BIN (Badan Intelijen Negara) dituding melakukan abuse of power lantaran ikut cawe-cawe mendukung KLB Demokrat serta pencalonan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Tuduhan kepada institusi intelijen negara bertanggung jawab atas KLB Demokrat ini bermula dari cuitan Rachland Nashidik Â
"KSP Moeldoko menyatakan aksi memalukan ini tanggungjawabnya sendiri. Tapi dia menyebut Kepala BIN, Kapolri, Menkum HAM dan Menko Polhukam @mohmahfudmd, bahkan "Pak Lurah" merestui," cuit politisi Demokrat itu pada 1 Februari 2021.
Tidak sampai di situ, Rachland pun mendesak pejabat-pejabat yang disebutkan namanya untuk angkat bicara.Â
KSP Moeldoko menyatakan aksi memalukan ini tanggungjawabnya sendiri. Tapi dia menyebut Kepala BIN, Kapolri, Menhukham dan Menko Polhukam @mohmahfudmd, bahkan "Pak Lurah" merestui. Para pejabat negara itu perlu juga angkat bicara. Apa iya ini semua tanpa restu "Pak Lurah?"--- Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) February 1, 2021
Saat turun gunung pada 24 Februari 2021, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membantah keterlibatan pejabat-pejabat yang disebutkan namanya oleh Rachlan.SBY mengatakan dirinya meyakini bila Moeldoko hanya mencatutnya.
"Saya punya keyakinan nama Menko Polhukam Prof Mahfud dan Menkumham Yasonna Laoly dicatut namanya. Demikian juga, nama Kapolri Jenderal Listyo Sigit dan KaBIN Jenderal Budi Gunawan yang juga disebut-sebut namanya," kata SBY seperti yang dikutip Tribunnews.com.
Sebagai mantan Presiden RI selama dua periode, SBY pasti mengetahui bila keterlibatan BIN dalam isu KLB Demokrat belum tentu merupakan abuse of power atau penyelewengan kekuasaan.Â
Karena bisa jadi keterlibatan BIN dalam gerakan yang disebut oleh SBY sebagai Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan Partai Demokrat (GPK PD) sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Sesuai Konstitusi BIN Terlibat dalam Konflik Demokrat
BIN dalam butir b Pasal 30 undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada 17 November 2011 itu dapat meminta bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan prioritasnya. Dengan begitu, keterlibatan BIN dalam KLB Demokrat bisa saja hanya sekadar meminta keterangan kepada Moeldoko selaku KSP.
Namun, apabila informasi yang diperolehnya itu BIN mendeteksi adanya ancaman kepada kepentingan nasional, maka BIN dapat melibatkan diri lebih dalam lagi.
Keterlibatan BIN tersebut sesuai dengan Pasal 4 UU No. 17/2011 yang mengatakan "Intelijen Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat Ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional".
Ancaman, pada Pasal 1, adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Jika KLB Demokrat dinilai berpotensi membahayakan kepentingan nasional, BIN wajib melibatkan diri. Karenanya, kedatangan anggota Intelkam Polri ke sejumlah kader DPD dan DPD Partai Demokrat yang meminta data loyalis SBY pun tidak lepas dari giat intelijen yang sesuai konstitusi yaitu pendeteksian dini sesuai Pasal 4 UU Intelijen Negara.
Maka jelas, kedatangan anggota Intelkam Polri tersebut bukan untuk mengancam kader DPD dan DPC Demokrat sebagaimana yang diklaim, Benny K Harman lewat akun Twitter-nya pada 9 Maret 2021.
Giat intelijen Kesatuan Intelkam Polri itu bukannya tanpa alasan jelas. Sebab, pada saat KLB Demokrat kubu Moeldoko yang digelar di Sibolangit pada 5 Maret 2021 terjadi bentrok antara pendukung KLB kubu Moeldoko dan loyalis SBY.Â
Pasca-KLB Demokrat, giat intelijen pastinya lebih ditingkatkan lagi mengingat adanya ancaman dari loyalis SBY kepada kader Demokrat pendukung Moeldoko.
Jajaran pengurus dan kader DPC Demokrat Kota Semarang, misalnya, telah menyatakan akan membubarkan setiap kegiatan kubu Kongres Luar Biasa (KLB) yang mengatasnamakan Partai Demokrat di Kota Semarang .
"Saya sudah apel dan siapkan semua Satgas di DPC Kota Semarang, cari dan buru bila ada orang kubu KLB disini dan mencoba berkegiatan atas nama Demokrat," tambah Ketua DPC Partai Demokrat Kota Semarang Wahyu Winarto pada 8 Maret 2021 seperti yang dikutipÂ
Keluarnya ancaman dari loyalis SBY kepada pendukung KLB tersebut mengindikasikan konflik internal di tubuh Demokrat berpotensi menjadi bentrok fisik antar dua kubu. Jika tidak diantisipasi, potensi ini dapat mengganggu keamanan nasional.
Polri, dalam Pasal 9 UU Intelijen Negara, merupakan salah satu dari lima penyelenggara intelijen negara. Dan, menurut Pasal 38, giat intelijen Polri berada di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara (BIN).
Karenanya, kalau tidak mendatangi kader-kader DPD dan DPC Demokrat loyalis SBY, Polri bisa dinyatakan telah abai melaksanakan Pasal 4 UU Intelijen negara.
BIN, menurut UU Intelijen, Beri Informasi kepada Presiden Jokowi
Sebagaimana Polri dan BIN, menurut Pasal 9 UU No 17/2011, intelijen kementerian merupakan penyelenggara Intelijen Negara. Intelijen kementerian ini juga bekerja di bawah koordinasi BIN. Dengan demikian, sudah barang tentu, BIN melibatkan Kemenkum HAM dan Menko Polhukan dalam menangani konflik yang terjadi di Partai Demokrat.
Dari kedua kementerian itu, BIN menggali informasi atau yang biasa disebut dengan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) tentang sikap yang akan diambil pemerintah terkait dualisme kepemimpinan Partai Demokrat pasca KLB. Dari informasi yang didapat dari kedua kementerian tersebut, BIN dapat memprediksikan ada tidaknya potensi gangguan terhadap kepentingan nasional, sekaligus menyiapkan langkah-langkah antisipasinya.
BIN, sesuai Pasal 39, melaporkan penyelenggaraan koordinasi Intelijen Negara kepada Presiden. Pelaporan ini karena menurut Pasal 27, BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dengan demikian, BIN pastinya telah melaporkan kepada Presiden Jokowi terkait konflik Partai Demokrat sebelum dan setelah KLB.
Selanjutnya, sesuai Pasal 29, BIN bertugas memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.Â
Atas rekomendasi BIN itulah Jokowi selaku presiden bukan saja mendapatkan laporan tentang konflik Partai Demokrat, tetapi juga mengambil langkah-langkah yang dinilai tepat. Di sinilah Jokowi terlibat dalam konflik Partai Demokrat.
Karenanya sangat konyol kalau para pendukung Jokowi menampik keterlibatan Jokowi dalam kemelut Partai Demokrat. Justru, jika tidak terlibat, berarti sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi lepas tanggung jawab.Â
Karenanya, cuitan Rachlan yang menyebut keterlibatan pejabat-pejabat pemerintah tidak perlu disanggah apalagi sampai membuli Rachland. Justru tuduhan Rachlan tersebut dibenarkan.
Sebenarnya ada yang menarik pada pernyataan SBY ketika turun gunung. Ketika itu SBY menganulir cuitan Rachland Nashidik yang menyebut keterlibatan pemerintah. Tapi, bukan saja SBY yang melakukannya. Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat Herman Khaeron malah menarik kembali pernyataannya sendiri.
Kata Khaeron, kalau tidak terlibat, sebaiknya Jokowi mengklarifikasi keterlibatan Moeldoko dalam KLB Demokrat.Â
 "Kalau tidak hubungannya langsung dengan Presiden, tentu sebaiknya diklairifkasi, bahwa itu adalah urusan pribadinya Pak Moeldoko," katanya pada 4 Februari 2021 sebagaimana dikutip Tribunnews.com
Namun, pada 9 Maret 2021 Khaeron menganulir lewat akun Twitter-nya.
Saya yakin aksi moeldoko tidak ada kaitanya dengan presiden, namun sepertinya ada pihak lain mitra persekongkolannya. Sejalan dengan waktu akan terbuka ke publik.--- ehermankhaeron (@akang_hero) March 9, 2021
Penganuliran tuduhan keterlibatan Jokowi dalam konflik Demokrat tersebut sangat tepat. Karena, tuduhan tersebut bisa saja secara subyektif dianggap sebagai ancaman sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 17/2011.
Jika demikian, secara subyektif atau bisa juga secara politis, SBY bisa dianggap sebagai "pihak lawan" seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3. Pihak Lawan, menurut pasal ini, adalah pihak dari dalam dan luar negeri yang melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, serta tindakan yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional.
Di situlah sebetulnya SBY beruntung. Sebab, bila saja Jokowi menanggapi surat yang dikirim AHY, pasti berpotensi menimbulkan polemik baru yang lebih mengancam keamanan nasional. Dan, citra Partai Demokrat beserta SBY bisa lebih hancur dari sekarang.
KLB Demokrat: Moeldoko sengaja Masuki "Cakrabyuha" Konflik Demokrat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI