa---ada juga memaksa diri merasa---merdeka sedang meresapi bait per bait kata-kata yang sudah diakui pendahulu kesakralannya. Mereka tunduk atau seolah tunduk.
Sedang di gubuk-gubuk riskan kebun, mereka menyepi, berlindung melepas lelah sambil meracik setrategi perang melawan serangan musuh di medan tempur, lahan. Sedang Komandan Strategi Perang---Penyuluh---mereka yang sudah dibayar tak kunjung datang. Mereka sangat rindu walau hanya sebatas bertegur sapa.
Juga di gubuk reot sawah mereka tepekur, berlindung melepas penat sambil menyusun siasat perang melawan serangan musuh di medan tempur, sawah. Dan sudah lama sang Komandan tidak unjuk gigi. Apalagi memberi rumus menaklukkan musuh.
Bukan dengan Kumpeni mereka sedang berperang. Tapi, dengan perampas modal kemerdekaan badan dan jiwa, di antaranya: hama dan harga tani, juga harga kebutuhan seperti roket yang siap meluluh lantakkan benteng jadi penyudut tambahan. Mereka terus mengangkat senjata.
Mereka memang tau telah dinyatakan pendahulu kita merdeka. Tapi karena jiwa-jiwa mereka dipaksa musuh takluk hingga badan semakin ringkih. Maka mereka terpaksa menunda perayaan. Tentunya, sebelum berusaha menepis penjajah yang beringas menembakkan peluru ke dinding hati serta akhirnya berdampak pada badan.
Sementara mereka terus berjuang. Lahu kebesaran di pusat perayaan didendangkan penuh semangat.
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Begitu lantang tim obade yang sudah dilatih jauh-jauh hari itu mendendangkan lagu wajib. Yang di antaranya mungkin hanya sebatas menghapal. Pasalnya mereka dibayar. Ketika mereka menyerukan untuk "bersatu", mungkin di sudut sunyi lain negeri sekelompok orang sedang menyusun perpecahan---mungkin juga dalam benak yang hadir di situ sedang merancang kongkalikong penyempitan hak sebagian saudara mereka sendiri.
Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Elok sekali mereka menaik-turunkan nada. Seolah penuh penghayatan. Tapi nyatanya tanah mereka telah mati, sebagain mereka menuju sekarat. Jiwa-jiwa sedang tersandera dan badan-badan terpaksa merayap. Masih jauh dari kata "raya".
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia raya
Klop. Sekali Lagi. Ayo, Yang Kompak!
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia raya
Juga anak-anak sekolahan itu, mungkin sepulangnya ke rumah akan kembali merengek minta uang pada mereka yang belum merdeka, dan terus berperang, karena royalti mengumandangkan lagu itu belum cukup untuk membeli Smartphone baru.
Lemahnya aura kemerdekaan di kampungku bukan kali pertama. Melainkan seumur-umur ingat yang telah hinggap di sanubari tak jauh beda dengan hari ini. Rata-rata warga terus sibuk di sawah dan kebun Cabai, Bawang, serai wangi masing-masing.
Sejauh mana sih sebenarnya "Indonesia Raya" telah hidup? Apakah hanya sampai pada mereka-mereka para petinggi negeri atau hanya sebatas di Lagu saja? Untuk tahun selanjutnya 'ajaklah' kami merayakan merdeka---penuh harap.
Gayo Lues. Merindu Kemerdekaan Mutlak. 17-08-2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI