Anak saya terlihat senang bermain di rumah panggung yang sangat besar. Andai banyak waktu ingin kami "berguru" lebih banyak di Rumah Si Pitung ini.
Hasil dari berguru di sana selama beberapa jam saya jadi tahu nama asli Si Pitung adalah Salihoen. Ayahnya bernama Piung dan ibunya Pinah. Si Pitung belajar di pesantren milik Haji Naipin. Di luar kegiatan pesantren, Si Pitung membantu jualan kambing milik ayahnya dan belajar silat.
Si Pitung menggunakan kemampuan beladirinya untuk membela orang-orang lemah. Banyak tuan tanah dan orang Belanda takluk pada kemampuan beladiri Si Pitung. Harta benda mereka diambil dan dikasih kembali oleh Si Pitung yang selalu membawa golok  di pinggangnya dan sarung tersampir di lehernya itu kepada penduduk.
Pada akhirnya Si Pitung pun menemui ajal. Tertembak peluru emas A.M.V Hinne, seorang Kepala Polisi Karesidenan Batavia. Meski Si Pitung seorang pahlawan, namun ia bukanlah pahlawan nasional.
Puas berfoto di Rumah Si Pitung kami berjalan kaki mengitari bangunan bertembok tinggi untuk sampai di Mesjid Al Alam Si Pitung Marunda. Masjid ini termasuk bangunan cagar budaya pula karena termasuk bangunan kuno yang dilestarikan pemerintah.
Kami sebelas orang Kompasianer, dua belas bersama anak saya, Fahmi lanjut mengunjungi Masjid Al Alam sebagai salah satu situs sejarah peradaban Muslim di Jakarta yang berdiri pada abad ke-16.
Nama Marunda sendiri katanya berasal dari singkatan Markas Penundaan. Marunda sendiri dahulunya masih termasuk wilayah Bekasi. Pada pertengahan 1970, Marunda akhirnya ditetapkan masuk wilayah Jakarta Utara.
Nama Masjid Al Alam sempat beberapa kali berubah. Sebelum Al Alam, nama masjid ini adalah Masjid Agung Auliya. Karena dekat dengan Rumah Si Pitung masjid ini namanya lebih dikenal Masjid Al Alam Si Pitung.