Jalan adalah salah satu bagian dari Infarstruktur yang sangat vital (fisik). Jalan yang baik, memudahkan kita untuk melakukan akses pada suatu tujuan dan begitu pula sebaliknya jalan yang tidak baik (rusak), akan sulit untuk melakukan akses pada suatu tujuan. Dalam hal ini, vitalitas jalan sangat menentukan agar fungsi jalan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, pembukaan jalan pada daerah – daerah yang memiliki potensi ekonomi akan mengundang daya tarik kita untuk mengelolanya. Salah satunya adalah pembukaan jalan kebun. Pembukaan jalan kebun pada daerah pedalaman (terisolir), akan meningkatkan perekonomian daerah tersebut.
Disini penulis sedikit mengulas peningkatan ekonomi masyarakat kampung atas adanya pembukaan jalan kebun. Di Kampung ku, ada sejauh 5 Km jalan kebun yaitu di Kampung Kute Bukit, Kec. Blangpegayon, Kab. Gayo Lues, Aceh. Awal mula pembukaan jalan antusiasme masyarakat sangat besar, meski ada sebagai warga minta ganti rugi atas lahannya yang menjadi jalur jalan. Biasa merasa dirugikan. Pembukaan jalan ini berasal dari dana desa dan Dinas PUPR. Di kampung Kute Bukit ada 2 jalur jalan kebun, jalur pertama sejauh 3,5 Km dan yang kedua 1,5 Km. Jalur pertama berasal dari dana desa dan jalur kedua berasal dari Dinas PUPR.
Jalur pertama, sekitar 1 Km sudah di rambat beton. Akan tetapi belum berumur 1 tahun, kondisinya sudah rusak. Komentar masyarakat macam – macam. Intinya semua komentar adalah ulah pemborong (kontraktor). Sisanya masih jalan tanah, dengan kondisi tidak baik. Meski masyarakat sering gotong royong, kondisi jalan masih berlubang dan sebagian ruasnya ambruk dibawa air hujan. Hal ini karena tidak adanya paret jalan. Jadi, jika mau lewat jalan ini harus punya mental extrem. Petani disini mengkin sudah biasa atau mungkin tidak ada jalan lainnya. Bermental robot mungkin satu – satunya pilihan. Hebat kan?
Jalur kedua berjarak 1,5 Km, dengan kondisi yang bisa dibilang tidak ‘jalan’. Dari 1,5 Km, hanya sekitar 400 m saja yang masih bisa difungsikan sebagai fungsinya. Dengan tidak berfungsinya jalan ini, lahan masyarakat yang dulunya sudah ‘dibangunkan’ kembali dengan berat hati ‘ditidurkan’ lagi. Sedih ya?
Pada umumnya, petani disini adalah petani yang membudidayakan tanaman palawija, Tembakau dan Cabe. Seiring dengan adanya jalan, para petani mulai membudidayakan tanaman seperti Jagung dan Kemiri. Kemiri memang sudah dari dulu banyak dibudidayakan disini, tetapi karena proses pengangkutannya susah (belum ada jalan) banyak ditinggalkan petani. Ditinggalkan petani dengan alasan, tanaman lain lebih efektif. Sekarang dengan adanya jalan, kebun Kemiri yang sudah ditinggalkan kembali dirawat. Selain itu tanaman Jagung juga, sudah ada beberapa petani membudidayakan.
Motivasi
Dengan adanya pembukaan jalan kebun, menjadi motivasi yang sangat besar pada petani/pekebun untuk bertani/berkebun. Dulu, sebelum adanya jalan kebun masyarakat disini hanya bertani sawah kecil – kecilan dan berkebun sedikit – sedikit. Bercocok tanam padi, dengan target kebutuhan keluarga masing – masing per musim sawah. Berkebun palawija dengan kuantitas kecil dan sedikit Tembakau. Sebagian masyarakat menjadi buruh bangunan dan ada juga menjadi buruh tani harian di kampung lain. Ada juga yang memilih hijrah ke kampung lain untuk berkebun. Yang paling memperihatinkan banyak pemuda menjadi pengangguran. Hal ini, membuat lahan di kampung ini sering disebut sebagai lahan tidur, yang mana luasnya cukup luas dibanding kampung lain di kecamatan.
Sekarang, dengan adanya pembukaan jalan kebun, semangat masyarakat untuk ‘membangunkan’ lahan yang sudah lama ‘tidur’ sangat besar. Seolah mendapat ‘suntikan’ vitamin semangat dengan dosis tinggi. Lahan yang dulunya dengan pemandangan semak dan blukar, kini sudah disuguhkan dengan pemandangan yang ‘berhias’ tanaman dan warna silver mulsa bedengan. Tanaman yang paling banyak dibudidayakan disini adalah Cabe keriting dan Bawang merah, dengan sistem tumpang sari serta ada beberapa Jagung, Kopi, Cacao, Kemiri dll.