Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanfaatkan Ketergantungan Anak untuk Mendidik

3 Juli 2016   05:57 Diperbarui: 3 Juli 2016   08:39 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dan yang paling ‘meruntuhkan’ mental sekaligus memotivasi saya, ketika bapak saya ‘mewakafkan’ bulat – bulat saya pada sekolah ini. Bapak menyerahkan saya sepenuhnya pada pak Kayarullah untuk dididik, “ini anak bapak, saya serahkan pada bapak, silakan mau ditampar, ditemblung, ditumbuk, ‘digulung’, silakan pak demi pendidikannya dan kebaikannya, kalau memang anak bapak bandel kasih tau saya”. Telingga saya tiba – tiba merah dan menunduk. Cemas bercampur ragu. Gimana tidak kalau seandainya saya nakal dan dikasih tau pada bapak, dirumah pasti dapat jatah dari bapak ditambah omelan ibuk. Jadi, trible punishment, rigth? Hal itu cukup mengerikan dan menjadi motivasi untuk giat belajar.

Penyerahan model ini biasanya dilakukan oleh orang tua di Kampung, pada saat menyerahkan anaknya pada guru ngaji untuk diajarkan kalam ilahi. Dan biasanya kalau sudah diserahkan seperti ini, guru ngaji langsung menyiapkan rotan belah empat sebagai senjata. Mengerikan. Tapi diujung camuk rotan itu ada ‘mutiara’, kami tidak berani main - main.

Dan ternyata sukses, setelah memulai rutinitas sekolah saya merasa seolah – olah menjadi perhatian guru khususnya pak Kayarullah. Mulai dari hari pertama sekolah, beliau mengingatkan saya pada kata – kata bapak saya. jadi, ‘tenggelam’ mental nakal saya mengingatnya. Walaupun beliau merangkap jabatan sebagai kepala sekolah, wakil, sekretaris, bendahara dll, beliau juga mengajar. Ia karena memang sekolah darurat, didirikan karena rasa prihatin bapak Kayarullah dan beberapa guru lainnya terhadap minimnya angka anak sekolah pada Kecamatan Blangpegayon, Gayo Lues. Terutama SMP dan SMA, kalau SD sudah lumayan waktu itu. Jasa pak Kayarullah dan guru – guru pendiri tiada tara untuk anak – anak disekitar sekolah kami. Yang mana sekarang sudah menjadi SLTP Negeri 1 Blangpegayon, muridnya banyak dan mampu bersaing dengan sekolah lain yang lebih dulu berdiri. Terima kasih Guruku.

Pada saat pak Kayarullah mengajar, sering ‘memojokan’ saya dihadapan teman – teman sekelas sebagai ‘siraman rohani’ bagi kami semua. Mengatakan kalau kami sudah diserahkan bulat – bulat oleh orang tua kami untuk dihajar jika kurang ajar, terutama saya. Keluhan bapak saya atas kesusahan menyekolahkan saya, sering diumbar. Mengancam kami, jika bandel dan tidak serius belajar akan memanggil orang tua. Hal itu berhasil, kami semua serius dan aktif belajar. Tidak bandel dan nakal. Terkadang kami saling mengingatkan jika melihat teman bandel, “woy, jangan bandel, nanti dipangil orang tua”.

Saya tidak tau apakah orang tua teman – teman saya juga melakukan hal yang sama seperti bapak saya ketika mendaftar, atau memang semata – mata karena dogma disuku kami saja. Ironinya walaupun dirumah tidak dikontrol orang tua tentang sekolah, misalnya ditanya bagaimana disekolah, disuruh belajar dll (saya, teman yang lain tidak tau), hal itu sangat berhasil membuat kami rajin dan serius belajar. Maka, jangankan berlaku seperti Freeman sekolah yang nakalnya tidak karuan, berniat melanggar tata tertip sekolah saja mikir duluan. Takut. Sehingga, menjadi kebiasaan kami tidak bandel sampai SMA, karena dari 28 orang hanya 4 orang saja tidak satu SMA dengan saya.

Pada saat masuk SMA, jiwa nakal remaja masih ada. Saya diam – diam mendaftar, tanpa sepengetahuan orang tua saya. Selain masalah kebun dan sawah orang tua saya tidak terlalu tau tentang yang lain (awam), jika tidak diberitahu duluan. Tau tau saya sudah mendaftar saja. Lagipula saya sudah merasa bisa sendiri dan tidak bisa dipungkiri perasaan ‘keki’ tentang penyerahan itu ada. Apalagi pada saat pendaftarannya ramai, gawat itu. Ini tidak baik.

Hari pertama sekolahpada kelas tiga SMA, saya mempunyai teman baru (pindahan). Teman baru saya ini pertama masuk sekolah pada SMA yang paling baik di Kabupaten (favorit dan unggul). Tidak bertahan lama, dia langsung di drop out dari sekolah karena bermasalah serius. Narkoba kawan. Pindah ke favorit menengah, bermasalah lagi keluar lagi. Pindah lagi ke favoritnya berkurang, sampai kelas 3 bermasalah lagi, ya tentu keluar lagi. Akhirnya dia melanjutkan disekolah kami yang tidak favorit, tapi siswanya banyak. Bukan gengsi, saya juga melanjutkan ke sekolah ini, karena untung – untungan bisa sekolah dengan biaya murah dan dekat. Enak ya, bisa seperti teman saya bisa loncat – loncat sekolah, kayak kutu loncat saja. Maklum saja kawan. Berada, kalau tidak pasti apes.

Untuk mereduksi jiwa bandel siswa melalui peran orang tua, berlaku juga pada SMA. Hal ini sesuai dengan cerita teman baru saya ketika kelas 3 SMA. Dari cerita teman saya , kalau di sekolah kami ini dia tidak berani main – main lagi. Dia diantar langsung oleh orang tuanya (bapak) pada hari pertaman sekolah disini, yang mana seolah sebelumnya tidak pernah dilakukan. Diserahkan seperti yang dilakukan bapak saya waktu mendaftar SMP. Bapaknya menemui dan meminta pada semua guru (paling khusus guru kesiswaan yang juga temannya), agar menelpon langsung jika dia membuat masalah dengan tata tertip sekolah. Langsung meluncur kesekolah, seperti Jendral yang siap menghukum prajurit bersalah. Guru kesiswaan yang juga teman bapaknya, selalu mengontrol. Tidak jarang juga mengintip dari luar kelas ketika kami sedang belajar dan terkadang memanggil dia ke ruang kesiswaan walaupun tidak bermasalah. Ketika saya tanya kenapa, teman saya jawab “biasa, siraman rohani”. Dia dikontrol ketat seperti tahanan luar penjara. Dan ia, berhasil. Sampai kami menjadi alumni SMA pada tahun 2009, teman saya ini tidak pernah membuat masalah. Alhamdulillah.

Jika mengingat – ingat kisah saya dan teman kelas 3 SMA saya itu, peranan orang tua sangat penting untuk keberhasilan kami menamatkan sekolah. Jiwa nakal dan bandel remaja saya surut total ketika adanya penyerahan dan kontrol yang diberikan orang tua saya. Padahal pada saat usia remaja, jiwa nakal begitu kental dan merekah luas sejadi – jadinya. 

Ada saja tempat dan logika untuk mencuri waktu berbuat nakal. Semua itu, redam padam dengan adanya peran dari orang tua. Gimana tidak, remaja pada umumnya masih menggantungkan hidup pada orang tua. Jadi kenapa tidak dimanfaatkan ketergantungan itu untuk mendidik, sehingga remaja itu menjadi bermanfaat untuk kehidupan, terutama pribadinya. Apa jadinya teman saya jika tidak dikontrol dengan disiplin oleh bapaknya, bisa jadi sampai sekarang menjadi budak Narkoba atau lebih buruk lagi.

Metode orang tua saya dan orang tua teman saya yang agak kejam dan mengancam, tidak akan semuanya berhasil pada setiap anak. Jika metode itu diterapkan pada setiap anak, kemungkinan cukup besar beberapa anak akan mengalami stres dan frustrasi. Maka dari itu untuk mencari metode yang tepat pada setiap orang tua, diperlukan saling intraksi dan berbagi sesama orang tua siswa lainnya tentang metode yang diterapkan untuk mendidik anaknya masing - masing. Misalnya berbagi cerita tetang metode pendidikan orang tua terhadap anak pada saat rapat komite sekolah (rapat komitenya diperbanyak). Selain itu, saling berbagi ketika bertemu disuatu tempat dan bila perlu saling berkunjung satu sama lain. Apakah bisa? Semua mungkin untuk kebaikan, asalkan mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun