Tuntutan pidana hukuman mati yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Presiden PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi Asabri sebesar Rp 23 triliun bukan saja dinilai tidak tepat, tetapi juga serampangan
Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat, JPU tidak Konsisten
Dinilai tidak tepat, karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang digunakan oleh JPU tidak masuk di dalam surat dakwaan. Pasak ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."Â
Sementara, dalam surat dakwaannya JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) dari undang-undang yang lebih dikenal dengan sebutan UU Tipikor. Bunyi dari pasal ini adalah, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Artinya, tuntutan JPU sudah menyimpang dari dakwaan semula. Jika JPU konsisten dengan surat dakwaannya, tuntutan yang dijatuhkan kepada Heru Hidayat hanya pidana penjara antara 4 sampai 20 tahun dan denda paling sedikitnya Rp 200.000.000,00 dan paling banyaknya Rp 1.000.000.000,00.
Heru Hidayat tidak Korupsi Asabri dalam "Keadaan Tertentu"
Adapun dalam penjelasannya, UU yang diteken Presiden BJ Habibie pada 16 Agustus 1999 ini tidak menjelaskan frasa "dalam kondisi tertentu". Namun, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 dikatakan. "Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi..."
Tetapi, dalam tuntutannya, JPU tidak menjelaskan maksud dari "keadaan tertentu" sehingga menjatuhkan hukuman mati kepada Heru Hidayat.Â
Dalam tuntutannya JPU mengatakan, "Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana."
Dalam pemahaman publik, yang dimaksud "keadaan tertentu" adalah ketika negara tengah ditimpa bencana, termasuk pandemi Covid-19 sekarang ini. Atau, pada saat negara tengah menghadapi krisis ekonomi seperti pada saat krisis moneter 1998.
Oleh karena, banyak pendapat yang mengatakan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara layak dijatuhi hukuman mati mengingat tindak pidana korupsi dilakukannya pada saat negara tengah menangani pandemi Covid-19 yang memporakporandakan perekonomian nasional, terlebih korupsi yang dilakukan oleh mantan menteri sosial tersebut terkait dengan bantuan sosial bagi masyarakat terdampak.
Sementara, tindak pidana korupsi Asabri senilai Rp 23 triliun yang dilakukan oleh Heru Hidayat dalam rentang waktu 2012-2019 pada saat negara sedang dalam kondisi baik-baik saja.Â
Dengan begitu, "kondisi tertentu" pada saat Heru merugikan negara seperti juga "kondisi tertentu" pada saat Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathonah, Setya Novanto, Muhammad Nazaruddin dan lainnya melakukan tindak pidana korupsi. Faktanya, "kondisi tertentu" dalam, hal ini negara sedang baik-baik saja tidak membuat mereka dijatuhi hukuman mati.
Hukuman Mati tidak Timbulkan Efek Jera
"Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, ..." kata JPU dalam tuntutannya.
Dari pernyataan JPU tersebut bisa disimpulkan bila hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus korupsi Asabri demi menimbulkan efek jera. Tujuannya untuk mencegah dan memberantas, setidaknya menekan, tindak pidana korupsi.
Namun faktanya, berdasarkan indeks korupsi yang dirilis oleh Transparency International pada Januari 2021, hukuman mati terbukti sama sekali tidak menimbulkan efek jera.
Sejak beberapa tahun yang lalu Selandia Baru, Denmark dan Finlandia telah menghapus pemberlakuan hukuman mati, termasuk terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Transparency International, corruption perceptions index atau indeks persepsi korupsi ketiga negara tersebut dipandang baik. Selandia Baru dan Denmark menduduki posisi puncak dengan torehan skor yang sama, yaitu 88 dari 100 sebagai skor tertinggi. Sementara, Finlandia menyusul dengan angka indeks 85.
Sebaliknya, China dan Korea Utara memiliki indeks rendah meski ketiga negara di kawasan Asia itu masih memberlakukan hukuman mati, China menduduki posisi ke-78 dengan skor 42. Korea Utara bahkan hanya mencatatkan skor 18 dan menduduki posisi ke-170 dari 180 negara. Padahal kedua negara tersebut masih memberlakukan hukuman mati. Indonesia sendiri berada di posisi 102 dengan skor 37.
Dari rilis Transparency International tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa alasan JPU menjatuhkan hukuman mati terhadap Heru Hidayat bukanlah strategi yang efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H