Sebuah Gubuk bersahaja di pelosok Desa. Reot, atap dan dinding keropos di makan usia. Tertancap di hulu sungai sumber pengairan warga. Kalau hujan lebat mengudang bahaya, mengancam jiwa. Kedatangan banjir tidak bisa dilogika. Ketika badai menerpa, "Ret rot ret rot..." Bunyinya di setiap sudutnya.
Kalau malam sepi meraba. Nyanyian Jangkrik, dan rongrongan Cacing sudah lama tak ada. Penyapu sunyi itu lenyap tak bersisa disapu Pestisida. Penantang bahaya dan perangkul sepi itu seorang bocah, Wien namanya, ditemani Kakek lanjut usia yang sangat menyayanginya.
Mereka tinggal berdua saja. Dulu bertiga dengan neneknya. Si Nenek seolah enggan merasakan lebih lama kesunyian, Ia pun pamit untuk selamanya. Awalnya Wien sangat merasa tertinggal. Namun lambat laun terbiasa.
Lebih dulunya lagi berempat dengan bapaknya. Bapaknya pergi tanpa sedikit pun melambai. Banjir bandai sebelum senja kala itu merebut sayang seorang bapak dengan kejam, tapi dia masih kecil ketika itu, tidak terlalu menjadi beban baginya.
Menurut keterangan saksi bapaknya memaksa diri memotong arus, kekhawatiran pada Wien lebih ia pentingkan daripada buasnya banjir. Bapaknya terseret arus yang membawa material sampah kerakusan. Jasadnya ditemukan esok paginya 3 Km dari TKP, meski sudah tak bernyawa wajahnya melemparkan senyum megah tiada tara. Begitu keterangan warga.
Paling dulu lagi tentu bersama ibunya, bahkan dia tidak bisa membayangkan rupanya. Menurut keterangan Ibunya menepis janji dengan bapaknya. Janji mereka begitu mulia, saripati yang namanya hidup: sehidup semati walau dunia mempecundangi.
Perlakuan baik Kakek yang membuat harinya ceria. Bahagia. Kini umurnya 10 tahun.
Hari ini minggu, libur. Kakek tidak ada, menghadiri hajatan pesta tetangga. Biasanya hari libur Kakek membawanya ke kebun kopi, di seberang sungai depan rumahnya. Sambil menunggu Kakek, dia berteduh dibawah pohon mangga sekarat di tepi sungai. Memandang tubuh sungai yang memanjang ke utara. Hembusan angin sedikit menyejukkan jiwa.
Kakek sering bercerita tentang sungai yang ia pandang dan pohon mangga besar tempatnya berteduh. Ia mengingat-ingat cerita Kakek.
***
Cerita Kakek tentang Sungai:
Waktu bapaknya seumurannya, sungai tempat bermain anak-anak. Ikannya banyak. Bapak sering memancing di sungai. Airnya bersih, bening, sering diminum langsung oleh warga. Besar, bahkan bapak tidak bisa melewatinya, beberapa kali bapaknya hanyut ketika nyebrang. Sungai tempat menakjubkan, tempat pemandian dan tempat pelepas lara serta lelah dunia bagi warga sekitarnya. Layaknya Sungai di Surga.
Ironisnya sekarang sungai ini tidak begitu lagi. Entah sang maha pencipta menguji warga atau nafsu serakah warga memberi siksa, jelas warga kelimpungan. Ikan di sungai tinggal dongeng saja. Airnya kecil, jangankan menghanyutkan dia, Taiknya yang suka makan pepaya saja sulit amblas.
Sesekali pada musim hujan pernah besar, tapi warnanya tidak bening melainkan warna warni, terkadang membuat sawah dan kebun warga yang dekat aliran ambruk tergerus, tepatnya banjir.
Pasirnya digali, menyisakan batu yang besar saja. Terdengar kabar kalau batu besar itu juga akan dibelah menjadi kotak-kotak menyerupai batu bata, untuk bahan bangunan.
Sungai tempat mengirikan, layaknya Neraka, jangankan mandi memandang pun enggan rasanya, tumpukan material pemborosan bertimbun sepanjang tubuhnya.
Tentang pohon mangga Kakek berkisah:
Dulu bapak sering berebut buah mangga dengan Tupai. Tak jarang bapak mengutuk karena buah matang ludes digerogoti. Bapak punya inisiatif setiap pagi manjat dulu, setelah itu gantian tupai mengutuk dan harus rela menyantap buah muda. Namun kini pekikkan Tupai jadi sesuatu istimewa jika terdengar, bahkan dirindukan.
Pohon mangga yang kata Kakek sangat manis buahnya, tidak pernah berbuah lagi. Mungkin penyebabnya kepulan asap dimana-mana, menghangatkan cuaca, dan melayukan pohon mangga. Tubuhnya ringkih, hama menyerang setiap lini. Daunnya  berguguran, bukan hanya yang tua tapi ikut serta yang muda.
Mengingat-ingat cerita Kakek, Wien seolah rindu. Merindukan yang tak pernah dialami.
***
Matahari semakin meninggi, sinar berubah dari hangat kini menyengat, membakar kulit. Pohon Mangga dan pohon-pohon lain ikut di siksa. Menyakitkan. Kakek pulang hampir tengah hari. Niat ke kebun Kopi tidak jadi, Kakek capek. Sambil mijitin kaki Kakek, Wien mengundang cerita tentang kondisi pertiwi zaman dulu. Topik kesukaan Kakek, tema yang dicintai Wien. Klop.
Kakek bercerita tentang kesusahannya mencari nafkah zaman dulu, berjalan kaki berhari-hari memundak Tembakau ke Banda Aceh, berbeda dengan sekarang uang begitu mudah didapat, tapi ada saja alasannya untuk lenyap, tak ada nilainya.
Tentang banyaknya Rusa yang berkeliaran di Kebun-kebun warga. Tentang nyanyian burung yang merdu. Tentang hamparan sawah yang luas. Wien terkesima mendengar cerita. Rasa rindu semakin menggebu.
"Oh ya, Kek. Kata guruku alasan sungai mengering karena hutan ditebangi secara liar, dan binatang punah, termasuk burung karena pemburuan yang berkelanjutan tanpa ampun."
"Heh?"
"Kenapa kek?"
"Gak salah itu gurumu? Itu si Firun kepala sekolahmu gadaikan SKnya ke Bang untuk modal menebang hutun di hulu sungai ini."
"Ah, Kakek jangan bohong. Dosa."
"Heh? Bohong katamu. Aku pernah kesana. Dia kudapati disana. Aku tanya kenapa tebang hutan seluas itu. Dia jawab ‘untuk tabungan masa pensiunan nanti’. Padahal umurnya juga belum tentu sampai besok. Kau jangan buta."
"Maksud Kakek?"
"Ia. Semua pegawai-pegawai besar melarang. Padahal sebagian danai anggota untuk menebang hutan. Alasannya sama dengan kepala sekolahmu. Termasuk Camat yang sudah dua kali naik haji itu. Pak Kades pun begitu."
"Kok bisa Kek? Kan ada Polhut?" Wien bingung.
"Apa itu Polhut."
"Pemerintah yang melarang nebang hutan Kek."
"Ah kau ini masih bau kencur. Mereka itu dusta. Tidak benar. Kadang dilarang. Tapi sesekali pakai mobil truk yang bertulisan Polisi mereka bawa kayu ke pabrik lemari. Apalah itu? Sudah, kau tidak tau itu."
Kakek berapi-api. Raut mukanya kesal. Gigi yang tinggal satu seakan mau copot. Nafas tersengal-sengal. Wien diam. Bingung. Apa benar yang di katakan Kakek? Hatinya bertanya. Kalau itu benar, siapa sebenarnya sumber petaka? Siapa yang pantas menerima murka? Para petani atau kaum Borjuis itu? Ia penuh tanya.
***
Hari cerah. Matahari sudah tepati janji. Entah dengan manusia yang punya janji hari ini, semoga saja ditepati. Hati Wien berbalik arah dengan cuaca pagi. Gelisah. Ia merindu, tapi tidak tau rupa yang dirindu. Tentang cerita Kakek kemaren kembali terngiang.
Senin pagi, seperti biasa setiap hari biasa Wien Sekolah. Peralatan sekolah sudah siap, seragam rapi, dan sepatu terikat di kaki. Pertanda siap tempur di medan perang untuk suatu tujuan suci, anggan mulia, merampas ilmu yang berkerak dan keras dari dalam kepala sang Pencerah. Sedikit demi sedikit diperas dan dituangkan dalam cawan, yang nantinya akan memulihkan dahaga dunia. Sedikit demi sedikit tekat bulatnya sudah di tingkat bukit. Dan bangkit.
"Kek, Aku berangkat dulu."
"Ya, hati-hati."
Wien melangkah, baru ingin menucapkan salam, tiba-tiba ingat ingat sesuatu.
"Oh, ya kek. Aku pulang sore. Ada acara di sekolah."
"Hah? Acara apa?"
"Sosialisasi tentang Reboisasi kek."
"Apalagi itu? ya udah."
Wien berangkat ke sekolah tanpa menjelaskan. Ya, setelah habis jam pelajaran sekolah ada acara sosialisasi, tentang manfaat melindungi hutan dikalangan remaja, yang diadakan oleh Dispora. Setelah acara akan ada role play menanam pohon Mahoni di halaman sekolah.
Pembicara yang hadir tidak tanggung-tanggung. Dalam acara penting itu akan hadir dari Dispora sendiri, KaPolres dan Dandim, serta turut hadir pak Camat. Wien sudah mantap akan menanyakan prihal yang dikatakan Kakeknya kemaren kepada Pak Camat, Pak Ka Sekolah, Pak Dandim dan KaPolres.
Anak-anak memang polos. Apa tanggapan mereka nanti?
***
Ah! Sudahlah Wien. Setiap masa, warisan tentu berbeda massa. Era modern masamu. Semoga saja dikala malam Bulan dan Bintang masih setia memberi cahaya, menemanimu bertumbuh menjadi dewasa. Atau jangan-jangan itu juga akan dirampas. Teknologi membajak Bulan dan menjamah Bintang, kini sudah berkembang. Semoga saja mereka memakai kaca mata. Cukup Bumi, jangan luar angkasa. Apalagi nanti yang tersisa? Semua lenyap termasuk Manusia.
Gayo Lues, Tahun Kemaren
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H