Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Siapa Sih Tidak Kenal Afi Nihaya dan Basuki Tjahaya?

11 Juni 2017   19:39 Diperbarui: 12 Juni 2017   03:47 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://kontenesia.com

Siapa sih yang tidak kenal Afi Nihaya dan Basuki Tjahaya? Saya kira hanya sedikit saja yang tidak tau keduanya. Dan pada segelintir itu, saya akan bertepuk tangan, "Plok. Plok. Plok. ... ."

Afi dan Ahok memiliki kisah yang kontroversial, kita semua tau. Terlebih saat keduanya menyingsingkan lengan baju untuk membela diri, bukan dengan seni bela diri.  Afi mendapat pertentangan di mata khalayak karena sebuah tulisan, sedangkan Basuki (Ahok) karena kurang cermat menjaga lisan yang keluar dari mulutnya.

Dan kisah mereka turut diviralakan oleh media. Karena posisi mereka sedang diatas angin, kita-kita pun sebagai konsumen informasi ikut serta mengipas-ngipas bara. Lalu kekontroversialannya menjadi-jadi. Hingga seolah kurang sedap jika tidak ikut mengunyah. Ya, paling tidak harus ikut menelan.

Saya yang tinggal di pedalaman Aceh tidak mungkin tau (atau kecil peluangnya)  dengan gadis asal Bayuwangi kalau tidak ada tulisan Kompasianer Pringadi Abdi Surya yang sangat populer di Kompasiana dan beberapa tulisan Kompasianer lainnya jadi pengaya pengetahuan. Jadilah saya ikut stalking Facebook Afi dan juga pihak yang terciderai, Mita. Mungkin juga teman yang lain melakukakan hal yang sama.

Lain lagi kisah Ahok, yang sekarang sudah dipenjara karena sifat kontroversialnya tentang penodaan agama. Jauh-jauh tahun sifat kontroversial Ahok terus-terusan digoreng media, hingga mungkin manusia setangkup langit dan sebundar bumi telah tahu.

Sepupu kecil saya juga sudah tahu Ahok, Sidan namanya. Ia yang masih kelas lima SD merupakan salah satu sumber pesan untuk saya kalau Ahok kalah di Pilkada DKI kemaren, padahal saya tidak mikir. Dua hari atau tiga hari setelah Pilkada saya bertandang ke rumahnya, ia menyambut bukan dengan kata "Mau Apa?" "Cari siapa?" atau yang lebih layak "Apa kabar Bang?", malah ia langsung bilang "Ahok kalah Bang". #Adooh. Kemudian sepupu yang lebih kecil, Dewi, kelas 1 SD, ikut menimpali " Saya inginnya Ahok menang." #Ohhh no. Mungkin sepupuku itu salah satu contoh dewasa sebelum waktunya, sudah jadi pengamat politik soalnya. Saya pun heran, tidak tinggal di Jakarta dan masih ingusan pula.

Ya, saya tidak salahkan mereka. Ibarat pepatahnya "lancar kaji karena diulang" atau ada pepatah yang lebih cocok. Dan lagi-lagi media sebagai guru ngajinya dan kita-kita sebagai jamaahnya. Disini saya tidak bermaksud menyalahkan media salah ajar. Tidak. Kitanya saja jadi korban, mungkin.

Afi dan Ahok memiliki kesamaan saat membela kesalahan---hal ini membuatnya semakin populer. Keduanya seolah tidak puas dengan putusan. Meski Afi sudah mengaku bersalah, tapi ia tetap bersifat pongah, dengan melayangkan serangan kalau "kita semua pernah melakukan plagiat". Begitu pula Ahok, saat sudah dipenjara masih saja memberi pesan kalau "perjuangan belum usai", bukankah kata-katanya bisa dilogikakan kalau ia sebenarnya didiskriminasi atau bukan dihukum karena sebuah kesalahan?

Pembelaan mati-matian mereka membuat kelompok di pihak mereka terus melakukan pembelaan dan menyerang lawan. Dan begitu pula sebaliknya. Ini yang 'luar biasa' saya kira, kok mereka punya waktu begitu banyak.

Lain lagi saya kira kisah mereka cukup (kalau tidak bisa disebut total) dapat mengganggu  perkembangan revolusi mental. Alasannya, ya bisa jadi ada yang mencontoh kisah mereka agar bisa terkenal (kemudian dapat untung) dan diundang pak jokowi atau jadi nara sumber di acara talk show media.

Di masa yang modern ini bisa saja, bukan?

(Sebelumnya saya memasang tameng praduga tak bersalah) Saya kira kisah keduanya menyerupai proses pembakaran Jagung, tapi pengipas bara terbagi menjadi dua. Salah satu kelompok pengipas ingin bara tetap menyala, hingga pembakaran Jagung terlaksana. Di lain kelompok ingin sebaliknya, alasan mereka juga tidak terbantah, karena menurut mereka Jagung yang sedang terpanggang tidak baik, tidak mengandung gizi kalau dikonsumsi. Jadilah pertentangan keduanya berlanjut, tidak mau ngalah dari kedua kelompok jadi biang masalah. Jagung yang dibakar hanya terbalut jelaga, tidak matangdan arang pun menjadi abu. Tidak penting.

Padahal, saya kira kisah mati-matian orang-orang di---meminjam kata-kata Gusdur---"Taman Kanak-Kanak" sekarang ini jauh lebih penting dari kisah keduanya. Berdasarkan asumsi kelakuan mereka sangat sedang berulah. Mereka-mereka yang dipercaya rakyat sebagai pedang melibas musuh, malah beraksi keras menumpulkan pedang rakyat lainnya yang sedang tajam-tajamnya. Ini saya heran, kok wakil rakyat membuang muka pada keinginan rakyat.

Tapi, setidak penting apapun kisah pasti meninggalkan pembelajaran, kita semua tau. Pertama, rekaman sejarah Afi akan terus diputar dalam ingatan, membuat kita waspada sepinter dan sedoyan apapun kita menulis harus dipastikan kalau kita tidak jadi maling. Bagaimana kalau kita lupa dan terlanjur nulis? Ya, akui saja tidak usah berulah. Kedua,tontonan dari tokoh drama yang bernama Ahok membuat kita akan semakin awas dengan suara yang keluar dari jugur. Bagaimana kalau sudah terucap? Ya, akui saja tidak perlu merasa didiskriminasi dan taat pada hukum meski tidak sengaja---kalau kesandung batu, walau pun tidak sengaja pasti terasa nyeri pada kaki, bukan?

Kemudian, siapa yang bertanggung jawab kalau kisah keduanya berdampak negatif terhadap pengamalan revolusi mental? Ya media dan kita-kita sebagai pengipas bara. Lalu, siapa yang layak dipuji kalau kisah mereka berdampak positif? Ya, media dan kita-kita sebagai pengipas bara.

Lantas, kenapa pada awal saya bertepuk tangan pada orang-orang yang tidak tau Afi dan juga Ahok? Ya, karena mereka tidak atau belum jadi korban media. Hehe.

Akhirnya, apapun itu keduanya telah mencipta sejarah. Terserah sebagai sejarah apa kita menganggap, baik atau tidak. Yang jelas kita akan mengingatnya. Apalagi saat (mungkin) terulang kembali kisah serupa.

Sampai paragraf ini, akhirnya saya pun sadar (pura-pura), pada kenyataannya, saya bilang tadi tidak penting, tapi sudah  turut andil mempublikasikan kedua tokoh. #Wadooh! *Tepok Jidat. ------ Ini plagiat juga, kah?

Karena saringan saya sering tidak meninggalkan ampas, dan lupa mecatat wujud empunya, hingga tidak jarang asal-muasal saripati yang kuhidangkan terbengkalai. Dari itu, saya mohon koreksi dan tentunya banyak minta maaf.

#tes kompasiana baru

Gayo Lues, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun