Leluhur Kompasiana itu menulis,Â
"soal benar-tidaknya analisis itu urusan belakang", poinnya bagi warga penulis adalah; JANGAN TAKUT BERPENDAPAT!
Jangankan pendapat warga yang merujuk pada media yang sudah termuat, pendapat pakar saja bisa keliru. Ini bukan berarti pendapat warga "ngasal", tetap harus memegang etika dan merujuk pada referensi. Hal yang sangat saya sayangkan atas tulisan Heru Andika yang tulisannya banyak dibaca orang itu, bukan karena minim referensi, tetapi tulisan itu sama-sekali TANPA MENYERTAKAN RUJUKAN. Kesannya bagi pembaca, termasuk saya, seperti dongeng, spekulasi, atau karangan yang digubah sendiri (tanpa bermaksud mengecilkan usaha Heru Andika). Mungkin kalau saja ia menyertakan rujukan atau sumber dari mana datangnya cerita, tulisannya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Apakah admin menilai artikel saya yang dihapus itu tidak menyertakan rujukan yang jelas?
Dalam setiap artikel saya selalu merujuk pada informasi atau peristiwa yang diberitakan media yang terdaftar di Dewan Pers.
Kalaupun artikel yang saya tulis merujuk pada akun Twitter, akun tersebut sudah saya pastikan milik atau dikelola oleh tokoh yang bersangkutan, bukan akun kloningan. Kepastian tersebut saya dapatkan bukan saja dari interaksi antar akun tokoh yang saya rujuk, tetapi juga informasi dari media yang mengutip pernyataan si tokoh dari akun medsosnya.
Soal UU No 17/2011 yang saya rujuk pun bisa dengan mudah ditemukan di website-website institusi resmi negara.
Lantas, apakah opini saya yang tulis berdasarkan sejumlah rujukan itu dianggap diragukan kebenarannya, dengan atau tidak sengaja, dengan maksud apapun sehingga admin menghapusnya?
Artikel opini pastilah diposting karena si penulis ingin menyampaikan opini/pendapatnya. Tulisan opini tidak bisa lepas dari faktor subyektifitas penulisnya. Karenanya penulis opini berhak atas 100 persen subyektifitasnya.
Jadi menurut subyektifitas saya selaku penulis opini yang berdasarkan sejumlah rujukan yang saya sertakan, BIN dan Jokowi memang terlibat dalam konflik Demokrat.