Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Komar Oh Komar

9 April 2017   12:00 Diperbarui: 13 April 2017   05:30 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Komar,” Teriak seseorang. “Dari mana aja? Gak pernah keliatan.”

“Dari kampung sebelah pak.”

“Oh. Besok kerja di Kebun ya,” Pinta pak Mahmud. “Motong rumput.” Lanjutnya.

Lebam di pundaknya belum juga kering, sudah ada saja yang memesan tenaganya. Pekerjaannya memang penting. Semua orang Kampung membutuhkan disaat-saat tertentu. Tak jarang juga puluhan orang rebutan menyewa jasanya.

Ia baru pulang dari kampung tetangga. Seorang berprofesi serupa mengajak duet. Kerja borongan. Awalnya ia enggan ikut. Tapi menurut keterangan pengajak, upahnya menjanjikan. Tanpa memikirkan kesulitan kerja, dengan pertimbangan upah ia setuju. Komar memang rakus akan rupiah. Bukan menimbun—tapi, memenuhi serentetan kebutuhan primer yang belum terpenuhi secara layak.

Dengan perasaan tanggung jawab sebagai kepala keluarga ia selalu siaga atas pesanan tenaganya. Karena laju kebutuhan semakin semangat melaju. Meninggalkan orang-orang yang lamban mengimbangi. Seperti Komar dan golongan. Untuk itu ia pun berusaha menampung segala peluang, tidak hanya menunggu ia juga mencari. Ia berada di belakang dan terus mengejar, pikirnya walau tidak mampu mengibangi biar selangkah di belakang, andai kata itu juga tidak, tak apa; asal jangan di posisi buncit.

Komar ditekan berlebihan oleh kehidupan. Bertubuh kurus, seakan kulitnya hanya membungkus tulang semata. Pekerjaan berat mencairkan dagingnya—sampai lenyap. Tulang pipinya bertonjolan. Giginya berguguran entah ke mana. Ia berjalan sempoyongan—agak pincang.

“Abang jangan bekerja terlalu keras.” Sering adiknya menegur.

“Gak da lain. Mau gimana lagi?”

Meski tak tega melihat pekerjaan berat Komor, adik-adiknya tidak bisa berbuat lebih. Tungku dapur adik-adiknya hanya satu anak tangga saja diatasnya, mungkin juga sebagian tidak sampai.

Di bahunya tertempel luka basah. Memar. Luka sebesar uang logam bergambar rumah adat Padang itu ia dapat saat memundak kayu di kampung tetangga. Pekerjaan seberat itu memang sudah lama ia tanggalkan. Seiring dengan semakin menepinya daya dalam tubuhnya. Ia tergelincir saat memundak balok kayu Pinus berukuran 3x3 inchi dengan panjang 5 meter. Kecelakaan itu meninggalkan kenangan di pundak kerontangnya.

Tapi, karena musim kemarau cukup langgeng. Membuat tanaman sulit tumbuh. Tanah kering. Kekeringan panjang itu mengeringkan pula kantong-kantong para petani, dan Komar sangat bergantung pada ada tidaknya rupiah orang-orang kampung—guna menyewa jasa tubuh ringkihnya. Sejalan dengan angin menerbangkan debu di kebun-kebun warga, turut melayang pula rezekinya. Ia terpaksa menerima pekerjaan berat yang ditawarkan padanya. Tawaran itu juga karena ada perasaan iba dari orang-orang—yang mengajaknya. Meski ada orang yang lebih segar, ia selalu diajak lebih dulu. Karena perasaan iba orang-orang kampung sebagai dasarnya.

Alasannya menerima dalam perasaan tidak mampu itu jelas karena dapur harus mengepul. Dapur memang tidak mau tau urusan lain. Selain itu juga untuk biaya anaknya sekolah. Anak-anak di kampung juga memang telah menunjukkan peningkatan; dari kebiasaan tidak harus pakai jajan ke sekolah menjadi jajan merupakan sebuah kewajiban.

“Ko, jangan produksi anak terus. Kamu juga yang susah.” Kata pak Mahmud di sela-sela istirahat di kebun.

“Jangan salahkan saya pak.” Jawabnya. “Salahkan cuaca, kenapa dingin.”

Keduanya terkekeh dibawah rindang pohon alpukat tempat mereka berteduh dari terik siang itu. Pak Mahmud memang suka bercanda. Sekeras apa pun ia mengajarinya, hatinya tak tertusuk. Ia juga orang yang paling perhatian padanya.

Ketiga anak-anaknya juga tidak bisa disalahkan, berjejernya kantin-kantin di sekolah dan sebagian guru ikut berjualan makanan ringan pada jam istirahat—konon, kadang di dalam kelas juga—menandakan jajan sebuah keharusan. Karena kewajiban terhadap anak ia terpaksa menuruti meski tertatih.

Komar tidak berjuang sendiri. Istrinya kadang juga membantu. Saat musim menaman padi, istrinya sering jadi buruh harian. Juga ketika masa panen padi, ia ikut kerja memotong padi. Karena orang-orang kampung menaman padi setahun sekali, maka bantuan dari istrinya hanya sebatas itu.

Pada suatu waktu Pak Mahmud pernah menawarkan kebun untuk digarapnya, ia memang tidak ada lahan kebun. Untuk menamam cabe. Saat harga cabe mahal-mahalnya. Ia menyambut baik dan mengiyakan.

Semak-semak belum juga bersih ia sudah mengundurkan diri. Bukan ia tidak tertarik berkebun sendiri. Tenaganya yang memang tinggal seberapa, membuat ia tidak bisa mengejar jadi buruh harian untuk memenuhi kebutuhan sambil berkebun. Padahal, orang-orang kampung memulai hidup dengan cara demikian.

***

Untung kadang datang tak terduga, demikian pula rugi kadang berlagak sebagai pencopet, tiba-tiba dompet dalam saku lenyap seketika. Walaupun kita di dunia selalu menjaga kesehatan, berharap senantiasa ditemani sehat. Namun manusia hanya mampu sebatas berharap dan berharap. Kadang mengerjap-ngerjap, tidak terduga sakit datang tanpa ampun.

Komar pun jatuh sakit. Jalannya yang sempoyongan bertambah parah. Nyaris tak bisa berjalan. Sebagian orang menyatakan gejala lumpuh. Ada juga mengatakan ia kekurangan vitamin, otot-ototnya kram hingga sulit bergerak. Dan berbagai argumen bermunculan, mengada-ngada tepatnya.

Benar kata orang-orang: perbedaan kampung dan desa sangat berbanding terbalik, orang-orang kota sibuk dengan urusan sendiri tapi orang kampung sibuk mengurus orang lain bahkan kadang lupa urusan sendiri. Kabar malang yang menimpa Komar menyebar dengan cepat. Komar menjadi buah bibir.

“Kasihan anak-anaknya.”

“Siapa lagi menafkahi keluarganya.”

“Makan apa mereka nanti.”

“Makanya nabung. Saat sakit tidak limbung.”

 “.....”

Kurangnya obat membuat sakitnya bertahan lama. Sudah beberapa bulan Ia belum sembuh. Adik-adiknya membantu sesuai kemampuan masing-masing. Sementara ia sakit dari bantuan itu ia bernapas.

Batang tubuh keluarganya semakin terperosok. Tidak ada simpanan. Dapur harus terus mengepul. Anak-anak perlu uang sekolah. Kadang istrinya menangis sesegukkan di keheningan malam. Mengutuki nasib yang menimpa. Namun ia tetap tabah. Ia menggantikan Komar sementara. Sebagian orang yang kasihan memberinya kerja cuma-cuma dengan bayaran lumayan: membersihkan rumah dan nyuci baju.

Selain itu ia punya keterampilan mengayam tikar pandan. Karena industri pertikaran semakin menjamur dengan teknologi tingkat tinggi, tikar tradisional semakin tersudutkan. Kini tiba-tiba ada yang memesan tikar padanya. Tidak jelas hanya sebatas iba semata atau memang pemesan pencinta tikar pandan—masih misteri.

Istrinya yang awalnya tabah dengan kondisi Komar, mulai menunjukkan rasa ketidak puasan. Cemberut. Memakai muka masam. Kadang melayangkan ocehan-ocehan yang menyakitkan hati Komar yang terbaring lemas menahan sakit. Angin berhembus yang meniup bara di hati istrinya. Selalu begitu.

***

Saat ia sendirian di rumah. Ia menerawang ke masa lampau. Mengingat-ingat ketika tenaganya kuat. Ia makmur atau setidaknya bukan seperti nasibnya kini dan beberapa tahun yang lewat. Ia punya dua hektar kebun Kemiri yang telah berbuah, satu hektar kebun Kakao berusia remaja. Air matanya merembes ke pipi mengingat kejayaan itu.

Dulu sekali sekira tahun 1997 Komar memang bernasib sejahtera. Ia dan keluarganya—anaknya masih satu, berumur 1,5 tahun ketika itu—ikut program transmigrasi ke daerah perkebunan di bagian barat kabupaten. Ia membuka kebun bermodalkan jatah yang diberi pemerintah.

Ia terpaksa meninggalkan semua usahanya yang sudah berbuah hasil. antara pemerintah dan sebagian rakyat semakin berkepanjangan dan brutal. Kengerian telah menyatu dengan udara. Keangkeran menjadi pakaian siang dan malam. Mencekam. Orang-orang yang tak bersalah sering menjadi korban. Komar salah satunya.

Ia dihasud. Dituduh sebagai mata-mata pihak gerilyawan. Pasukan pemerintah menjemputnya paksa di tengah malam. Istri dan anaknya menangis histeris ketika itu. Kejadian seperti itu memang tidak memungkinkan pihak terciduk kembali utuh. Paling hanya jasad yang kembali, kadang juga tidak.

Komar sangat beruntung. Ia masih kembali bernyawa meski luka membalut sekujur tubuhnya. Ia tak mengaku karena tidak merasa seperti yang dituduhkan. Ia disekap dan dihajar tujuh hari tujuh malam.

Kejadian itu yang membuatnya berjalan agak pincang. Hentakan senjata laras panjang ke mulutnya memaksa sebagian giginya murtad. Yang paling menyakitkan setelah sembuh tenaganya tidak kembali utuh, otot-ototnya lemas hingga kini.

Pada tahun 2000 awal, sebelum ia sembuh ketika itu, adik-adiknya langsung menjemputnya. Ia kembali ke kampung halaman. Ia memulai dari nol kehidupannya dengan tenaga yang sudah setengah lumpuh. Tertatih. Ia menjual seadanya kebun kemiri dan kakao sebagai modal. Sulit ada penadah ketika itu.

Ia salah satu orang mengucap penuh syukur ketika perdamaian. Walaupun sesudah berdamai kehidupannya tidak membaik. Santunan bagi korban konflik yang tersiar ada, tidak singgah di keluarganya. Syarat-syarat untuk itu sudah dilengkapi nya. Hingga mulut menganggap topik itu sudah tidak harum lagi dijadikan kata-kata, tetap saja nihil adanya,.

“Dosa apa yang telah saya buat. Hingga dijatuhkan ke lembah yang penuh kebuasan.”

Setelah sadar dari lamunan masa lalunya Ia bergumam sendiri. Tak lama kemudian ia memejamkan mata. Selamanya?

Gayo Lues, 2017

baca juga ===► Dua Pemuda Antre

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun