Mohon tunggu...
gautama seti
gautama seti Mohon Tunggu... -

Indonesia asli yang sekarang sedang terdampar di barat Indonesia. viva Republic

Selanjutnya

Tutup

Money

Impian Besar Anggaran Kinerja Pada Tataran Teknis

27 Mei 2011   14:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Status facebook seorang kawan dari Kantor Pusat hari ini mengingatkan saya tentang diklat Lakip 2004 di Manado lalu.


Latar belakang, pendekatan penilaian kinerja Satuan Kerja Pemerintah (satker) saat ini hanya dilihat dari performa daya serap DIPA, sementara daya serap tidak relefan dengan kinerja satker di masyarakat, dengan kata lain relefansi daya serap DIPA terhadap kinerja jika diukur dengan statistik mungkin sangat rendah pengaruhnya, saya belum pernah riset soal ini.


Sejak diterapkannya undang undang keuangan negara, para pemikir keuangan sebenarnya sudah menyiapkan mekanisme pelaporan kinerja satker yang konon meniru yang telah dilakukan negara maju. Kita singkat saja kisahnya dengan tiba tiba munculah laporan LAKIP (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) yang isinya tentang laporan capaian non keuangan dari rencana kerja yang telah ditetapkan pada awal tahun.


Kemudian format DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang merupakan unit terkecil pelaksanaan APBN, diubah menyesuaikan dengan target kinerja dari tiap-tiap instansi pemerintah. Hingga pada tahun 2011 ini strukturnya menjadi fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, dan output. Output diharapkan menjelaskan tentang output apa yang akan dicapai oleh instansi pemerintah supaya kelak bisa dihubungkan dengan LAKIP lebih mudah (menurut nalar saya).


Masalahnya: ternyata tidak semudah itu dijalankan, menghubungkan antara LAKIP dengan LK (laporan keuangan) yang isinya tentang daya serap DIPA ternyata perlu algoritma yang mungkin sangat kompleks dan rumit.


Contohnya: output pada suatu universitas sebagai berikut “Tercapainya Keluasan dan Kemerataan Pendidikan Tinggi, Bermutu, Berdaya Saing Internasional, Berkesetaraan Jender dan Relevan Dengan Kebutuhan Bangsa dan Negara”.


Dari uraian tersebut nilai output bersifat kualitatif, sehingga untuk melakukan penilaiannya menggunakan metode IKU (Indikator Kinerja Utama) misal salah satunya “Persentase Dosen Program S-1 berkualifikasi minimal S-2” sayang tidak disebut berapa persen pada DIPA.


Sementara dibagian DIPA yang lain menjelaskan sumber daya yang disediakan yaitu:


Dosen Penerima Beasiswa S2 LN (luar negeri)2 dosen Rp. 78.075.000


Sekilas bisa menjelaskan bahwa indikator capaian output bisa langsung terjawab jika beasiswa para dosen tersebut berhasil dijalankan. Karena IKU tadi itulah yang mesti dijelaskan pada LAKIP. Namun pada prakteknya belanja yang dibuat susah nyambung dengan IKUnya. Misalnya jika tahun itu ternyata tidak ada dosen yang diberangkatkan untuk S2 Luar Negeri maka secara teknik pelaporan kinerjanya 0%, lalu jika ternyata berhasil diberangkatkan sesuai target atau malah lebih.. Apakah IKU tersebut menjawab seberapa besar capaian target output yang kualitatif?. Namun demikian, saat ini belum ada sanksi pada satker yang kinerjanya rendah, akan tetapi tetap membuat gentar penyusun laporan. Maka biasanya pada akhir tahun akan ada revisi DIPA untuk mengalihkan dana-dana yang tidak terserap ke bagian yang lain sehingga laporan kinerjanya 100% akibatnya tujuan output awalnya sudah berbeda jauh dari yang akhir.


Andaikan saja suatu saat dipa awal sama sekali tidak boleh diubah untuk menjaga konsistensi pelaporan LAKIP tentunya mudah, namun bukankah rencana tidak selamanya mulus?


Kemudian masalah berikutnya:


Laporan keuangan dibuat otomatis oleh sistem aplikasi keuangan, namun laporan kinerja harus dibuat manual. Dan biasanya LAKIP dibuat tidak berdasarkan target DIPA yang saat ini ada melainkan menggunakan RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang dibuat diawal tahun, sementara isinya bisa jadi beda. Andaikan menggunakan format DIPA maka format LAKIP yang saat ini ada perlu perombakan besar besaran.


Solusi saat ini yang ada, BAPPENAS telah membuat aplikasi yang diharapkan untuk menjadi penghubung antara DIPA dengan LAKIP yaitu aplikasi PP39 (seingat saya namanya itu). Dibuat tiap 3 bulan, menggunakan format DIPA namun belum mencantumkan IKU pada indikator kinerjanya.


Kesimpulan:


Laporan Keuangan (LK) menggambarkan capaian daya serap APBN sentara itu LAKIP menggambarkan capaian kualitatif APBN. LK dapat dibuat otomatis dari aplikasi keuangan sementara LAKIP dibuat manual tanpa kontrol yang baik. Sementara itu mengandalkan LAKIP manual serpetinya hanya mimpi hasilnya akan bagus, namun jika berhasil diotomatisasi terkontrol dengan data kualitatif DIPA hasilnya sepertinya luar biasa, sayangnya algoritma menguhubungkan keduanya sulit saya bayangkan. Kisah mudahnya mungkin seperti “pengaruh gedung baru DPR dengan kepuasan masyarakat”, algoritma apa yang mau dipakai untuk pengujiannya? Namun jika berhasil ketahuankan pantasnya penghuni gedung itu diapain?


catatan: LK dan LAKIP merupakan bagian dari laporan tahunan satker.


Saya pikir, jalan masih panjang dan berliku untuk mencapai performance budget sebenarnya.

Tulisan aslinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun