Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutukan Waktu

19 Maret 2017   17:12 Diperbarui: 20 Maret 2017   04:00 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin pagi mulus sempurna menuntun jiwa-jiwa yang mengutuk diri dipacu sang waktu, pikiran-pikiran penuh peluh dan raga dibalut lelah atas kekeliruan paham pada esok hari yang berbau misteri, terhempaskan oleh ketenangan yang dibawa pagi.

Namun tidak bagi perempun paruh baya yang bermuka masam. Baginya tidak ada sedetik pun waktu lenggang. Kecuali saat ia menindih kasur kapuk dan dipeluk mesra selimut tebal. Saat itu tak ada yang tau dia tenang atau barangkali mimpinya tetap hendak menerjang.

Lia, gadis remaja yang menjadi sasaran tembak dari perempuan itu. Semua tetangga mereka tau, ada atau tiadanya Lia di rumah perempuan itu selalu mempersembahkan ketidakpuasan terhadapnya. Bagi Lia, rumah tak ubahnya Kantong Semar dan ia umpama serangga pesakitan yang bisa kapan saja terkena kutukan.

Empu rumah tak tau sepenuhnya kebiadaban didalam rumah. Dunia diluar rumah cukup menyita waktunya, ia harus mengikuti arus dan kadang hampir tenggelam. Itu ia lakukan untuk keperluan rumah yang dalam benaknya berlabel harmonis, termasuk Lia gadis yang malang.

Tidak ada yang menyangka Lia dikutuk sang waktu. Semua menyayangkan. Bagi mereka yang ada kesempatan, sering melemparkan sepotong rezeki dunia padanya. Kadang ia menolak, juga sesekali secara diam-diam menerima.

***

Hari ini kutukan itu datang bertingakat terhadap Lia. Kegetiran yang ia rasa pagi tadi belum enyah, malah waktu kembali menambah beban. Motor yang ditunggangi terjatuh, berdebam, di tengah jalan saat berangkat sekolah. Aktivitas sekolahnya terpaksa ditunda.

Sesampai di rumah, bukan perlakuan layaknya pasien yang ia dapat, melainkan cacian dari mandor berhati dingin, perempuan paruh baya yang sangat disayangkan Malaikat karena Lia terpaksa memanggilnya Ibu—itu setelah Ibunya terdahulu merasa telah cukup memberi kasih sayang terhadapnya, ia pun pamit.

“Anak tak berguna. Bikin susah saja.”

Lia mendapat tembakan kata-kata yang sukses menambah rasa sakit. Orang-orang yang datang mebesuk kondisi Lia tak bisa berkata apa-apa. Diam saja.

Ketidakpuasan terhadap Lia tidak bisa dicari titik alsannya. Lia telah mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya perempuan itu kerjakan. Tapi amarah dan rasa benci masih saja disematkan ke pundak yang tak berdaya itu.

Hari ini perempuan itu sudah berdandan rapi. Ia akan menghadiri arisan atau semacam perkumpulan ibu-ibu muda yang tidak penting, tapi bagi mereka itu lebih penting dari segalanya. Lia masih terbaring. Meringis menahan sakit. Tubuhnya penuh lebam dan lecet.

Dengan dandan norak perempuan itu keluar dari kamar dan membanting pintu dengan keras. Semua orang-orang yang belum pulang kaget melihat kelakuannya.

“Kalian semua pulang saja. Saya mau pergi. Tinggalkan saja orang tak berguna ini.”

Perempuan itu mengusir orang-orang yang membesuk Lia.

Tidak ada yang buka suara karena itu seperti biasa akan menambah derita bagi Lia. Orang-orang meninggalkan Lia terbaring lemah dan pasrah, tanpa ada perawatan apapun. Semua merasa iba, tapi bisa apa?

Sebelum pergi perempuan itu melontarkan kata-kata tidak layak pada Lia, sambil bergegas memakai sepatu hak tinggi.

“Hei, anak sialan. Jangan lupa membereskan rumah.”

Lia ditinggalkan dengan perasaan yang tidak bisa ditebak. Hanya terdiam.

Malaikat yang dari tadi di Langit menyaksikan perlakuan tidak layak manusia itu berurai air mata. Malaikat-malaikat itu mengajukan permintaan pada Sang Maha untuk membantu gadis yang sedang pesakitan.

Tak lama setelah pengajuan itu, sebilah tangan malaikat menjulur dari langit menuju perempuan yang berjalan tergesa-gesa. Tangan Malaikat dengan cepat mematahkan Seat Heel sepatu perempuan itu dan terjengkang. Perempuan itu tak bergerak.

“Nadinya tak lagi berdenyut.” Seseorang memeriksa.

Orang-orang yang mendengar kabar itu antusias mengucap syukur atas kutukan waktu yang menimpa perempuan itu.

Gayo Lues, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun