Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada "Pollycarpus" di Kasus Jiwasraya?

5 Oktober 2020   18:58 Diperbarui: 5 Oktober 2020   19:06 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi Kompas.com

"Dokter, ini untuk Merah Putih (Indonesia)," kata Bambang Hendarso Danuri seperti ditulis ahli forensik Mun'im dalam bukunya: "Indonesia X-Files".

Dalam buku itu, Mun'im mengaku ditelepon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri  Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Mun'im diundang datang oleh Bambang yang kerap disapa BHD ke Mabes Polri untuk membicarakan kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib yang tewas akibat racun arsenik pada 7 September 2004.

"Lho, kenapa Pak?" tanya Mun'im bingung.

"Kalau kita tidak bisa memasukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok," jelas BHD seperti yang dituturkan Mun'im dalam bukunya.

Mun'im yang kemudian menyetujui untuk terlibat dalam pengungkapan pembunuhan Munir mengungkapkan sejumlah kejanggalan. Menurutnya, kejanggalan kasus pembunuhan Munir itu sudah bisa diketahui dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Sebab, dari sekian banyak CCTV, hanya 2 yang aktif. Operatornya sedikit.

Selain itu, Mun'im juga melihat kejanggalan pada surat perintah dari maskapai Garuda Indonesia kepada Pollycarpus Budihari Priyanto yang ikut penerbangan dari Indonesia menuju Singapura. 

"Mengapa surat perintah yang dikeluarkan untuk teknisi, padahal dia pilot?" tanya Mun'im dalam bukunya.

Mun'im juga mencurigai penundaan beberapa kali penerbangan Garuda bernomor GA 794 dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta ke Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda.

"Ternyata hal itu terjadi menunggu pesawat garuda dari Singapura. Pesawat tersebut berisi Pollycarpus. Jadi dia dipersiapkan di sana."

Pollycarpus Budihari Priyanto kemudian divonis 20 tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti meracuni Munir menggunakan arsenik saat berada di Cafe Bean Singapura. 

"Dalam pandangan saya, Munir sengaja digiring ke Cafe Bean dan di situlah arseniknya diberikan," tulis Mun'im. 

Kejanggalan-kejanggalan dalam pengungkapan kasus kematian Munir sebenarnya bukan hanya yang dituliskan Mun'im dalam bukunya. Masih ada beberapa lagi. 

Kejanggalan yang paling mencolok adalah berubah-ubahnya jenis makanan dan minuman beracun arsenik yang dikonsumsi Munir. Lantaran jenis makanan dan minumannya berubah-ubah, tempat Munir mengonsumsinya pun berubah-ubah pula. 

Uniknya, meski makanan-minuman dan TKP-nya berubah-ubah, namun pelakunya tidak berubah: Pollycarpus.

Selain kejanggalan-kejanggalan tersebut, masih ada sejumlah pertanyaan yang mengganjal. Salah satunya, kapan surat perintah PT Garuda kepada Pollycarpus dibuat, sebelum atau setelah kematian Munir? Pertanyaan ini menarik lantaran tidak ada penyelidikan forensik terhadap komputer yang digunakan untuk menulis surat.

Namun demikian, dua pernyataan BHD, yaitu "Dokter, ini untuk Merah Putih (Indonesia)" dan "Kalau kita tidak bisa memasukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok" menguatkan dugaan bila Pollycarpus tidak bersalah. Ia hanyalah tumbal dari persekongkolan jahat.

Pembunuhan Munir adalah buah konspirasi yang diungkap dengan cara penuh konspirasi. Akibatnya dalang dan pelaku pembunuhan Munir yang sebenarnya tidak pernah terungkap.

Tetapi, ada satu yang paling menarik dari semua rentetan peristiwa kasus pembunuhan Munir. Kasus pembunuhan Munir dapat diungkap hanya dalam hitungan bulan. Sementara, kasus pembunuhan sejenis terhadap Georgi Markov dan Alexander Litvinenko belum dapat diungkap meski sudah terjadi puluhan tahun.

Kejaksaan Agung Tutupi Kasus, Rampok Besar Jiwasraya Melenggang

Kasus Jiwasraya bermula dari kegagalan bayar polis nasabah. Kejaksaan Agung mendudukkan enam orang di kursi terdakwa. Keenamnya dijerat Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Subsider Pasal 3 UU Tipikor.

Sekarang kasus ini sudah memasuki tahap pembacaan pledoi. Akan tetapi, sebagaimana kasus pembunuhan Munir, dalam proses hukum terhadap megaskandal Jiwasraya ada sejumlah kejanggalan, 

Misalnya, tidak diperiksanya pemegang saham Asuransi Jiwasraya atau Kementerian BUMN. Padahal, dalam perkara ini Kementerian BUMN bertindak sebagai pelapor. 

Pemeriksaan terhadap pihak Kementerian BUMN ini sangat penting, bahkan bisa dikatakan sebagai pangkal kasus, lantaran terkait adanya arahan Kementerian BUMN kepada direksi Jiwasraya periode 2008-2018 yang meminta agar Jiwasraya harus tetap berjalan kendati tengah dibelit problem insolvent neraca keuangan perseroan tercatat minus Rp 6,7 triliun.

"Namun, tidak ada satu pun dari pihak pemegang saham (Kementerian BUMN) yang diperiksa dan dimintakan keterangan dalam perkara ini, dan hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada kesengajaan untuk mengabaikan dan menyembunyikan fakta tentang kebijakan pemerintah (pemegang saham) terkait kondisi insolvent PT AJS (Persero)," kata Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada 29 September 2020 seperti dikutip Liputan6.com.

Syahmirwan benar. Pasalnya, sebagai "perwakilan" pemegang saham Kementerian BUMN seharusnya dimintai keterangan terkait Laporan Keuangan serta Laporan Tahunan PT Asuransi Jiwasraya pada 2017 dan 2018. Selain itu, Kementerian BUMN pun perlu dimintai keterangan terkait jumlah dividen yang sudah diterima pemerintah selaku pemegang saham.

Menariknya lagi, bukan saja pihak Kementerian BUMN yang tidak dimintai keterangannya di persidangan, dua mantan direksi Asuransi Jiwasraya yang terkait kasus Jiwasraya pun tidak dihadirkan. Mereka adalah De Yong Adrian selaku Direktur Pemasaran dan Indra Cataria Situmeang selaku Direktur Teknik. 

Padahal keduanya telah dimintai keterangannya oleh penyidik Kejaksaan Agung dan keterangan keduanya tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagaimana terdapat dalam berkas perkara.

Kejaksaan Agung pun hanya memeriksa pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak dua kali. Tetapi tidak menghadirkan pihak OJK di persidangan. Padahal, OJK sebagai institusi pengawas diduga lalai atau malau justru melakukan pembiaran.

OJK melakukan kesalahan dengan mengizinkan saving plan lewat cara bagi hasil yang fix, terlebih bagi hasil tersebut dibandrol minimal 9 persen. Kesalahan lain yang dilakukan OJK adalah membiarkan Jiwasraya menggunakan sistem putus kontrak. Padahal, dalam sistem premi asuransi, jika sudah putus kontrak berarti sudah selesai.

Anehnya, meskipun Jiwasraya pernah ditegur Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk berhenti menjual produk saving plan dengan alasan tidak logis, namun OJK tetap membiarkannya.

Kesalahan OJK lainnya adalah membiarkan Jiwasraya melanggar aturan investasi, yaitu tidak adanya akta notaris ketika manajer investasi bertransaksi dengan pemegang saham.

Dari tidak dipanggilnya pihak-pihak tersebut di atas, sangat jelas jika ada unsur kesengajaan dari Kejaksaan Agung untuk menutup-nutupi fakta.  Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk melindungi pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang dilindungi Kejaksaan Agung inilah yang sesungguhnya perampok besar dalam skandal Jiwasraya. 

Ada yang Di-Pollycarpus-kan, Untuk Apa?

Pembunuhan yang dilakukan di atas penerbangan pastinya tidak mungkin bisa dilakukan oleh sembarang orang. Modus ini membutuhkan perencanaan matang dan eksekutor yang ahli. Karenanya sangat beralasan bila dalang dan eksekutor pembunuhan Munir tidak berhasil diungkap. Sebagai gantinya, Pollycarpus ditarget untuk dipidanakan.

Namun, pemidanaan Pollycarpus, seperti yang diakui oleh BHD adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan muka NKRI. "Ini untuk Merah Putih," kata BHD.

Meskipun skandal Jiwasraya melibatkan sejumlah pihak yang memiliki akses luas dan aset besar, tetapi kasus ini lebih mudah diungkap. Pasalnya, segala transaksi yang dilakukan oleh Jiwasraya tercatat rapih. Begitu juga dengan aliran uangnya. PPATK menelusuri adanya Rp 100 triliun aliran dana Jiwasraya.

Dengan menutupi fakta lewat tidak diperiksanya dan tidak dihadirkannya beberapa pihak, artinya Kejaksaan Agung secara telah terang-terangan melindungi sejumlah pihak dan mengorbankan pihak lainnya. 

Jika Kejaksaan Agung masih terus menutupi sejumlah fakta dalam skandal Jiwasraya untuk mencapai target tertentu, maka jangan harap keadilan akan didapat bangsa Indonesia.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan bila proses hukum terhadap Jiwasraya yang dilakukan Kejaksaan Agung berbeda dengan isi surat laporan Rini Soemarno.

Artikel ini sudah diposting di Stemplet.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun