"Wahyu Topeng Waja" yang dalam pewayangan Jawa mengisahkan tentang perebutan senopati perang antara Gatotkaca dan Boma Narakasura kini seolah dilakoni oleh AHY dan Moeldoko. Tentu saja antara AHY dan Moeldoko tidak merebutkan topeng yang terbuat dari baja, melainkan surat keputusan yang ditandatangani Menkum HAM.
Perebutan "topeng waja" antara AHY dan Moeldoko memuncak pasca KLB yang dihelat kubu Moeldoko di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret 202. Moeldoko secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Karenanya, diakui atau tidak oleh kubu AHY, Â secara de facto, saat ini telah terjadi dualisme kepemimpinan.
Sejumlah pengurus daerah Partai Demokrat kubu AHY pun kompak menyatakan penolakannya atas hasil KLB Demokrat kubu Moeldoko. Bahkan, SBY selaku Ketua Majelis Tinggi versi kubu AHY sudah mendeklarasikan perang terhadap hasil KLB Demokrat kubu Moeldoko.
"Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. Sebuah war of necessity. Sebuah justice war, perang untuk mendapatkan keadilan," kata SBY dalam konferensi pers sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com.
Kekisruhan yang melanda Demokrat yang sudah berlangsung sejak akhir Januari 2021 ini mendapat sorotan sejumlah kalangan, mulai dari pengamat politik, pengamat hukum, politisi, akademisi, dan tidak ketinggalan netijen. Masing-masing menyampaikan pendapatnya sesuai sudut pandangnya. Tidak sedikit dari mereka yang mencoba memprediksikan akhir dari dualisme Partai Demokrat. Ada yang berpendapat kubu Moeldoko akan mendapat "Wahyu Topeng Waja" dari pemerintah. Ada pula yang beropini sebaliknya.
Tetapi, jika dikait-kaitkan dengan lakon Wahyu Topeng Waja, bagaimana akhir dari dualisme kepemimpinan Partai Demokrat ini?
Sekilas Kisah Wahyu Topeng Waja
Di Kerajaan Amarta, Werkudara atau Bima memegang dua jabatan penting sekaligus: jaksa agung dan senopati. Putra kedua Pandu Dewanata itu kemudian ingin melepas jabatannya sebagai senopati perang.Â
Ketika itu, Baratayudha antara kubu Pandawa melawan kubu Kurawa sudah tinggal menunggu gong dibunyikan. Karenanya, pemegang jabatan senopati perang bukanlah orang sembarangan. Ia haruslah seorang yang sakti mandraguna, mampu memimpin pasukan, dan tentu saja memiliki jam tetbang yang cukup.
Setelah musyawarah yang diikuti para senior dan pinisepuh Pandawa, dimufakatilah Gatotkaca sebagai Senopati Kerajaan Amarta yang selanjutnya akan memimpin pasukan Pandawa dalam Baratayudha.