Sidang korupsi PT Asabri dengan terdakwa Heru Hidayat tinggal menunggu "peluit panjang" vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Kasus ini menarik lantaran dibumbui perbedaan antara tuntutan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jika menoleh ke belakang, beda tuntutan dari dakwaan dalam kasus koruosi bukan pertama kali terjadi.Â
Beda Tuntutan dari Dakwaan JPU dalam Kasus Korupsi PT Asabri
Saat mendakwa Heru selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera pada 16 Agustus 2021, JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dikenal dengan UU Tipikor
Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan ancaman pada pasal tersebut adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh) tahun. Untuk denda sendiri dikenakan paling sedikitnya Rp 200.000.000,00 Â hingga yang tertinggi Rp 1.000.000.000,00."
Akan tetapi ketika menyampaikan tuntutannya pada 6 Desember 2021, Jaksa Penuntut Umum menjeratkan pasal yang berbeda, yakni Pasal 2 ayat (2) UU tipikor. Pasal yang dituntutkan kepada terdakwa ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."Â
Masalahnya, pasal yang dituntutkan kepada Heru Hidayat ini tidak disertakan oleh JPU dalam dakwaannya. Dengan demikian, tuntutan JPU dalam kasus korupsi PT Asabri ini berbeda atau menyimpang dari surat dakwaan.
Selain itu, dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang dituntutkan JPU tercantum frasa "keadaan tertentu". Penjelasan dari frasa ini terdapat pada UU nomor 20 tahun 2001 yang merupakan revisi dari UU Nomor 31 Tahun 1999.
Menurut penjelasannya, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."
Kerugian negara dalam kasus korupsi PT Asabri sebagaimana yang dituntutkan oleh JPU jelas-jelas bukanlah dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, dana bencana alam nasional, dana penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, atau dana bagi penanggulangan krisis ekonomi dan moneter sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU nomor 20 tahun 2001.
Sementara, Heru Hidayat, sekalipun sebelumnya pernah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam kasus korupsi PT Jiwasraya, namun ia tidak memenuhi "pengulangan tindak pidana korupsi" yang disyaratkan dalam Pasal 2 (2) UU Tipikor. Dengan kata lain Heru Hidayat bukanlah seorang residivis sesuai ketentuan pasal tersebut
Beda Tuntutan dari Dakwaan JPU terhadap Dicky Chandra Dinata dalam Kasus Pembobolan Bank BNI
Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, Heru Hidayat merupakan terdakwa kedua yang dituntut hukuman mati dengan menggunakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.Â
Sebelumnya, pada 6 Juni 2006, JPU menjatuhkan hukuman mati kepada Dicky Iskandar Dinata. Hukuman mati itu dituntutkan kepada Dicky lantaran Dirut PT Brocolin Indonesia ini menerima kucuran dana hasil pembobolan Bank BNI sebesar Rp 49,2 miliar dan 2,99 juta dolar AS hasil pencairan L/C fiktif PT Gramarindo Group pada Bank BNI Cabang Kebayoran Baru.
Menariknya, salah satu pertimbangan JPU menggunakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor adalah karena Dicky Chandra sebelumnya telah dipidana 8 tahun penjara dalam kasus korupsi Bank Duta tahun 1991. Atau, singkatnya, dalam kasus korupsi, Dicky Chandra Dinata bukanlah orang baru melainkan seorang residivis.
Namun, pada 20 Juni 2006, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak tuntutan JPU. Dan, Dicky hanya divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima tahun penjara.
Ketika itu, majelis hakim menolak pidana mati yang dituntutkan JPU. Alasannya, lantaran Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang dijadikan dasar oleh JPU mengajukan tuntutan tersebut tidak disertakan dalam surat dakwaan.
Menurut majelis hakim, dalam tuntutannya JPU tidak boleh menyimpang dari pasal yang telah didakwakan sebelumnya atau yang tercantum dalam surat dakwaan. Majelis hakim menambahkan, surat dakwaan memiliki fungsi sebagai batasan-batasan bagi JPU dalam melakukan pembuktian serta mengajukan tuntutan. Sedangkan bagi hakim, surat dakwaan merupakan rujukan dalam menjatuhkan putusan.
Artinya, sekalipun pada kenyataannya Dicky Chandra Dinata dapat dituntut hukuman mati dengan menggunakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, namun karena pasal tersebut tidak dicantumkan atau disertakan JPU dalam dakwaannya, maka majelis hakim menolaknya.
Sikap majelis hakim dalam menolak tuntutan JPU sangat tepat. Karena menurut Pasal 182 KUHP ayat 4 ditegaskan, "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang."
Kasus Korupsi Asabri: Hakim Dipastikan Menolak Tuntutan JPU
Jika berkaca dari kasus pembobolan Bank BNI yang dilakukan oleh Dicky Chandra Dinata, dengan menggunakan Pasal 182 (4) KUHP, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dipastikan akan menolak hukuman mati terhadap Heru Hidayat sebagaimana tuntutan JPU.
Bahkan, ada kemungkinan bila tuntutan kepada Heru Hidayat lebih ringan dari Dicky Chandra Dinata. Pasalnya, Heru bukan seorang residivis, sementara Dicky diketahui sebagai residivis dalam tindak pidana yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H