Biasanya di Bulan Ramadan, pasti tersiar kabar harga segala kebutuhan dapur akan menyentuh langit di mana-mana. Termasuk didalamnya bahan baku penghasil pedas. Dan tentu kita yang sudah kelimpungan menahan hawa nafsu (puasa), sebagai konsumen terpaksa harus menahan kepanasan berlebih  karena harga Cabai tidak mau kalah dengan sifatnya—pedas, pakai banget malah. Namun tidak begitu Ramadan tahun ini, mungkin sebagai balasan tahun sebelum-sebelumnya. Kita pun bersyukur, Alhamdulillah.
Di daerah Saya, Gayo Lues, harga Cabai berkisar Rp. 1.500-2.000/Kg (31/05/2017), untuk Cabai Merah Keriting, yang hijau ke laut aja. Dengan harga segitu, sebagai Konsumen kita dapat berpesta pora menikmati Cabai, bukan? Kalau mau, ini lah waktunya balas dendam—mudah saja menjadikan harum Cabai sebagai pewangi air mandi, membuat jus Cabai untuk berbuka atau sebagai lalapan untuk makan sahur.
Bahkan, maret lalu, melalui Dirjen Hortikultura Kementan telah memperkirakan ketersediaan Cabai akan aman hingga bulan Juni 2017. Di Bulan Juni ketersediaan Cabai sebanyak 84.133 ton, padahal kebutuhan hanya 75.050 ton saja. Maka, jika terawangan itu benar silakan Kementan membawa pulang surplusnya atau kita yang butuh ‘kasur Cabai’ juga boleh membawa pulang. Hehe.
Kita sudah puas—bahkan sangat puas—dengan stabilitas harga yang dimaksud. Sekarang, bagai mana mereka para Petani? Hemm, apa itu penting?
Kita dapat dengan mudah menyimak kisah mereka. Kunjungi saja Group Facebook Petani Cabai Indonesia. Di situ ada juga yang mengaku harga Cabai di daerahnya kurang lebih sama dengan Gayo Lues, Rp. 2000/Kg, gak tau benar atau hanya pelampisan kesal karena tidak bisa BEP. Dan ada juga yang menuding pemerintah tidak memihak petani dalam Negeri, gak tau saya apa maksudnya, mungkin ada isu Cabai impor.
Di Gayo Lues, tepatnya di Kecamatan Blangpegayon, tidak banyak Petani Cabai sedang panen. Memang Petani Cabai juga tidak sampai separuh penduduknya. Pada umumnya mereka bukan Petani ‘tetap’ alias hanya sekali atau dua kali menanam dalam satu tahun. Sebab itu, jika kebetulan waktu panennya tepat saat harga sedang ‘stabil’ bagi pihak lain—seperti yang dijaga Kementan—seperti sekarang, jelas mereka tidak bisa senyum atau kasarnya gulung tikar. Dan harus ngutang untuk modal tanam selanjutnya, jika mereka mau lagi tentu saja.
Rahman adalah salah satu Petani Cabai di Kampung Kute Bukit yang sedang panen saat ini. Ia memang menargetkan Bulan Ramadan ini panen. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, ia memperkirakan akan berpesta dengan rupiah. Tapi, perkiraan hanya sebatas perkiraan, tidak jadi lurus meraup untung, malah belok ke kantong buntung. Saya pun sadar, ramalan Rahman yang notabene tidak tamat seragam Putih Merah pun pasti kalah dengan para Bapak dan Ibu yang mengatur stabilitas harga Cabai.
Rahman dan Petani Cabai lainnya sangat terpukul dengan nilai tukar Cabai saat ini. Rahman malah sudah enggan merawat Cabai yang sudah memerah di Kebunnya. Alasannya tak lain karena harga Pestisida, fungisida, inseksida dll terus menunjukkan tren kenaikkan. Yang ia takutkan sangat wajar: belanja modal tambahan dengan maksud menambah keuntungan tidak tercapai, ia takut sudah tidak untung malah menambah ketidakuntungan lagi.
Terdapat banyak Cabai para petani terkena penyakit keriting yang seolah dibiarkan saja. Penyakit yang disebabkan Hama Kutu Daun dan sebangsanya itu sangat berbahaya. Penyakit itu akan mencegat pertumbuhan Cabai. Seperti kita ketahui, pertumbuhan Cabai akan menentukan banyak atau tidak buahnya. Semakin banyak cabang mekar, akan semakin banyak pula peluang buah muncul dari cabang V nya.