Saat dididirikan 16 November 2014 lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) seolah memberikan kesegaran baru di pentas politik Indonesia. Kepengurusan yang didominasi anak muda, jargon memperjuangankan pluralisme, getol melawan intoleransi dan partai modern yang akuntabel. Sungguh menarik dinanti kiprahnya.
Namun ekspektasi saya ke PSI perlahan memudar. Alih-alih melahirkan kader hebat, partai yang saat ini dipipimpin oleh Giring Ganesha ini kiprahnya tidak lebih dari gerombolan pendengung berbayar.
Di setiap kesempatan mereka memuja Jokowi, Ahok, belakangan Ganjar dengan cara yang sangat berlebihan, yang justru membuat orang-orang yang sebenarnya bersimpati pada tiga tokoh hebat itu, malah menjadi muak karena pengkultusan yang terus menerus mereka bangun.
Di sisi lain, mereka tidak henti menghujat dan mencaci maki Anies Baswedan. Saya bukan pendukung Anies. Demi apapun saya tidak rela Anies kelak memimpin Indonesia. Tapi melihat kiprah Giring cs tersebut, rasa ngeri justru membayang. Masih ingat kisah SBY sebelum terpilih jadi presiden? Masyarakat kita umumnya mudah bersimpati pada tokoh yang "terzalimi". Saya ngeri bila kejadian Piplres 2004 dan Pilkada DKI 2017 terulang. Dimana tokoh yang "dizalimi" bisa naik ke tampuk kekuasaan.
Saya tidak akan menuduh PSI adalah simpatisan terselubung Anies. Teringat pepatah lama, "orang bodoh bisa jauh lebih berbahaya dari orang jahat", bisa jadi ungkapan itu adalah penjelasan yang tepat.
Ahok, Jokowi, dan Ganjar Pranowo adalah pemimpin-pemimpin hebat. Namun mereka bertiga bukanlah kader PSI. Sebagai partai yang mendaku sebagai partainya anak muda, mestinya PSI mengorbitkan kader terbaiknya (kalau ada), agar Indonesia lebih banyak pilihan. Bukan malah selalu mendengungkan diri kalian "tegak lurus" ke Jokowi, kader PDIP tulen yang partainya kalian sebut arogan dan kolot itu.
Masuk soal PDIP, partai yang disebut arogan oleh Ade Armando, kader PSI-cerdik cendikia tersohor, adalah parpol yang paham betul arti konsistensi dalam berpolitik. Demi mempertahankan prinsip, Bu Mega dkk harus menahan rasa sakit dari rezim Orde Baru yang ultra represif. Bahkan, darah banteng harus tertumpah di hari naas 27 Juli 1996. Waktu itu kalian ada dimana?
Partai yang kalian sebut arogan dan kolot itu melahirkan kader-kader hebat seperti Jokowi dan Ganjar Pranowo. Ada juga Adian Napitupulu, "preman" Senayan yang tidak kenal lelah melayani Wong Cilik lewat advokasinya. Kerja mereka benar-benar nyata. Kalian ngapain?
Sebagai partai yang juga mendaku sebagai adik dari PDIP, sepak terjang amat keterlaluan. Mulai dari memanas-manasi suasana agar Ganjar berseberangan dengan Megawati, menyebut PDIP sebagai partai kolot dan arogan, sampai mengerahkan para buzzerRp untuk menyerang banteng habis-habisan di dunia maya.
Terakhir, kalian berkoar akan mengusung Kaesang Pangarep maju di Pilkada Depok tahun depan. Emang punya kursi? Jangan lupa, Gibran dan Bobby, kakak dan ipar Kaesang bisa terpilih jadi walikota karena diusung banteng. Bukan disunggi setangkai mawar tanpa kursi.
Perilaku kalian tidak ubahnya parasit politik. Selalu pansos, dan membutuhkan inang untuk bertahan hidup. Dulu kalian dengan agresif menyebut Ganjar sebagai calon penerus terbaik untuk Jokowi. Sikap itu terus kalian pertahankan sampai suatu hari Jokowi seolah melirik ke Prabowo. Dengan sigap, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI yang jelita, Grace Natalie Lousia, langsung menyatakan kalau partainya tegak lurus ke Jokowi.
Jaman sudah berubah, perilaku seperti itu tidak akan bisa meraih simpati publik. Jangankan turut andil memenangkan Jokowi, sekedar satu kursi di Senayan saja kalian tidak mampu. Tidak usah besar kepala.
Sepak terjang yang kalian tunjukkan akan mengingatkan orang pada mendiang Harmoko, mantan Menteri Penerangan dan Ketua MPR RI era Orba. Harmoko dikenal dikenal sebagai pembebek Soeharto nomor satu dengan trade mark-nya yang terkenal "menurut petunjuk Bapak Presiden". Saking "tegak lurusnya" ke Pak Harto, Harmoko sampai jadi lelucon populer, namanya diplesetkan untuk akronim "Hari-hari Omong Kosong". Namun, di akhir cerita Harmoko dicatat sejarah sebagai Brutus yang menikam Soeharto dari belakang. Apakah PSI adalah reinkarnasi Harmoko?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H