Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapkan Diri Sebelum Nikah

11 Agustus 2016   12:11 Diperbarui: 22 Agustus 2016   12:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menikah untuk meneruskah keberlangsungan hidup kita (manusia) diatas permukaan Bumi, dengan menikah kita (manusia) dituntut untuk melahirkan penerus pada setiap pos yang sudah ditinggalkan leluhur. Karena fungsi menikah untuk ‘meneruskan’, maka sewajibnya kita mempersiapkan menikah itu dengan baik-baik dan semampu kita, agar penerus yang kita hasilkan ‘sempurna’ atau lebih baik karena kita sudah siap dan mampu menjadikannya penerus. Menjadi gagal, jika kita tidak menghasilkan generasi yang lebih baik. Masa mendatang adalah misteri keadaannya, sukar ditebak, tapi dengan siapnya generasi yang akan ‘bergelut’ tentu akan memudahkannya mengarungi.

Untuk itu sebelum menikah, kesiapan menikah harus hukumnya untuk dipersiapkan agar mendapatkan hasil yang mulus dan terurus. Calon pasutri perlu mengetahui dan menyiapakan diri tentang apa yang harus dilakukan, serta mempersiapkan diri untuk menanggulanginya kelak setelah menikah atau mengarungi lautan yang bernama rumah tangga. Tidak ada pakar kehidupan yang mampu memberikan solusi yang baik pada rumah tangga bermasalah tanpa ada rasa mau berubah dari pelaku rumah tangga tersebut.

Didalam menikah terdapat jurang kesulitan, yaitu jurang Psikologi, ekonomi dan kewajiban, penyebabnya biasanya dari ketidaksiapan diri, mayoritas dari ketidaksiapan ini karena faktor umur yang belum tepat (ideal). Meskipun umur yang ideal nikah memang tidak dapat dipastikan ukurannya, tapi kita bisa berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah pada kehidupan. BKKBN telah memberikan patokan untuk itu, yaitu laki-laki diatas 25 tahun dan perempuan diatas 20 tahun. Dari itu, penulis sedikit memberi ulasan berdasarkan pengamatan pribadi, khususnya disekitar lingkungan penulis tentang usia ideal ini.

Daerah penulis merupakan salah satu daerah yang memiliki angka tinggi pernikahan dini, perceraian, kemiskinan dan putus sekolah pada anak. Berdasar dari pengamatan, melonjaknya semua itu karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan penanggung jawab dari rumah tangga, mencakup masalah psikologi dan ekonomi serta lainnya yang tergolong kecil.

Pernikahan dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang mungkin kita semua sepakat bahwa pada umumnya menundang bencana pada keberlangsungan rumah tangga nantinya. Bencana pada segi kesahatan fisik dan mental dari anggota rumah tangga, menjadikan bahagia dari rumah tangga entah kemana. Padahal dari rumah tangga kita ingin mendapatkan kebahagiaan, sangat ironis jika becana yang menimpa.

Disini pernikahan dini seolah menjadi tren terkini pada remaja, bahkan sangking dininya ada adik teman saya harus merubah umurnya pada kartu keluarga, ini kejadiannya karena melarikan anak orang (calon istri). Karena umurnya yang masih muda, pihak KUA tidak mau melangsungkan akad nikah karena tidak sesuai dengan peraturan. Kenapa tidak menunda saja? Tidak mungkin. Daerah saya lumayan kental ajaran Islam, jadi kalau sudah terlanjur melakukan hubungan terlarang dan orang tua mengetahui, ya hanya satu solusinya yaitu menikah.

Sepengetahuan saya, faktor penyebab pernikahan dini diantaranya :

Pertama, putus sekolah. Menjadikan remaja minder dengan teman atau tidak punya teman, hingga remaja merasa menikah mungkin menjadi pelipur lara yang telah membara. Tapi setelah menikah, alih-alih mendapat kebahagiaan malah merasa terzholimi dengan kewajiban baru yang menurutnya berat dan tidak adil terhadapnya. Ya, karena memang belum matangnya ilmu rumah tangga yang diraup sebelumnya.

Kedua, orang tua. Pendidikan tentang moral yang kurang, membuat remaja terjebak pada pergaulan bebas. Karena sudah terjebak dengan terpaksa menempuh jalan yang sulit untuk memecahkannya. Jadilah siap tidak siap harus menikah, demi menutupi aib. Seharusnya orang tua adalah orang yang terdekat dan bertanggung jawab terhadapnya, menjaga dan memberi pelajaran moral pada anak. Sedikit solusi untuk orang tua, agar memberikan tambahan pendidikan agama kepada anak, selain siraman rohani dari orang tua, tentunya. Termasuk pembatasan penggunaan alat digital dari seguhan era modern ini. Sehingga mengurangi angka pernikahan dini ketika anak masih berseragam sekolah.

Pernikahan dini, saya analogikan seperti ingin membuat baju, tapi kita belum pernah menjahit sebelumnya atau kursus menjahit, kemampuan nekat saja. Tidak mungkin, bukan? Kalaupun mungkin akan menempuh proses dalam waktu yang lama dengan tenaga yang melimpah serta kain yang lecek (kualitasnya jelek), karena keadaannya seperti itu terkadang sebagian kita menjadi bosan dan menyerah, akhirnya kita putuskan untuk tidak membuat baju. Disini kita yang tidak jadi membuat baju telah merusak kain dan merugikan uang untuk membeli bahan serta waktu yang terbuang sia-sia, walau terkadang pada prosesnya kita menikmati. Tapi, tetap saja rugi.

Perceraian
Kita telah memaksakan membuat baju, tapi belum jadi-jadi hingga bisa jadi kita memutuskan tidak meneruskan, karena dengan pertimbangan yang kiliru kita berpikir bhawa konsumen baju tersebut tidak akan menerima. Jadi, kita putuskan untuk membuang baju yang sedang kita jahit tanpa memikirkan kerugian atau solusi lain.

Begitu pula dengan mengarungi rumah tangga. Kita yang ketimpangan dalam menjalankan roda kehidupan berumah tangga, terusik pikir untuk mengakhirinya saja. Sulitnya mempertahankan dengan banyak cek cok yang terjadi, terbersit pikir bahwa bagaimanapun kita mempertahankan, ujungnya akan berpisah juga. Ya, sudah berpisah saja, dari masing-masing pihak memberi keterangan tentang kesalahan pasangan, tanpa memikirkan kesalahan kita. Cerai.

Di daerah saya banyak sekali perceraian dengan alasan yang tidak masuk diakal menurut saya. Ada yang baru satu bulan menikah, cerai. Ada yang satu minggu menikah, cerai. Dan ada lagi yang dua hari menikah langsung cerai. Hah, kok bisa? Ya bisa. Ceritanya begini, pada malam pertama si perempuan tidak mau melakukan hubungan suami istri, dengan alasan ini itu dan berjanji besok malamnya. Besok malamnya si suami mungkin meminta janji istrinya (ceritanya kurang jelas), tapi tiba-tiba si istri keluar kamar dan menggegerkan rumah mertuanya dengan teriak-teriak bahwa dia ingin cerai dengan suaminya. Seketika sekampung gaduh, tidak lama perangkat kampung berkumpul.

Si istri dengan suara lantang dan semangat (gak tau berdasarkan hati atau tidak) langsung menyatakan kalau dia ingin cerai. Dia tidak pernah suka dan mau menikah dengan suaminya. Ditanya kenapa mau akad nikah, dia bilang terpaksa. Ditanya siapa yang maksa, dianya malah teriak kalau dia ingin cerai saja tanpa menerangkan siapa yang maksa. “pokoknya ingin cerai, titik” begitu kira-kira jawabannya kalau ditanya kenapa mau cerai. Minta ampun, bukan? Satu yang bisa dimaklumi meski menyesakkan dada, dia menikah masih kelas 2 SMP, mungkin menikah seperti main-main saja baginya.

Ada lagi, alasan cerai karena suami tidak bisa membeli baju lebaran sesuai keinginan istri, karena suami mengatakan masakan istri tidak enak, karena tidak bisa membeli paket Smartphone istrinya, karena suaminya belum mampu memenuhi janji yang sudah disucap (bukan tidak mampu), dsb yang tidak masuk akal. Suami yang juga masih remaja, bukan menasehati atau mencari solusi pada orang tua, karena pusing langsung main tonjok saja, dan menyalahkan istri. Padahal, dia yang tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai suami, main saja kerjaannya atau kalaupun bekerja hasilnya tidak tepat dan kurang menghasilkan. Jiwanya masih remaja.

Kemiskinan
Kita yang ngotot ingin meneruskan membuat baju, bagaimanapun hasilnya tidak penting. Akhirnya, dengan semangat dan kemapuan yang kita miliki buju pun jadi. Setelah dipasarkan kepada konsumen, ternyata konsumen banyak konplain, entah itu masalah jahitan, motif, kain yang belel, dan sebagainya, menjadikan harga baju menurun. Kita terpaksa menjualnya karena kita butuh uang untuk kebutuhan atau untuk membuat baju yang lain, kalau pun kita putuskan tidak lagi membuat baju, kita butuh modal untuk usaha lain. Baju terjual dengan harga murah.

Begitu pula dengan rumah tangga. Kita yang semangat berusaha memenuhi kebutuhan rumah tangga, tapi dasar ahli kurang, maka kita akan tetap kesulitan. Jadi, terpaksa kita menerima apapun hasilnya dan apapun caranya yang penting halal, semua demi keluarga. Patut dicontoh sebenarnya. Ilmu dan keterampilan kurang, sehingga pasar terpaksa tidak bisa menerima. Akhirnya tetap saja pontang panting banting tulang dan tetap kesulitan, tepatnya miskin. Jeleknya lagi kemiskinan bisa menjadi indikator perceraian. Miris.

Kemiskinan sangat mudah didapat didaerah saya, terutama untuk pasutri muda dan usianya juga muda. Terlihat setelah satu bulan menikah badannya sudah mulai kurus kerempeng, karena tidak ada keahlian lain dia harus mencari nafkah dengan bertani, tenaga dan ahli bertaninya belum ada menjadikan dia kesulitan. Terseok-seok bekerja tidak ada hasil, timbul rasa bosan menanggung, bisa jadi ingin cerai. Terkadang istri yang tidak tahan hidup susah, mulai membuat ulah.

Putus sekolah pada anak
Masalahnya karena baju yang terjual murah, menyebabkan sedikit income dan menjadikan kekurangan kebutuhan rumah tangga. Alih-alih mendapat keluarga sejahtera, malah mendapat keluarga menengah sampai melarat. Jadilah dengan terpaksa memangkas kebutuhan rumah tangga, mengurangi belanja rumah tangga dan terpaksa juga tidak menyekolahkan anak, karena tidak mampu membiayai. Sadisnya kita. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di negeri kita, bukan?

Karena tingginya angka pernikahan dini yang menyebabkan tinggi pula angka perceraian, kemiskinan dan putus sekolah pada anak. Belum siapnya mental dan ekonomi dari pasutri menyebabkan muculnya rasa jengah dari salah satu pihak (suami atau istri) dan bisa jadi keduanya, hingga mengundang perceraian. Selain itu ada sebagian yang kuat bertahan meski kesulitan, karena belum mampu dan kurang pengalaman dalam berusaha yang membuat kesusahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kehidupan pas-pasan, tepatnya miskin, karena sudah mempunyai anak jadilah anaknya kurang perawatan, termasuk pendidikan. selanjutnya bisa jadi memutus sekolah anak.

Meski tingginya angka itu tidak semua disebabkan oleh pernikahan dini, namun hanya kecil dari usia matang. Usia matang disini adalah seorang yang sudah kenyang pengalaman dan bisa bekerja. Untuk memastikannya kita bisa menanyakan pendapat dari orang tua. Jadi, berapa usia ideal menikah? Tanya diri tentang kesiapan. Dari yang saya lihat (pengamatan), lebih banyak dari mereka yang memiliki keluarga harmonis adalah mereka sudah berumur dibanding yang usia muda.

Alasannya sederhana saja, karena mereka lebih banyak makan garam kehidupan. Tapi, ada juga beberapa orang yang sudah memiliki usia off side, tidak kunjung menikah, yang ini bukan karena tidak suka lawan jenis dan bukan pula karena faktor ekonomi, melainkan karena tidak adanya kecocokan. Sulit mendapatkan pasangan, yang ini terlalu muda, yang itu dia gak suka, ada yang dia suka tapi berbalik giliran calon pasangan tidak suka. Mencari yang muda tidak dapat, karena dia sudah ketuaan, memang letingnya sudah hampir semua menikah karena umurnya sudah lewat 35 tahun. Jadi, menikahlah ketika sudah siap. Menentukan siap tidaknya bukan hanya kita semata, tapi juga pendapat orang lain yang berpengalaman (orang tua), agar nantinya pernikahan kita mendapat masa depan cemerlang, bukan sebaliknya suram.

Segala sesuatu perlu persiapan, bukan?

Catatan : artikel ini sesuai pengamatan yang bukan ahli pengamatan dan sesuai lingkungan penulis.

Akun Facebook : Wien Dirman Ariga

Akun Twitter : @dirmann

Gayo Lues, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun