Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Depak Wiranto dari Hanura, OSO Bagaikan Brutus pada Caesar

22 Desember 2019   08:32 Diperbarui: 22 Desember 2019   08:36 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wiranto (Sumber: CNNIndonesia.com)


Konflik Partai Hanura yang kembali memanas dalam beberapa hari ini nyaris luput dari perhatian. Padahal, konflik yang berlangsung di internal partai bentukan Wiranto ini sangat menarik lantaran beragam keunikan yang mungkin tidak akan dialami oleh parpol-parpol lainnya.

Hanura adalah satu dari sekian banyak partai di Indonesia yang mengandalkan faktor ketokohan sebagai motor penggerak maupun vote geter. Dan, selam kiprahnya dalam pentas politik nasional, partai yang didirikan pada 21 Desember 2006 ini tidak bisa dipisahkan dari sosok Wiranto sebagai tokoh sentralnya.

Menariknya, di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang atau yang lebih dikenal dengan sebutan OSO, Wiranto mengaku tidak dihargai lagi oleh partai yang dibesarkannya. Wiranto pun kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura pada 18 Desember 2019.

"Bagaimana mungkin saya, Munas tidak diundang? Ini Munas rohnya sudah berbeda, selalu ingin berkonflik dengan saya. Kalau saudara jadi saya, emang saudara kerasan? Tahan? Jadi, ini kesadaran politik saya. Saya mundur," ungkap Wiranto di Hotel Atlet Century, Jakarta saat koferensi pers terkait pengunduran dirinya sebagaimana yang dikutip Tempo.co.

Wiranto Haus Jabatan?

"Enggak usah dikejar, enggak usah disuruh, saya mundur atas kesadaran saya," tegas mantan Panglima ABRI itu pada kesempatan yang sama.

Kepada awak media, Wiranto mengaku sejak ditunjuk sebagai Watimpres dirinya mendapat beragam serangan yang dilancarkan oleh sejumlah petinggi Hanura di bawah KetuaUmum OSO. Oleh OSO dan kawanannya, Wiranto yang juga mantan Menko Polhukam ini dituding haus jabatan dan berkepribadian ganda.

Entah siapa yang memotorinya, serangan terhadap Wiranto didunia Twitter pun digencarkan lewat tagar #Wiranto. Oleh netizen penyerangnya,Wiranto disebut-sebut sebagai manusia abadi dalam artian tidak pernah memegang jabatan penting di republik ini.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres, pelarangan hanya bagi pejabat yang merangkap sebagai pimpinan partai politik.

Tersingkirnya Wiranto dari Hanura di bawah kepemimpinan OSO serta UU No. 19/2006 secara tidak langsung mematahkan tuduhan bahwa Wiranto menjual Hanura seharga Rp 200 milyar kepada OSO. 

Mana yang Dipilih Jokowi sebagai Watimpres, Wiranto atau OSO?

Tersingkirnya Wiranto dari Hanura pasca terpilihnya ia sebagai Watimpres bukannya "asap tanpa api". 

Kasus ini bermula dari pengakuan OSO tentang jabatan Watimpres yang diberikan Jokowi untuknya. 

Wiranto (Sumber: CNNIndonesia.com)
Wiranto (Sumber: CNNIndonesia.com)

"Saya berterima kasih kepada Presiden yang telah menawarkan saya duduk di Dewan Pertimbangan. Itu menandakan Presiden Jokowi tidak pernah meninggalkan kita," aku OSO dalam pidatonya saat membuka Munas III Hanura, di Jakarta pada 17 November 2019 seperti dikutip oleh Kompas.com. 

Tetapi, atas tawaran tersebut, OSO mengaku menampiknya lantaran ia lebih memilih jabatan Ketua Umum Hanura yang dipegangnya sejak 21Desember 2016 dan dilanjutkan sampai 2024 setelah mantan Ketua DPD ini secara aklamasi terpilih kembali dalam Musyawarah Nasional (Munas) Hanura III yang digelar pada 17 Desember 2019.

Sekalipun pengakuan OSO terkait jabatan Watimpres tersebut dibenarkan oleh Jokowi, namun kebenarannya patut diragukan. Keraguan tersebut muncul lantaran dalam Munas Hanura II, dengan sejumlah alasan, OSO tidak mengundang Jokowi dan juga Wiranto. 

Dibanding OSO, Istana pastinya lebih memilih Wiranto sebagai pemberi masukan kepada Presiden RI. Wiranto bukan hanya dikenal sebagai ketua umum partai yang berkonstribusi dalam memenangkan Jokowi saat Pilpres 2014, tetapi juga dikenal tokoh nasional yang sanggup keluar dari sejumlah masalah pelik.

Dengan kemampuan intelijennya yang mumpuni, Wiranto berhasil keluar dari konflik antar faksi di tubuh ABRI pada 1998. Dan, dengan kemampuan komunikasinya, Wiranto sanggup meyakinkan masyarakat bahwa ABRI tetap solid di bawah komandonya. 

Kemampuan Wiranto dalam olah intelijen dan komunikasi ini kembali terbukti saat ia menjabat Menko Polhukam pada periode pertama Jokowi. Wiranto ketika itu berhasil meredam suhu panas antara TNI-Polri pasca bocornya rekaman pidato Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengungkapkan adanya institusi yang mengimpor 5.000 pucuk senjata ilegal.

Kedekatan Wiranto dengan sejumlah ormas keagamaan juga dimanfaatkan sebagai jembatan oleh pemerintah Jokowi. Alhasil, sejumlah insiden yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal mampu diredam. 

Sebagai Menko Polhukam, ada satu tindakan Wiranto yang tidak mendapat sorotan media. Ketika itu, 4 November 2016, selepas menunaikan ibadah sholat Jumat, Jokowi dilarikan ke Istana Bogor. Malam harinya, sebelum kembali ke Istana Merdeka, perjalanan Jokowi dialihkan terlebih dulu ke Bandara Halim Perdanakusuma. 

Serentetan perjalanan Jokowi tersebut dan ditambah dengan sejumlah peristiwa di seputar istana, menguatkan bahwa isu kudeta bukanlah omong kosong. Terlebih, sejumlah institusi, termasuk Dinas Pemadam Kebakaran diinstruksikan untuk Siaga Satu. Tetapi, hanya dalam hitungan jam, situasi Indonesia, khususnya ibu kota Jakarta kembali normal. 

Karenanya, penunjukan Wiranto sebagai Watimpres oleh Jokowi pastinya dilatar belakangi oleh prestasi-prestasinya sebagai MenkoPolhukam yang berhasil mengatasi sejumlah konflik bahkan mengeluarkan Indonesia dari situasi gentingnya.

Prestasi Wiranto tersebut bisa dibilang bertolak belakang dengan OSO selama memimpin DPD RI 2014-2019. Di mana OSO nyaris tidak memiliki gebrakan untuk memajukan DPD RI. 

Dengan Angka-Angka Ini, Wiranto bisa KO-kan OSO

Malah, soal hancur leburnya Hanura pada Pileg 2019, OSO selaku Ketua Umum Hanura justru melempar kesalahan kepada Wiranto.

"Jadi ada yang bertanya kenapa Hanura kalah? Tanya Wiranto, bukan saya. Orang yang bikin kalah dia, kok," kata OSO sambil tertawa dalam sambutannya saat berbuka puasa bersama di kediamannya, Jl KarangAsem, Kuningan, Jakarta Selatan pada 15 Mei 2019 seperti yang dikutip Detik.com.

Tudingan OSO kepada Wiranto sebagai penyebab lenyapnya Hanura dari Senayan ini tidak didasari pada fakta, setidaknya data tiga pemilu legislatif, mulai dari 2009. 2014, sampai 2019.

OSO dan Wiranto (Sumber: CNNIndonesia.com)
OSO dan Wiranto (Sumber: CNNIndonesia.com)
Pada Pileg 2009, Hanura yang saat itu diketuai Wiranto berhasil menerobos Senayan dengan perolehan 3,77 persen suara. Dengan raihan ini, Hanura berhasil menempatkan 18 anggota legislatifnya di DPR RI 2009-2014.

Lima tahun kemudian, pada Pileg 2014, sekalipun jumlah kursi DPR RI merosot menjadi hanya 16 kursi, namun Hanura kala itu masih dipimpin Wiranto mampu meningkatkan raihan suara pemilih menjadi 5,26 persen.

Sebagai catatan, dalam dua pemilihan legislatif yang saat itu belum dilangsungkan serempak dengan pemilihan presiden tersebut, Hanura memosisikan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tetapi, dalam Pileg 2019, Hanura yang sudah dipimpin OSO hanya berhasil meraup 1,54 persen suara. Karena raihan ini, Hanura tidak sanggup memenuhi ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4%. Hasilnya, Hanura tidak meraih satu pun kursi DPR RI.

Padahal, dalam Pileg 2019, posisi Hanura bukan lagi oposisi, tetapi koalisi pemerintah Jokowi. Terlebih, pileg 2019 digelar serentak bersamaan dengan Pilpres 2019 yang dimenangkan oleh Jokowi sebagai capres petahanan. Dan, ketika itu, OSO sudah memasuki tahun ketiga masa kepemimpinannya di Hanura.

Lebih memiriskan lagi, Hanura yang pada 2014-2019 menduduki 10 kursi DPRD Provinsi DKI Jakarta kini terpental. Di provinsi ibukota ini Hanura kalah dari PSI, partai yang digawangi anak muda yang kerap dipandang sebelah mata. 

Perbedaan mencolok raihan suara Hanura dalam ketiga pileg dengan berbagai kondisinya mencerminkan perbedaan kualitas antara Wiranto dengan OSO sebagai penggantinya. Dengan kata lain yang lebih sederhana, OSO belum pantas menggantikan Wiranto.

Karenanya, sikap OSO selama kepemimpinannya di Hanura kepada Wiranto memiliki banyak makna. Namun, salah satu yang paling pasti adalah OSO menjadi kacang yang lupa kulit kepada Wiranto. Atau, OSO adalah Brutus bagi Wiranto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun