Mohon tunggu...
Lily Lilium
Lily Lilium Mohon Tunggu... lainnya -

emaknya anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

(kampretjebul4) Sejuta Wajah di Pasar Tradisional

5 April 2015   08:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_376758" align="aligncenter" width="560" caption="pedagang buah jeruk (dok. pribadi)"][/caption]

Mengapa sejuta wajah?  Karena sesudah memeriksa hasil berburu,  ternyata memotret wajah pembeli serta penjual di pasar tradisional sungguh menarik. Lebih menarik dibandingkan produk yang merupakan objek transaksi. Banyak kaum pria disana. Sementara stereotype pasar tradisional pastilah diisi kaum hawa.

Mengapa ya? Saya mengambil kesimpulan  ala saya :D , yaitu:


  • Hari telah siang sehingga penjual laki-laki mengganti tugas istri/ibunya

  • Pedagang yang saya bidik, awalnya adalah PKL yang berjualan di trotoar, mereka umumnya laki-laki sehingga bisa berlari kencang jika satpol PP datang. Mereka pindah ke dalam pasar karena kawasan trotoar sekarang dibersihkan satpol PP.  Diganti peranannya oleh pot-pot besar berisi tanaman yang menghalangi mobilitas pejalan kaki dan penyandang difabel. Lagi-lagi survey ala saya. ..:D


[caption id="attachment_376742" align="aligncenter" width="444" caption="pedagang sayuran (dok. pribadi)"]

14281627251035354978
14281627251035354978
[/caption]

Yang jelas ini bukan masalah kesetaraan jender. Bukankah perempuanpun banyak menggelutiprofesi satpam, supir angkutan umum bahkan supir bis kota?



[caption id="attachment_376759" align="aligncenter" width="490" caption="pedagang sayuran (dok.pribadi )"]

1428165101472801057
1428165101472801057
[/caption]

Tapi apapun itu, saya jadi melihat satu topik bagus yaitu keunikan pasar tradisional sebagaiajang pertemuan pembeli dan penjual. Ah andaikan perbedaan ini saya temukan kemarin sewaktu ada lomba Kompasiana bertemakan pasar tradisional. Mungkin saya menang. Walah mulai ngawur. … :D

Tapi memang beda lho, perhatikan pemuda gaul yang asyik mendengarkan lagu sambil menunggu jualannya. Seingat saya penjual tahu di kios ini adalah seorang perempuan agak sepuh. Mungkin remaja laki-laki ini mengganti posisi ibunya, karena hari sudah beranjak siang bahkan hampir waktu Ashar.

[caption id="attachment_376754" align="aligncenter" width="457" caption="pedagang tahu (dok.pribadi)"]

1428163967347618923
1428163967347618923
[/caption]

Remaja gaul nan keren inilah yang membuat saya bolak balik ke pasar Cihaurgeulis Kota Bandung.  Karena awal memotret, hasilnya kurang sreg. Walau akhirnya diedit juga. Hasilnya lumayan bisa ditampilkan disini:

[caption id="attachment_376755" align="aligncenter" width="446" caption="pedagang tahu (dok.pribadi)"]

14281641911793160549
14281641911793160549
[/caption]

Penjual area buah-buahan, kelapa parut dan ubi, entah kenapa umumnya pria. Mungkinkah karena harus mengangkat barang dagangan yang cukup berat? Bukankah kaum perempuan juga terbukti mampu mengangkat barang berat. Jadi ya siapapun bisa menjadi penjual disini, kebetulan saja yang saya temui adalah kaum pria.

[caption id="attachment_376766" align="aligncenter" width="447" caption="pedagang pisang (dok.pribadi)"]

1428166772164519200
1428166772164519200
[/caption]

1428166176828536845
1428166176828536845

Pasar tradisional memang menyenangkan. Kebetulan sekarang saya selalu mampir di waktu siang. Sekalian pulang kerumah, saya memilih membeli buah-buahan. Sehingga tidak terlalu kebingungan ketika kampret jebul membuat challenge pasar tradisional.

Tapi yang membuat saya ragu-ragu untuk ikut challenge, atau mungkin juga teman-teman yang lain (sok tahu menduga-duga :D) yaitu ngga percaya diri. Ya iyalah para kampretos kan pemotret ulung, da saya mah apa atu daaaaa …:D

[caption id="attachment_376756" align="aligncenter" width="461" caption="pembeli di pasar tradisional (dok.pribadi)"]

14281643342034750747
14281643342034750747
[/caption]

Untung, saya pernah membaca kiat-kiat Raul Renanda, fotografer yang menekuni urbanography. Begini salah satu kiatnya:

"Jangan pernah mencari-cari cerita. Kalau tempat itu menarik, sudah ada cerita di situ dengan sendirinya, bukan dicari-cari,"

Lha kebetulan dong, saya memotret ibu sepuh yang sedang asyik belanja sendirian di siang hari. Mungkin karena seperti saya, dia tidak perlu membeli sayur. Hanya mampir ke pasar tradisional untuk membeli buah-buahan segar yang murah harganya. Dibanding harga di pasar swalayan, huuuuu… kita bisa menghemat puluhan ribu rupiah.

[caption id="attachment_376748" align="aligncenter" width="462" caption="grandma di pasar (dok. pribadi)"]

142816309695578979
142816309695578979
[/caption]

Kemudian ada lagi kiatRaul Renanda:

“Kualitas foto seperti ketajaman, fokus atau blur bukan tujuan utama. Menangkap momen adalah yang terpenting.50 persen perhatian harus tertuju pada subjek, selebihnya lupakan saja.

"Cukup bermain pada 3 elemen utama, foreground, main subjek, dan background. Itu saja," papar Raul.

[caption id="attachment_376770" align="aligncenter" width="466" caption="pedagang sayuran (dok. pribadi)"]

14281679191143681932
14281679191143681932
[/caption]

Karena itu walau ponsel sudah memberitahu bahwa kekuatan lampu batereisudah hampir habis, saya nekad motret dengan risiko agak ngeblur. Hasilnya? Diedit sana sini dengan aplikasi gratisan , jadi deh ……

Tidak sempurna. Foto diatas tidak bisa saya crop penuh karena framming buah petai akan terpotong. Sedangkan foto dibawah terpaksa saya crop habis karena hasil candid terhalang dinding pasar.

[caption id="attachment_376750" align="aligncenter" width="453" caption="pedagang telur (dok. pribadi)"]

14281632551739009229
14281632551739009229
[/caption]

Kemudian, ada yang saya banget:

Jangan pikirkan pandangan orang sekitar saat kita memotret. Biarkan apa yang mereka ekpresikan, senang, sebel, kesal atau marah sesaat. Kalau perlu minta izin, lakukan. Hormati lingkungan dan orang yang akan kita foto. Tetaplah tersenyum dan tunjukan effort bahwa kita orang baik.
"Ibarat kata kalau mau motret ke pasar, cukup beli jengkol satu kantong kresek. Kita tenteng, kita memotret juga nggak akan dicurigai," saran Raul.

[caption id="attachment_376752" align="aligncenter" width="462" caption="pedagang sayuran (dok. pribadi)"]

14281635521319747632
14281635521319747632
[/caption]

Sedangkan foto jengkol dan penjualnya ini:

[caption id="attachment_376753" align="aligncenter" width="470" caption="pedagang jengkol (dok.pribadi)"]

1428163657365341622
1428163657365341622
[/caption]

Usai difoto, dia mau mengulang pose yang macho. Tapi ketika saya persilakan, dia malah menolak. Kebetulan flash tidak bisa digunakan. Baterei ponsel menunjukkan angka satu digit. Wahhh ......

Perjalanan memotret pasar tradisional memang mengasyikkan. Saya perlu belanja buah, sekalian deh motret, sekalian juga ngobrol ngalor ngidul dengan penjualnya dan pulang membawa oleh-oleh foto yang diinginkan.

Memotret objek diam-diampun berhasil, asalkan mereka menyetujui sesudahnya. Karena terkadang mereka keberatan dan kita harus menghargai hal tersebut. Setuju?

[caption id="attachment_376767" align="aligncenter" width="387" caption="penjual sayur yang ayu (dok. pribadi)"]

14281670381805096842
14281670381805096842
[/caption]

Sumber : inet.detik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun