Cinta memang harus memiliki. Kalau tidak kita miliki, itu bukan cinta kita, melainkan cinta dia yang memiliki. Untuk memiliki cinta, perlu pengorbanan. Ya, betul sekali, misalnya untuk menyatakan kesiapannya berkorban “lautan pun kuseberangi”, “gunung pun kudaki” dan yang lebih parah lagi menyatakannya “rela dibelah dadanya”. Wadohh.
Si pemain cinta harus berkorban untuk mendapatkan cinta, betul, karena memang mutiara tidak mungkin bisa kita dapatkan di jalan raya, melainkan harus menyelami lautan atau merogoh kocek untuk membeli. Walaupun tidak bisa dipungkiri ada yang lagi hoki, tak ada angin dapat durian. Jarang.
Sekarang, yang mana zamannya bukan lagi zaman batu, persamaan gender memang sudah digaungkan dan berlaku sudah. Dulu biasanya sumber materi dipegang orang laki pada umumnya, kini itu sudah ‘basi’. Toh, banyak juga perempuan lebih berperan daripada laki-laki, dalam segala aspek, termasuk meraup materi. Maka dari itu, banyak perempuan yang menafkahi laki-laki dalam rumah tangga sehingga laki harus rela menjadi housekeeper.
Itu yang sudah menikah, bagaimana kalau belum? Ada juga. Yang namanya cinta harus memiliki, ya harus berjuang memilikinya, setelahnya menjaga agar tetap dimiliki. Karena yang cowoknya kere tidak bisa mentraktir, terpaksa si cewek yang traktir demi melanggengkan hubungan. Lah ini, biasanya kan cowok yang traktir? Ya sah saja, kalau cowoknya gak malu dan si ceweknya mau (belum tentu ikhlas) dan percaya. Sesuai pengalaman mbak Rahayu. Positifnya juga malah pasangan mbaknya yang ditambah uang jajan.
Sepengalaman saya –amatir- sekarang ini lagi booming hubungan (pacaran) ya model ini, layaknya pasangan yang sudah nikah ditunggangi istri, banyak. Si ceweknya sungguh besar perjuangannya, dalam hal mentraktir bisa dibandingkan begini, cowok 1 kali, si cewek 11 kali atau mungkin ada juga cowok 0 kali, si cewek berkali-kali. Besar bukan? Asal ikhlas saja. Sedikit saya cerita hubungan model ini. Bukan pelakunya.
Ceritanya, adik perempuan teman saya. sebut saja namanya Kay. Kay adalah mahasiswa semester 3 pada salah satu universitas di Padang, Fakultas Keguruan. Suatu hari saya berkunjung ke rumahnya, bukan untuk Kay tapi abangnya, yang merupakan teman saya. Ternyata ada bapaknya dan teman saya, jadi kami ngopi bertiga. Lupa saya bagaimana awalnya, tiba-tiba bapaknya menceritakan biaya Kay yang begitu besar padahal baru 3 semester. Totalnya lebih dari 100 juta. Saya kaget, kok besar banget. Tapi saya tidak mengatakan keraguan saya pada waktu itu.
Karena saya kasihan pada teman saya, beberapa hari setelahnya saya katakan kemustahilan biaya yang sudah dihabiskan Kay dalam waktu sesingkat itu, kecuali mungkin dia beli rumah di sana, terang saya heran. Teman saya tidak terlalu menanggapi, mungkin dalam hatinya “iri loe?” Tepatnya saya tidak tau. Beberapa bulan setelahnya, ternyata ada sepupu teman saya kuliah di Padang, tidak satu Kampus dengan Kay. Oleh sepupu teman saya diceritakan kalau Kay di Padang membiayai anak orang (pacar), sampai membeli motor pacarnya juga. Kelas pacarannya kelas cafe lagi. Walah pantasan saya bilang pada teman saya. saya bingung kenapa Kay sebodoh itu, apa karena di Padang ya? Huhu. Toh akhirnya hubungan Kay juga break.
Ada lagi, ceritanya waktu kuliah dulu, cowok-ceweknya teman saya. Cowoknya asalnya sama dengan saya, dari luar kota dan luar provinsi, tidak satu daerah dengan saya. Ceweknya asli kota tempat kami kuliah. Saya gak tau apa sebabnya mereka pacaran, tau-tau sudah jadi aja. Cowoknya senasib dengan saya, kere. Kejadiannya, mungkin sama dengan cerita Kay, ditraktir terus cowoknya, tapi setau saya kalau motor gak ditraktir. Yang ditraktir cafe dan makanan sering dibawain ke kos, walaupun tidak setiap hari.
Jadi deh saya juga kecipratan berkah. Setelah dua tahun mereka berhubungan seperti itu, akhirnya putus juga. Saya tau betul kalau si cowok tidak memanfaatkan si cewek, apalagi sekongkol dengan saya karena satu kos. Tidak, sama sekali tidak atau saya jadi orang ketiga, itu juga tidak. Jadi, kenapa mereka berpisah? Apa sudah tidak cocok satu sama lain? Tidak. Apa salah satunya berkhianat? Juga tidak. Mereka berpisah karena si cowok harus balik ke daerahnya setelah proses pendidikan, mau boncengin si cewek gak bisa karena mirip saya kere tadi. Akhirnya, hari pun berganti waktu pun berubah, karena sudah berubah jadi ya berubah. Tidak tahan LDR. Putus tus tus.
Kemudian pertanyaannya, apakah cewek ikhlas telah mentraktir? Saya gak tau. Baru-baru ini saya tanya pada si cewek di medsos “apa kabar si anu?” menanyakan si cowok, maksud saya kali aja mereka CLBK. Jawabannya “si anu siapa sih? Gak pernah kenal tu.” Dan lain-lain yang tidak perlu ditulis di sini. Ada lagi, mantan teman saya yang lain langsung nagih di medsos seperti ini “woy set*n! kembalikan uang ku.” Wadooh, dalam hati saya kenapa ditraktir kalau gak ikhlas?
Itu dampaknya kalau mentraktir pacar berlebihan, yang mana kalau di ujungnya tidak sesuai dengan harapan, bisa jadi tidak ikhlas. Bukan maksud saya mau melarang mentraktir pasangan, tapi sudahkah kita siap dan ikhlas kalau pada akhirnya cinta tidak kita miliki. Tapi, bagaimana namanya juga pacaran? Ya sudah jangan berlebihan dan memaksakan, agar kalaupun jadi beban di akhirnya tidak terlalu berat. Menyatukan dan memisahkan tidak bisa dihitung dengan cara matematis, bukan? Jadi, persiapkan saja dirimu kalau mau berbuat, apa pun hasilnya nanti supaya bapernya tidak terlalu menyiksa, termasuk cowok lo ya. Atau mau triknya agar hasil usahamu on target? Belajar dari Mbak ini.
Gayo Lues, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H