Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meski Miskin, "Sorry Kalau Uang Receh"

5 Juni 2017   23:06 Diperbarui: 6 Juni 2017   07:49 3144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.ociym.net (05/07/2017)

Dalam pemberitaan Kompas dot com, pada Maret 2016, di Baubau uang logam Rp.100 dan Rp. 200 sudah tidak lagi dipakai dalam proses jual beli. Meski pemberitaan 2016, tapi bisa jadi sudah jauh tahun uang logam itu disingkirkan sebagai alat tukar.

Begitu pula di Gayo Lues, uang receh seolah sudah diharamkan oleh katong. Bahkan, bukan hanya pecahan Rp. 100 dan Rp. 200, tapi segala bentuk uang logam yang masih dihalalkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini turut dipinggirkan.

Saya juga awalnya kaget, ketika pulang kuliah (tahun 2012), secara tidak sengaja ada puluhan keping uang logam yang terselip dalam kantong koper—biasanya memang saya gunakan sebagai celengan—kalau ditotal jumlahnya cukup fantastis, melebihi angka Rp. 5000. Pikir saya lumayan untuk beli Mi Instan. Tapi apa? Saya malah diketawai sama keluarga. Saya sedih ketika itu, sebab maksud hati di kampung halaman hendak mengulang sejarah semasa kuliah—sebelum datang kiriman, makan Mi Instan dengan kumpulan uang receh—tidak kesampaian. #Ah.

Padahal pada tahun 2009 masih laku, walau memang sudah tergolong tidak terlalu ‘dihiraukan’ dalam proses jual beli. Karena tidak ada barang senilai Rp. 100 dan Rp. 200. Harga permen saja Rp. 250 paling rendah. Tapi, kalau dikasih uang  logam Rp. 100 dan Rp. 200, walau tidak minta kembalian, penjualnya tidak mau. Aneh, bukan?

Yang lebih aneh, uang logam Rp. 500 dan Rp. 1000 juga dibinasakan dalam peredaran. Seolah ingin berlaku adil—sama-sama terbuat dari logam—terhadap pecahan yang lebih dulu bernasip mengenaskan. Padahal masih ada barang dagangan yang dapat dibeli walau hanya menggunakan sekeping uang logam tersebut. Contohnya, jika ingin membeli dua buah permen, kan cukup dengan uang logam Rp. 500 saja.

Menurut keterangan sepupuku, di salah satu Kantin sekolahnya masih mau menerima uang logam pecahan Rp. 1000, yang lain tidak. Katanya Ibuk (IB)—yang juga saya kenal karena saya juga SMP di situ—meski cerewet masih mau menerima pecahan itu, karena akan Beliau transfer melalui Bank saat mengirim belanja anaknya yang sedang kuliah diluar daerah. Kata sepupuku, kalau anaknya sudah tamat tidak mau lagi.

Nah, kalau ada teman-teman pencari koin di pelabuhan Merak Banten dan Bakauheni Lampung mau jalan-jalan ke Negeri Seribu bukit ini tidak perlu membawa koinnya. Juga man-teman yang punya celengan dan ingin pindah ke Gayo Lues jika ingin membelanjakannya di sini maka wajib menukar dulu dengan uang kertas. Soalnya, takut anak Ibu Kantin SMP sepupuku tamat.

Baru-baru ini, kembali hati saya bertanya-tanya. Pasalnya setiap beli pulsa atau bahan pembakar paru-paru, pas ada kembalian pecahan seribu rupiah, sangat sering yang dikembalikan bukan uangnya melainkan empat buah permen. Sebabnya, uang kertas pecahan Rp. 1000 juga sudah jarang. Seolah uang yang bergambarkan pahlawan memegang pedang itu ingin menjadikan diri sebagai uang langka di Gayo Lues. Atau mungkin pedangnya membuat masyarakat enggan melihatnya. Dan mungkin juga masyarakat malas mengantongi, karena takut pedang tajam Kapitan Patimmura melubangi kantongnya.

Konyolnya, kalau jalan-jalan ke kampung lain. Pas kebelet beli pulsa. Karena uang ada sepuluh ribu, sudah pasti harus beli pulsa lima ribu. Nominal yang harus di bayar ke counter tujuh ribu. Kemudian penjual pulsa tidak ada stok uang seribuan—uang kertas tentu saja, kalau logam pasti saya juga nolak dengan dalih tidak tau UU tentang mata uang, hehe. Secera kebetulan stok permen juga habis. Ini yang sulit, sebab tidak tersedia barang sesuai selera seharga seribu. Mau diikhlaskan ke penjual pulsa yang cemberut mulu tidak rela. Mau dijemput nanti kejauhan, kalau di Kampung sendiri sih gampang, tengah malam juga bisa ngetuk pintu. Kotak infak juga tidak ada. Terus, mosok mau beli dua keping Kerupuk anak SD?

Yang paling aneh, di saat-saat uang logam telah dihilangkan dalam pandangan, dan berpeluang nyusul uang kertas Rp. 1000, tempat kelahiranku masih tercatat sebagai daerah termelarat. Kalau masih sama dengan 2015, dalam hitungan Kabupaten paling kaya, kalau hitung dari bawah Gayo Lues menempati urutan pertama di provinsi Aceh. Peluang masih serupa cukup besar, dengan rendahnya pendapatan masyarakat (khusus petani) yang didalangi rendahnya harga kebanyakan hasil tani, terutama Cabai.

Gayo Lues, 2017

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun