Ironisnya, meski sepenting itu para petani untuk melakukan jihad balik melawan hama, tetap saja mereka ragu. Alasannya itu tadi, bahan-bahan yang diperlukan terlalu mahal. Memang nominal uang dasar yang harus dihanguskan untuk satu Mulsa saja cukup besar.
Selain itu, bagi mereka yang mau menanam pun dihinggapi rasa ragu. Apalagi di daerah yang masih tergolong dalam akses rumit. Harga Mulsa berkisar antara Rp. 290.000-300.000 per gulung dan bibit juga ratusan ribu, tergantung kualitas. Ditambah lagi Pupuk, konon kabarnya ada juga yang bersubsidi dimainkan harganya. Jika mau standar uang satu juta harus lenyap. Lain lagi harga obat-obatan yang terus berlari tak ada capeknya. Yang bisa saja habis dua kali lipat dari modal dasar saat cuaca seperti sekarang.
Biasanya—yang paling bagus dan sangat jarang—satu mulsa cabai menghasilkan panen 1 ton. Jadi kalau harganya seperti sekarang, kita ambil yang dua ribu, maka hanya dua juta saja penghasilannya, itu dalam waktu kurang lebih enam bulan. Untung berapa? Ya, Zero Bos! Walau hanya dengan modal dua juta.
Di Gayo Lues upah harian buruh kasar, termasuk buruh tani, antara Rp. 70.000-75.000 per hari, itu juga sudah jarang yang mau. Jika dikali 90 hari (anggap 90 hari tidak kerja selama enam bulan tadi dan per harinya Rp. 70.000 saja) yaitu Rp. 6.300.000. Nah, andai pun modalnya balik, mereka sudah rugi sebesar upah itu.
Jadi, wajar kalau mereka baper berat, antara memilih merawat atau tidak dan antara menanam atau tidak. Yang akhirnya kebanyakan mereka lebih memilih tidak lagi merawat dan menunda menanam. Siapa pula yang mau membeli penawar luka, yang justru berpeluang besar menambah perih luka yang sudah menganga? (Ah, mungkin mereka lupa sedang berjudi, hehe)
Itu yang masih dalam masa pertumbuhan atau yang mau menanam—yang memang masih belum tentu. Ada juga yang sudah terlihat pundi-pundi rupiah nyembul dari buahnya, malah terbiarkan digerogoti penyakit antraknosa atau Patek, Cabai Rahman tadi dan beberapa yang lainnya, misalnya. Mereka seolah tidak sedikit pun rindu untuk memetik hasil jerih payahnya.
Selain harga Cabai yang anjlok, di Gayo Lues Bawang Merah tidak mau ketinggalan ‘menghukum’ petani. Biasanya petani Cabai dan Bawang Merah itu sepaket. Karena dilakukan penanaman secara tumpang sari. Bawang Merah ditanam lebih dulu, kemudian sekitar umur 15-30 hari baru Cabai.
Sebenarnya harga Bawang Merah tidak terlalu terjun bebas. Di Pasar Blangkejeren masih laku sekitaran Rp. 10.000-14.000/Kg. Namun, yang menjadi permasalahan permintaan pasar sangat minim. Tak jarang petani hanya membawa 30 Kg Bawang Merah kering ke pasar, terpaksa membawa lagi separuhnya pulang, yang mentah tidak laku.
Biasanya ‘wadah’ besar yang menampung hasil panen Bawang Merah Petani memang bukan pasar Blangkejeren. Melainkan dikirim ke luar daerah, yang paling banyak menampung Banda Aceh dan Medan serta yang berskala kecil adalah Kabupaten lain di provinsi Aceh—tidak perlu kering langsung ditimbang. Pasalnya, sekarang luar daerah nol permintaan. Tauke yang biasanya mentransfer tidak membeli, katanya diluar daerah juga banyak. Begitu.