Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Asabri: Monumen Preseden Buruk Penegakan Hukum

16 Januari 2022   18:00 Diperbarui: 16 Januari 2022   18:34 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang sudah dijadwalkan, sidang vonis atas perkara korupsi PT Asabri dengan terdakwa Heru Hidayat akan digelar pada 18 Januari 2022. 

Kasus ini menarik dan semakin menarik bukan saja lantaran jumlah kerugian negara yang disebut-sebut mencapai Rp 22,78 triliun melainkan juga karena anyir politisasi yang begitu menyengat.

Tuntutan JPU dalam Korupsi Asabri Jadi Monumen Penegakan Hukum

Anyir politisasi terhadap kasus korupsi PT Asabri semakin menusuk-nusuk nalar publik pasca jaksa penuntut umum (JPU) membacakan surat tuntutannya pada 6 Desember 2021. Dalam tuntutannya itu, JPU mengenakan Pasal 2 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 

Padahal, dalam dakwaan yang disampaikan pada 16 Agustus 2021, JPU menjerat Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dengan Pasal 2 (1) UU Tipikor.

Adanya perbedaan antara tuntutan dan dakwaan tersebut sontak mengusik sejumlah pakar dan guru besar hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi angkat suara dan mengecam JPU yang dinilai melenceng dari koridor hukum. Salah seorang di antaranya Andi Hamzah.

Seperti yang diberitakan Tribunnews, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti ini kembali mengingatkan JPU dan juga publik bahwa tuntutan JPU di persidangan tidak boleh melebihi surat dakwaan. Begitu juga dengan hakim, menurut Andi, bahkan hakim pun dilarang memutuskan perkara di luar dari surat dakwaan.

Andi pun kemudian mencontohkan dalam kasus perdata. Dalam perkara perdata, dakwaan penggugat sebesar Rp 10 miliar tidak bisa dinaikkan menjadi Rp 20 miliar.

"Putusan hakim didasarkan surat dakwaan kalau terbukti," tandas Andi sebagaimana dikutip Tribunnews.com.

Jangankan Profesor Andi Hamzah yang memegang sejumlah gelar akademik di bidang ilmu hukum, masyarakat awam pun pastinya tidak sulit menangkap adanya ketidakbecusan JPU dalam menangani perkara korupsi PT Asabri 

Adanya perbedaan tuntutan dari dakwaan JPU dalam perkara korupsi PT Asabri ini tentu saja merupakan preseden buruk dalam upaya penegakan hukum di negeri ini. Tidak menutup kemungkinan bila suatu hari nanti preseden ini bakal menjadi monumen hidup bagi bangsa Indonesia.

Kecerobohan Vulgar JPU yang Mudah Ditangkap Masyarakat Awam

Lantaran keteledoran JPU dalam membangun konstruksi dakwaan dan tuntutan, majelis hakim pengadilan Tipikor pastinya tidak bisa menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat seperti yang dijeratkan JPU dalam surat tuntutannya. Dengan kata lain, hakim akan mengabaikan tuntutan JPU karena tidak terdapat dalam surat dakwaan.

Sebagaimana yang sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam KUHAP Pasal 182 ayat (4), Musyawarah Majelis Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dan dalam pemeriksaan di sidang sudah sangat jelas apabila terdakwa Heru Hidayat tidak melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 menyatakan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Dalam perkara PT Asabri, kerugian negara yang dialami oleh PT Asabri jelas bukan dilakukan oleh Heru Hidayat dan para terdakwa lainnya "dalam keadaan tertentu", seperti bencana alam nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis moneter seperti yang pernah terjadi pada 1998.

Bahkan, jika mengacu pada dissenting opinion anggota majelis hakim Mulyono Dwi Purwanto, kerugian negara akibat ambruknya harga sejumlah saham yang dipegang PT Asabri bukan disebabkan oleh tindak pidana korupsi.

Sebagaimana yang diinformasikan sejumlah media, Hakim Mulyono menyampaikan dissenting opinionnya dalam sidang perkara korupsi dengan terdakwa Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2012-2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri, Dirut PT Asabri periode 2016-2020 Letjen Purn Sonny Widjaja, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asabri periode 2012-2015 Bachtiar Effendi, dan Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2013-2019 Hari Setianto.

Dalam dissenting opinion-nya yang dibacakan pada 4 Januari 2022 itu, Hakim Mulyono yang duduk sebagai hakim ad hoc tipikor menyatakan bahwa ia tidak meyakini kebenaran terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara korupsi PT Asabri yang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan mencapai Rp 22,7 triliun. Alasannya karena adanya ketidakkonsistenan dan ketidaktepatan perhitungan yang dilakukan oleh BPK.

Ditegaskan juga oleh Hakim Mulyono bahwa kerugian negara yang ditimbulkan oleh jatuhnya harga-harga saham yang dimiliki oleh PT Asabri bukan merupakan actual loss, melainkan potential loss. 

merupakan salah seorang hakim anggota dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asabri. Dalam perkara ini empat mantan petinggi PT Asabri didudukkan sebagai terdakwa 

Keempatnya adalah Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2012-2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri, Dirut PT Asabri periode 2016-2020 Letjen Purn Sonny Widjaja, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asabri periode 2012-2015 Bachtiar Effendi, dan Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2013-2019 Hari Setianto.

Dalam dissenting opinion-nya, Mulyono menyatakan bahwa ia tidak meyakini kebenaran terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara korupsi PT Asabri yang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan mencapai Rp 22,7 triliun. Alasannya karena adanya ketidakkonsistenan dan ketidaktepatan perhitungan yang dilakukan oleh BPK.

Mulyono mengatakan berdasarkan BPK kerugian negara mencapai Rp 22,7 triliun. Penghitungan ini disebut menggunakan metode total loss. Dissenting opinion Hakim Mulyono ini sesuai Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. 

Dalam putusan MK yang diterbitkan pada 25 Januari 2016 itu, frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Dengan demikian, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara" dalam kedua pasal UU Tipikor tersebut harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential.

Berkaca pada tuntutan JPU yang berbeda dari dakwaannya sendiri dan dissenting opinion Hakim Mulyono, sebagian publik pastinya mencium adanya ketidakberesan dalam tubuh kejaksaan. Sebab, para jaksa yang menangani kasus korupsi Asabri pastinya bukan jaksa kemarin sore yang kurang pengalaman. 

Para jaksa tersebut pastinya juga sudah menimba dalam-dalam ilmu hukum pidana selama bertahun-tahun. Sulit dimengerti apabila JPU menuntutkan pasal yang berbeda dari dakwaannya sendiri.

Ada apa dengan JPU yang menangani kasus korupsi PT Asabri? Kenapa JPU melakukan kecerobohan yang begitu vulgar sehingga masyarakat awam pun mudah sekali menangkapnya?

Jaksa boleh Ngawur, tapi Hakim Tidak

Majelis hakim sebagai perwakilan Tuhan sudah seharusnya bersikap seadil-adilnya dengan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Jaksa boleh saja berbuat salah, tetapi tidak dengan hakim.

Dalam memimpin sidang, majelis hakim sama sekali tidak boleh terpengaruh oleh emosi publik, tekanan publik dan narasi-narasi yang bermuatan politik. Hakim juga tabu mencari popularitas dari perkara-perkara yang ditanganinya, Karenanya, majelis hakim seharusnya mengabaikan tuntutan JPU yang menuntut hukuman mati terhadap Heru Hidayat. 

Karena itu, sudah seharusnya dalam menjatuhkan vonis terhadap Heru Hidayat pada 18 Januari 2022 nanti, majelis hakim seharusnya menutup mata, telinga, serta indera-indera lainnya dari berbagai suara publik, apalagi tekanan politik. 

Sebab bagaimanapun juga semua anggota majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi PT Asabri pastinya beragama dan tidak ingin mendapat stempel tercela dari Tuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun