Mohon tunggu...
Sr. Gaudensia Habeahan OSF
Sr. Gaudensia Habeahan OSF Mohon Tunggu... Guru - Biarawati
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hidup ini indah, seindah saat kita dapat berbagi dengan sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Benci Lebih Melukai Si Pembenci

9 Oktober 2020   13:29 Diperbarui: 9 Oktober 2020   13:36 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi pagi saya ditelepon abang saya. Dia berkisah tentang dirinya yang pernah jatuh cinta. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang gadis. Dia mengutarakan ungkapan hatinya yang akhirnya mereka berstatus " pacaran". Pada suatu waktu dia mengungkapakan niat baiknya kepada gadis itu. 

Dia akan menjadikan gadis itu sebagai pasangan/ pendamping hidupnya untuk selamanya dan dalam waktu dekat mereka akan menikah. Dan gadis itupun menerima tawaran itu.

Tibalah saat bagi mereka untuk mempersiapkan diri dan segala sesuatunya untuk keperluan pesta. Mereka mulai sibuk membahas mahar dan biaya yang lainnya itu. Namun beberapa minggu kemudian menjelang waktu pernikahan yang telah ditentukan abang saya itu begitu terkejut mendengar gadis pujaan hatinya itu juga sedang mempersiapkan pernikahannya dengan laki-laki yang lain. Begitu dia mengethui itu,membongkar semuanya dia menjadi sangat  marah kepada gadis itu. Singkat cerita mereka gagal menikah. Kasihannya abangku ye,,,,

Peristiwa ini membuat abang saya merasa kecewa dan menjadi sangat benci melihat perempuan itu. Dia belum bisa menerima peristiwa itu dan sampai saat ini ia masih menyimpan rasa benci itu dalam hatinya. Bahkan hari-harinya selalu dibayang-bayangi oleh peristiwa itu. Hingga sampai bertahun-tahun dia tidak tertarik untuk mencari pasangan hidupnya lagii. Tapi selalu benci dan menyimpan benci itu bahkan ingin membalasnya kembali kepada perempuan itu. 

Ini hanyalah sebuah contoh kecil. Dari pengalamannya itu saya merenungkan betapa mengerikan hidup orang yang dikendalikan dan dibelenggu oleh kebencian pada masa lalu. Dia telah dikendalikan pengalaman pahit pada masa lalunya. Dia tak pernah bisa keluar dari ikatan itu melainkan memasukkan dirinya pada jerat kebencian ,jerat kepahitan yang terjadi pada masa lalu. 

Kita mungkin punya pengalaman marah atau benci pada seseorang yang menghianati atau yang mengecewakan. Dan mungkin rasa marah dan rasa benci itu masih ada hingga saat ini hadir mewarnai perjalanan hidup kita. Dan mungkin pengalaman ini banyak mengganggu dalam hidup kita. Misalnya ketika kita berjumpa sosok orang yang pernah membuat kita kecewa atau marah dengan spontan kita memberi reaksi atau respon yang tidak baik. Apa mau saya katakan dengan ini. Sikap yang demikian membuat saya atau kita tidak mampu lagi melihat keindahan kebahagian hidup yang ada saat itu.

Orang-orang yang melukai kita tidak mungkin terus-menerus melukai kita,menyakiti kita hingga saat ini. Kecuali saya atau kita menyimpan terus-menerus rasa benci itu. Maka rasa marah yang disimpan, rasa benci yang disimpan tidak akan pernah bisa menyembuhkan diri yang terluka. Taukah kamu bahwa rasa bencimu,rasa marahmu lebih melukai dirimu dari pada orang yang kamu benci. Mungkin orang yang kita benci sudah bertumbuh dengan baik dan sudah bahagia dalam hidupnya. Tetapi kita yang masih membenci dia tidak bisa keluar dari rasa benci itu sampai-sampai kita masih terbelenggu dan tidak pernah mengalami perkembangan dalam hidup.

Jadi rasa benci selalu lebih melukai orang yang membenci daripada dia yang kita benci. Semakin lama kita menyimpan rasa benci dan rasa marah itu kita semakin terpuruk. Maka untuk itu mari kita mencintai diri kita dengan cara jangan menyimpan rasa marah dan rasa benci terlalu lama. Karena jika rasa marah dan benci  semakin lama disimpan yakinlah sikap itu akan pelan-pelan membunuh kehidupan kita. 

Semoga bermanfaat.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun