Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi Asabri: Jaksa Cetak "Gol Bunuh Diri", Heru Hidayat Berpeluang Bebas

12 Desember 2021   10:41 Diperbarui: 12 Desember 2021   10:45 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus korupsi PT Asabri pada Senin, 13 Desember 2021, akan memasuki tahap pembacaan pledoi oleh terdakwa Heru Hidayat. 

Pada kesempatan itu, Presiden PT Trada Alam Minera (PT TAM) ini pastinya akan memanfaatkan semaksimal mungkin kecerobohan jaksa penuntut umum (JPU) untuk dapat membebaskan dirinya dari seluruh dakwaan.

Jaksa Kasus Asabri Ceroboh, Heru Hidayat Berpeluang Bebas

Dalam dakwaan terhadap Heru, JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal ini berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Sebagaimana yang diberitakan sejumlah media, Heru Hidayat merupakan satu dari delapan terdakwa dalam kasus korupsi PT Asabri. Kedelapannya didakwa bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara senilai Rp 22,788 triliun. 

Dakwaan itu disampaikan jaksa dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 16 Agustus 2021.

Namun saat menyampaikan tuntutannya pada 6 Desember 2021, JPU menjatuhkan pasal yang berbeda, yaitu Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 

Pasal ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Pasal yang dituntutkan kepada Heru Hidayat ini tidak disertakan JPU dalam dakwaannya.

Dengan demikian, tuntutan JPU dalam kasus korupsi PT Asabri ini menyimpang dari dakwaan. Atau, seperti dalam artikel "Korupsi Asabri: 3 Keserampangan dalam Tuntutan Hukuman Mati terhadap Heru Hidayat" tuntutan yang berbeda dari dakwaan tersebut disebut-sebut keliru, bahkan bisa dikatakan serampangan, dan ceroboh. .

Lewat sejumlah media, sejumlah ahli hukum menyatakan pendapatnya terkait ketidaksesuaian pasal antara dakwaan dan tuntutan. Para ahli hukum tersebut mengatakan JPU telah melakukan kekeliruan.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno, misalnya, menilai tuntutan hukuman mati terhadap bos PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus korupsi Asabri tidak tepat karena jaksa tidak mencantumkan  Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di dalam surat dakwaan. 

"Yang pertama alasannya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU)," kata Nur kepada wartawan pada 8 Desember 2021 seperti yang dikutip Bisnis.com 

Ketidaktepatan, keserampangan, atau kekeliruan seperti yang dikatakan oleh ahli hukum Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa, bisa dikatakan sebagai blunder JPU.

Hukumonline.com menulis, "... jika dalil Penuntut Umum yang diuraikan dalam surat dakwaan tidak sesuai dengan alat-alat bukti yang terungkap pada persidangan, Penuntut Umum bisa menuntut agar Terdakwa dibebaskan. Namun dalam praktek hal ini jarang terjadi."

Ubah Pasal, Jaksa Cetak "Gol Bunuh Diri"

Dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang dituntutkan JPU tercantum frasa "keadaan tertentu". Penjelasan dari "keadaan tertentu" terdapat pada UU nomor 20 tahun 2001 yang merevisi UU Nomor 31 Tahun 1999.

Menurut penjelasannya, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Kerugian negara dalam kasus korupsi PT Asabri sebagaimana yang dituntutkan oleh JPU jelas-jelas bukan merupakan dana sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU nomor 20 tahun 2001. 

Pasalnya, dana PT Asabri yang diperkarakan itu bukan dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, dana bencana alam nasional, dana penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, atau dana bagi penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.

Sementara, Heru Hidayat, meskipun sebelumnya pernah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam kasus korupsi PT Jiwasraya, namun ia bukan merupakan residivis yang mengulang tindak pidana yang sama. 

Dengan demikian, Heru Hidayat tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau melanggar Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang dituntutkan oleh JPU. Atau, JPU tidak bisa membuktikan bahwa tindak pidana korupsi PT Asabri oleh Heru dilakukan dalam keadaan tertentu. 

Itulah kecerobohan JPU. Kecerobohan JPU tersebut bagaikan blunder yang mengakibatkan gol bunuh diri.

Bagaimana dengan TPPU Kasus Asabri?

Dalam kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat bersama Jimmy Sutopo dan Benny Tjokrosaputro juga didakwa dengan pasal pencucian uang yakni Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).  

TPPU, sebagaimana yang dijelaskan sejumlah jurnal, sebagai suatu kejahatan yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding kejahatan lain, yaitu adanya prinsip kejahatan ganda (double criminality), atau juga disebut kejahatan lanjutan (follow up crime). Artinya TPPU mengharuskan adanya tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan uang yang kemudian hasilnya dilakukan proses pencucian (laundering).

Namun, ada pula yang yang berpendapat bahwa penegakan hukum dalam TPPU tidak mewajibkan pembuktian tindak pidana asal, atau dengan kata lain proses hukum atas tindak pidana tersebut tidak menjadi harus dipisah (splitsing) sembari menunggu predicate crime-nya terbukti berdasarkan putusan pengadilan inkrah.

Kemudian keluarlah Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 yang merupakan jawaban final atas Pasal 69 UU TPPU. Menurut MK, demi efektivitas penegakan hukum TPPU dan demi menghindari terjadinya perbedaan putusan pengadilan, sebaiknya dalam penanganan TPPU digabung dengan tindak pidana asalnya. Namun, MK tidak menghapus hubungan antara pidana asal dan pidana lanjutan. 

Dalam kasus korupsi PT Asabri, sesuai putusan MK, JPU menjerat Heru Hidayat dengan pasal tipikor sekaligus pasal TPPU. Dalam perkara ini, tindak pidana korupsi merupakan pidana asal (predicate crime) dari TPPU yang dikenakan kepada Heru sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime).

Akan tetapi, meskipun sidang kasus korupsi dan kasus TPPU digelar secara bersamaan, bila predicate crime yaitu Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999, maka TPPU sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime) secara otomatis juga tidak dapat dibuktikan.

Karenanya, demi hukum, hakim dapat membatalkan tuntutan JPU dan memvonis bebas Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri. Dan, vonis bebas tersebut bukan hanya karena ketidaksesuaian pasal pada dakwaan dengan pasal pada tuntutan, melainkan juga dikarenakan JPU tidak bisa membuktikan tuntutannya, baik itu tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun