Mohon tunggu...
Iwan Kurniawan
Iwan Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Keluarga Petualang

Keluarga Petualang. Pengajar di perbatasan Kabupaten Cianjur-Kabupaten Bandung. PRAMUKA. Hiking, camping and climbing

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kampung Adat Cireundeu, Wisata Kuliner Pantang Makan Nasi dan Mengintip Bandung dari Puncak Salam

31 Maret 2019   21:04 Diperbarui: 1 April 2019   05:27 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Camilan khas Cireundeu: jagung rebus, singkong kelapa parut dan bajigur dok. Pribadi

Kampung adat Cireundeu yang berada di Leuwigajah Cihami, sudah resmi menjadi Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Kepa) yang sangat unik. Disaat masyarakat Indonesia pada umumnya mengaku belum makan kalau belum menyuapkan nasi, masyarakat Cireundeu justru sangat pantang mengonsumsi olahan nasi serta apapun kekayaan kuliner yang diolah berbahan dasar beras.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tradisi tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok sudah dijalankan sejak 101 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1918 di mana saat itu kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya sangat melarat karena penjajahan bangsa Belanda.

Kompeni tidak hanya menjajah kemerdekaan tetapi juga menjajah perut masyarakat. Hasil panen rakyat khususnya beras diangkut semua tidak bersisa. Rakyat hanya bisa gigit jari dan mengganjal perut dengan kekayaan alam sisa yang masih bisa dimakan.

Dipimpin sesepuh Aki Ali, gerakan tidak mengonsumsi nasi disepakati oleh seluruh masyarakat kampung enam tahun kemudian atau tahun 1924 hingga saat ini. Tidak makan nasi dan olahan turunan dari beras lainnya mereka ganti dengan olahan singkong sebagai makanan pokok.

Sebab itu masyarakat kampung adat Cireundeu terkenal dengan kepiawaiannya dalam mengolah beras yang terbuat dari singkong yang disebut dengan "rasi".

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Untuk mendapatkan rasi yang berkualitas melalui berbagai seleksi alam, masyarakat Cireundeu memiliki singkong unggulan jenis Garnawis dan Karihkil yang masa tanam hingga masa panen memerlukan waktu sekitar satu tahun.

Kalau ada warga Cirendeu yang sengaja ataupun tidak sengaja mengonsumsi nasi, akan ada sanksi sosial terhadap yang bersangkutan sebagai warga yang tidak patuh terhadap adat istiadat.

Kalau ada warga yang merantau ke luar Cirendeu dan tidak bisa mengelak dari makan nasi maka sesepuh akan mengadakan upacara adat untuk menetralisirnya. Upacara adat itu dilakukan di Hutan Salam yang jika sedang cuaca bagus kita bisa melihat pemandangan kelap kelip cahaya kota Bandung dan sekitarnya dari Puncak Salam itu.

Rasi, nasi terbuat dari singkong. Dok. Pribadi  
Rasi, nasi terbuat dari singkong. Dok. Pribadi  

Mungkin karena panorama yang indah luar biasa banyak pengunjung yang datang ke Cireundeu tidak sekadar menyaksikan cara mengolah rasi, dan atau ikut mencicipi. Tetapi juga banyak yang sekaligus kemping ke Puncak Salam. Dan itu tentu saja dengan segala aturan dan larangannya mengingat Puncak Salam termasuk bagian dari Hutan yang sangat disakralkan oleh masyarakat adat Cirendeu.

Adapun jika akan naik ke Puncak Salam, pengunjung tidak diijinkan menggunakan alas kaki. Anak ataupun dewasa semua harus mendaki dengan lepas sandal atau sepatu. Alasannya supaya antara manusia dan alam tidak ada penghalang.

Menurut kepercayaan adat, dengan telanjang kaki sebagai bukti bahwa kita dekat dan bersahabat dengan alam. Sebagaimana kepercayaan masyarakat Cirendeu yang memegang piloshopi:

Gusti nu ngasih

Alam nu ngasah

Jelema nu ngasuh

yang artinya kurang lebih Tuhan telah menganugerahkan kekayaan alam dan alam yang mengajarkan kita untuk terampil memanfaatkan dan mengolah. Kita lah manusia yang selayaknya menjaga kelestarian alam. Dengan menjunjung tinggi piloshopi itu mereka hidup bahagia dan sederhana dalam menjaga keseimbangan alam.

Pemandangan wilayah Bandung dari Puncak Salam dok. Pribadi
Pemandangan wilayah Bandung dari Puncak Salam dok. Pribadi

Api unggun di ketinggian Bandung dok. Pribadi
Api unggun di ketinggian Bandung dok. Pribadi

Matahari terbit di atas Bandung dok. Pribadi
Matahari terbit di atas Bandung dok. Pribadi

Dengan filosofi itu masyarakat adat Cireundeu sangat menjaga alam khususnya Leuweung (hutan) Salam yang menjadi bagian dari tanah adat. Dalam tradisi mereka, hutan terbagi menjadi tiga bagian yaitu hutan baladahan tempat di mana mereka bercocok tanam, hutan tutupan yang mulai dijaga ketat kelestariannya dan hutan larangan dimana di sana biasa diadakan upacara adat atau ritual sesuai kepercayaan masyarakat setempat.

Aturan lainnya adalah tidak mengenakan pakaian berwarna merah secara keseluruhan. Kalau merah campur warna lain masih diperkenankan. Hal ini terkait kepercayaan masyarakat Cireundeu bahwa alam yang kita tempati ditunjang oleh beberapa unsur seperti air (warna putih), angin (warna kuning) tanah (warna hitam) dan api (warna merah).

Mengenakan warna merah dominan di Puncak Salam (hutan larangan) sebaiknya dihindari dengan tujuan menghindari unsur api yang dipercaya berupa amarah, nafsu dan sifat tidak baik lainnya.

Di Puncak Salam terdapat sumber mata air yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Wanita sedang datang bulan dilarang mendekat ke lokasi mata air yang diberi nama mata air Nyimas Ende tersebut guna menjaga kesucian lokasi mata air yang menurut kepercayaan masyarakat Cirendeu mata air adalah kabuyutan atau sesuatu yang sangat dihormati.

Saatnya generasi milenial kembali ke alam dok. Pribadi
Saatnya generasi milenial kembali ke alam dok. Pribadi

Camilan khas Cireundeu: jagung rebus, singkong kelapa parut dan bajigur dok. Pribadi
Camilan khas Cireundeu: jagung rebus, singkong kelapa parut dan bajigur dok. Pribadi

Puncak Salam berada di ketinggian sekitar 900 MDPL. Berjalan dengan telanjang kaki menghabiskan waktu sekitar satu jam dalam kondisi jalan licin karena musim hujan. Meski penuh perjuangan supaya bisa sampai di tujuan namun semua akan terbayar manakala kita sudah sampai di puncak. 

Pemandangan yang indah dengan hamparan wilayah kota Bandung dan sekitarnya sangat memanjakan mata. Jika cuaca bagus, selain kelap kelip lampu kota kita juga bisa menyaksikan matahari terbit dan matahari terbenam.

Untuk mengusir rasa dingin ketika malam tiba, kita bisa membuat api unggun namun untuk menyalakan api harus dimulai dengan upacara adat yang disebut ngarajah dengan diiringi petikan kacapi dan kakawihan (nyanyian tradisional) sebagai bentuk penghormatan kepada alam.

Setelah api menyala baru pengunjung bisa berkumpul berbagi cerita di temani bakar jagung atau ubi khas Cireundeu dengan minuman khas  bandrek atau bajigur. Kantuk hilang tidak bosan melihat indahnya pemandangan kota Bandung dari ketinggian.

Puncak Salam selalu ramai dikunjungi terlebih di malam peringatan kemerdekaan 17 Agustus karena ada acara khusus yang disebut jurit malam.

Tidak akan rugi menghabiskan waktu di kampung adat Cirendeu karena selain lokasi cukup mudah dijangkau, konsep wisata petualangan ini juga cocok juga bagi semua kalangan.

Di kampung adat Cirendeu kita tidak hanya berwisata tapi juga bisa belajar mengenal budaya Sunda seperti permainan anak-anak, alat musik tradisional yang unik seperti karinding dan celempung atau juga kacapi suling.

Beberapa alat musik tradisional Cirendeu dok. Pribadi
Beberapa alat musik tradisional Cirendeu dok. Pribadi

Generasi muda kampung adat Cirendeu dok. Pribadi
Generasi muda kampung adat Cirendeu dok. Pribadi

Dan yang paling seru apalagi kalau bukan belajar membuat olahan makanan berbahan dasar singkong. Kita bisa belajar bagaimana mengolah makanan seperti eggroll yang semua bahan pokoknya berasal dari singkong.

Keunikan mengonsumsi nasi yang terbuat dari singkong ini menjadikan Dewi Kepa Cirendeu tidak hanya jadi tujuan wisata kuliner tetapi sekaligus jadi tujuan wisata edukasi dan wisata alam.

Kompasianer yang domisili dekat ke Cimahi tidak ada salahnya mengisi waktu libur dengan mengunjungi kampung adat unik ini. Untuk kenyamanan, para pengunjung bisa memilih paket yang tersedia yang mana harga serta waktunya tentunya bisa dikondisikan dengan kesempatan yang kita punya.

Penulis, walikota Cimahi, Kadispar Cimahi dok. Pribadi
Penulis, walikota Cimahi, Kadispar Cimahi dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun