Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hadapi Aksi Unjuk Rasa, Sikap Kemkominfo sudah Tepat

18 April 2022   21:42 Diperbarui: 18 April 2022   21:52 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo 114 di Cirebon (Sumber Dok Pri)

Rencananya Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) akan kembali menggelar aksi unjuk rasa pada 21 April 2022. BEM SI mengklaim jumlah massa yang akan turun pada aksi yang dinamai Aksi 214 ini lebih besar dari massa aksi pada demo 114 yang digelar pada 11 April 2022 lalu.

Jumlah mahasiswa yang turun pada Demo 114 terbilang besar. Pada aksi ini, sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi di sejumlah daerah turun ke jalan. Bahkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di sejumlah daerah yang sebelumnya tidak pernah terdengar aksinya pun ikut turun pada Aksi 114. Bisa dikatakan, jumlah demonstran pada Aksi 114 jauh lebih besar dari jumlah massa aksi saat menentang Omnibus Law pada Oktober 2020.

Namun, sekalipun jumlah massa jauh lebih besar, Aksi 114 relatif lebih tertib dibanding aksi penolakan Omnibus Law. Sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media, aksi penolakan Omnibus Law bukan hanya terjadi di sejumlah daerah, melainkan juga berlangsung ricuh selama berhari-hari dan hingga malam hari.

Sepanjang era Presiden Joko Widodo, tercatat empat kali terjadi aksi unjuk rasa yang diwarnai kerusuhan. Pertama pada 4 November 2016, yaitu Aksi 411 yang mendesak proses hukum terhadap Ahok. Kedua aksi penolakan hasil Pilpres 2010 pada Mei 2019. Ketiga pada September 2019 ketika terjadi aksi unjuk rasa penolakan terhadap Revisi Undang-undang KPK. Dan, terakhir pada Oktober 2020 saat berlangsung aksi penolakan Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Tenaga Kerja.

Dari keempatnya, hanya pada saat aksi unjuk rasa Mei 2019 pemerintah melakukan pembatasan terhadap akses media sosial. Ketika itu, bahkan, pemerintah menutup akses terhadap fitur pengiriman image dan video pada aplikasi WhatsApp.

Pembatasan Akses Medsos di Era Jokowi

Sejak 22 hingga 25 Mei 2019 pemerintah membatasi akses informasi publik lewat Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Pembatasan tersebut menyusul kerusuhan yang meledak di ibu kota DKI Jakarta setelah pendukung calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggelar sejumlah aksi unjuk rasa menolak hasil Pilpres 2019.

Alasan pemerintah ketika itu untuk menghindari provokasi hingga penyebaran konten foto dan video hoax terkait aksi unjuk rasa.

Menurut Menteri Koordinator Politik Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, pembatasan tersebut untuk provokator mem-posting video, meme, dan foto terutama peredaran hoax yang terkait demonstrasi penolakan atau ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara ketika itu mengatakan blokir akan dibuka jika memang situasi sudah kondusif.

"Tunggu kondusif ya, yang bisa menyatakan suasana kondusif atau tidak tentu dari pihak keamanan. Dari sisi intelijen dari sisi Polri dari sisi TNI, kalau kondusif kita akan buka akan fungsikan kembali fitur-fitur. Karena saya sendiri pun merasakan dampak yang saya buat sendiri," ungkap Rudiantara pada 23 Mei 2019 di kantor Kemenko Pohukam, Jakarta.

Pada masa periode kedua Jokowi, terjadi blackout di sejumlah daerah di Papua pada 30 April 2021. Namun, sebagaimana yang dipaparkan Johnny, blackout terjadi karena putusnya kabel laut optic fiber milik Telkom Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak-Sarmi, Jayapura berdampak di empat wilayah, yaitu Kota Jayapura, Abepura, Sentani dan Sarmi. 

Sejumlah negara pun saat ini sedang bergulat mencari langkah yang tepat untuk menangani penyebaran disinformasi di platform media sosial. Salah satu yang diambil adalah dengan cara menutup jalur media sosial. Sebelum pemerintah Indonesia menutup akses ke sejumlah platform media sosial, sebulan sebelumnya, pemerintah Sri Lanka telah melarang sementara media sosial setelah pengeboman pada hari Minggu Paskah.

Pendekatan ini bisa dibilang semacam kontra-propaganda yang disebut "benevolent technocracy" atau "teknokrasi yang baik hati". Hal ini dikemukakan oleh ilmuwan politik Harold Lasswell dan kolumnis New York Times, Walter Lippman. Menurut Lippman, pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat rentan terhadap propaganda dan terlalu mudah tertipu untuk mengenalinya.

Meski Konstitusional, Pembatasan Akses Medsos tidak bisa Sembarangan

Namun, pendekatan tersebut bukannya tanpa dampak. Akibat keterbatasan akses, sejumlah kelompok masyarakat mengalami kerugian, misalnya pelaku usaha. Gegara pendekatan tersebut, para pelaku usaha, khususnya UMKM, tidak bisa menjual barang dagangannya secara online.

Selain itu, pendekatan ini pun membuat wajah demokrasi Indonesia tercoreng. Sebab, pembatasan tersebut sama artinya dengan membungkam suara warga negara. Tidak heran bila pemerintah Indonesia mendapat kritik dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dunia internasional.

Di bawah kepemimpinan Johnny G Plate, Kemkominfo tidak memilih pendekatan keamanan dengan melalui pembatasan akses media sosial tidak dilakukan. Terbukti, sekalipun aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law pada Oktober 2020 berlangsung rusuh selama berhari-hari di sejumlah daerah pemerintah tidak menutup akses terhadap Facebook, Twitter, dan WhatsApp.

Aksi unjuk rasa pada 21 April 2022, meskipun digembar-gemborkan akan diikuti masa yang lebih banyak dari aksi sebelumnya, namun bisa diperkirakan masa aksi nanti jauh lebih kecil. Aksi 214 ini pun tidak bakal sampai menimbulkan kerusuhan sehingga memaksa pemerintah membatasi akses ke media sosial.

Namun demikian, pemerintah perlu mewaspadai aksi yang kemungkinan bakal digelar setelah lebaran 2022. Sebab, pada aksi-aksi setelah lebaran diperkirakan akan diikuti oleh berbagai elemen masyarakat.

Namun, kalaupun nanti perlu melakukan pembatasan terhadap akses media sosial, tindakan pemerintah tetap bisa dibenarkan karena sesuai dengan kontitusi.

Pembatasan akses ke sejumlah platform media sosial itu sebenarnya sudah tepat, bahkan sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 40 poin 2a UU No 19 tahun 2016 yang mengubah UU No 18 tahun 2008 tentang ITE.

Pasal itu menyebutkan, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Terlebih dalam Pasal 40 poin 2b disebutkan, "Dalam melakukan pencegahan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."

Namun demikian, meski konstitusional, pembatasan medsos harus dilakukan tanpa mengindahkan unsur kehati-hatian. Sebab, bagaimanapun juga tindakan pemerintah ini menimbulkan dampak bagi kelompok masyarakat yang menggantungkan nafkahnya dari akses media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun