Dalam perjalanan yang tidak begitu jauh Ia terus bersalaman. Menjabat erat tangan para sahabat dan semua kaum Adam yang berlewatan, sambil memohon ampun atas semua khilaf. Orang-orang bangga menyambut dan balik bermaksud sama, meminta maaf.
***
Aura kemenangan begitu terasa dalam himpitan manusia. Sebab para pecundang masih banyak diluar sana: lebih memilih berbaring dalam hamparan kasur dan berselimut kain tebal dengan iler memenuhi bantal.
Aroma iman tercium nyata. Sebab para pendosa enggan sujud meski hanya setahun sekali: mereka memecah tembok malu dengan alasan basi ‘tak ada guna menjalankan sunnah tapi yang wajib terbengkalai’—cukup itu saja, mereka sudah merasa aman dari malu.
Setelah Salat Tahiyatul Masjid Ia bersila, ikut hanyut dalam takbir.
Matahari perlahan bangkit di ufuk timur, memberi penerangan. Dalam siklus hari, kini siang ambil peranan. Suara Imam lantang menuntun takbir demi takbir Salat Ied. Jamaah khuyuk mengikuti.
Diluar angin pagi meriakkan sisiran daun kelapa yang terbalut tetasan embun, pelan. Busa-busa embun menghalangi pandangan. Memutih, mencumbui bumi. Hati yang adem karena telah kembali suci, bertambah sejuk dengan hadiah alam.
Salat Ied telah usai. Para jamaah silih berganti meninggalkan Masjid. Luapan gembira kental dirasa. Mamad masih tafakur. Mungucap syukur padaNya, karena hadiah ramadan begitu istimewa untuk keluarganya, meski tidak berupa barang. Air matanya menetes.
***
“Bagaimana keadaan Sami?”
Perempuan paruh baya, tetangga mereka, menenteng sepotong lemang dan kantong keresek untuk diberikan pada keluarga Mamad. Sekampung mereka tau, kalau Mamad dan keluarga tidak membuat lemang dan kue di lebaran ini, selain tidak ada yang buat juga uang habis untuk membeli obat—sangat sepi dari suasana lebaran.