Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Habibie, Sang Syekh Siti Jenar yang "Manunggaling Kawulo Gusti-kan" Jiwanya pada Ainun

23 September 2019   11:48 Diperbarui: 23 September 2019   22:44 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Syekh Siti Jenar tidak ada. Yang ada Muhammad," sahut lelaki berjangggut putih kepada dua orang yang hendak menemui Syekh Siti Jenar.

Mendengar jawaban dari lelaki berjanggut putih itu keduanya terkejut dan menggelengkan kepala.

Beberapa waktu kemudian, kedua lelaki itu kembali menemui Syekh Siti Jenar. Dan lagi-lagi ditemui oleh lelaki berjanggut putih.

"Syekh Siti Jenar tidak ada," sahut lelaki berjanggut putih. "Yang ada Allah."

Kedua orang yang hendak menemui Syekh Siti Jenar itu lebih terkejut dari sebelumnya.

Kira-kira seperti itulah salah satu adegan dalam film "Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar" yang dirilis sekitar tahun 1984. Lelaki berjanggut putih yang ditemui kedua orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Syekh Siti Jenar sendiri.

Syekh Siti Jenar dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15. Tetapi, karena paham "Manunggaling Kawulo Gusti" atau Wahdatul Wujud yang dianutnya, ulama dengan nama alias Shekh Lemah Abang ini dianggap sesat.

Dalam salah satu pengertiannya, wahdatul wujud dapat dimaknai sebagai menyatunya manusia dengan Allah. Dia-lah Allah dan kita dan semua ciptaannya adalah bayangan-Nya. Paham yang paling dekat dengan Manunggaling Kawulo Gusti adalah Wahdatul Syuhud. Menurut paham ini, manusia dan seluruh semesta adalah bagian dari dzat Allah.

Said Nursi secara tersamar menuliskan konsep Wahdatul Wujud dan Wahdatul Suhud dalam bukunya "Sinar yang Mengungkap Sang Cahaya (Epitomes of Light). Dalam buku yang mengulas dalam Surat Al Ikhlas itu, pemikir asal Turki ini menggambarkan ciptaan Allah sebagai bayangan pada aliran sungai. Bayangan bisa hilang dan berubah bentuk, tetapi Allah tidak. Dan, dzat Allah itu ada pada setiap ciptaannya.

Konsep Manunggaling Kawulo Gusti tentang penyatuan manusia dengan Allah sebenarnya juga ditemukan dalam "The Lost Symbol" karya Dan Brown. Pada bagian-bagian akhir dari novel yang diterbitkan pada 2009 ini, Catherine Solomon berkata pada Robert Langdon.

"Kerajaan Tuhan ada pada diri kita," kata Catherine. Kurang lebih seperti itu. Kemudian Catherine menegaskannya, "Langdon, kita adalah Tuhan."

Kalau disimak, dalam "The Lost Symbol" ditemukan juga ajaran Syekh Siti Jenar tentang kematian. Brown dan Syekh Siti Jenar sama-sama menggambarkan kematian sebagai awal dari kehidupan abadi karena tubuh adalah penjara atau cangkang dari jiwa. Dan, setelah kematian, kita akan benar-benar menyatu dengan Tuhan.

Seperti dalam sloka Bhagawat Ghita, raga ini seperti kereta kuda ditumpangi oleh jiwa yang abadi. Jiwa adalah percikan Dewa, jiwa adalah bagian dari Dewa begitu tegas Kresna. Pada saat itu juga Sri Kresna menunjukkan ke-Mahadewa-an pada dirinya.

"Tuhan ada di sini. Di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum," dendang Ebiet G Ade dalam "Lagu untuk Kita Renungkan.

Ada bagian paling menarik pada novel "Layla Majnun". Pada suatu ketika Majnun mengunjungi pasar. Di sana ia merogoh kantongnya lalu mengambil secarik kertas bertuliskan "Layla dan Majnun". Kertas itu dirobek-robek kemudian dihamburkannya.

Seseorang bertanya kepada Majnun, "Kenapa kau lakukan itu? Bukankah pada kertas itu kau bisa bersatu dengan Layla."
Majnun menjawab, "Layla ada dalam diriku."

Demikian cintanya pada Layla, sampai Majnun merasakan keberadaan Layla dalam dirinya. Dan, karena cintanya itulah pikiran dan hati Majnun hanya tertuju pada Layla. Dari pagi hingga malam hari, ia menzikirkan nama Layla.

Begitu juga dengan cinta Habibie pada istrinya. Bagaikan Layla bagi Majnun, Ainun pun tak terpisahkan dari Habibie. Ada Ainun dalam diri Habibie. Begitu juga sebaliknya.

Setiap kali Habibie berkisah tentang Ainun, terasa bila Ainun masih hidup dalam dirinya. Menariknya, ungkapan cinta Habibie kepada Ainun itu mampu menembus sekat-sekat ruang, sehingga pemirsa yang menyaksikannya lewat televisi dapat merasakan kedalaman cinta Habibie kepada Ainun. Tak jarang kita yang menyaksikannya terharu dan meneteskan air mata, meski Habibie bercerita sembari tertawa lepas.

Bagi Habibie, Ainun adalah istri atau pasangan hidup yang sejati-jatinya garwo. Garwo adalah kata dalam bahasa Jawa yang merupakan kependekan dari sigarane nyowo atau belahan jiwa dalam bahasa Indonesia.

Ketika Ainun meninggal dunia pada 22 Mei 2010, jiwa Habibie pun terguncang hebat. Bukan karena jiwa Ainun meninggalkannya, tetapi karena separuh dari jiwa Habibie pergi bersama separuh jiwa Ainun.

"Antara saya dan Ainun, adalah dua raga namun dalam satu jiwa," begitu kata Habibie suatu ketika.

(Artikel ini sudah ditulis sejak flim Habibie & Ainun diputar pada 2012, namun tetap saja tidak sanggup mengalimatkan cinta Habibie pada Ainun)

Cinta Habibie pada Ainun membuat jiwa Ainun menyatu dengan Habibie. Sementara dengan cintanya kepada Allah, Syekh Siti Jenar memanunggaling kawulo gustikan dirinya pada Allah.

Raga Habibie sudah meninggalkan dunianya pada 11 Sepetember 2019. Tetapi tidak dengan jiwanya. Jiwa Habibie masih berada di dalam jiwa setiap anak bangsa yang mencintainya.

Seperti Syekh Siti Jenar yang harum namanya. Konon dalam Babad Cirebon, makam Syekh Siti Jenar menyerbakkan harum kembang melati hingga area pemakamannya diberinama Kemelaten. Begitu juga dengan nama Habibie.

Karenanya sangat tepat jika Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ingin menamai bandara yang berada di Kertajati, Kabupaten Majalengka, dengan nama Habibie. Namun alangkah lebih tepat lagi jika bandara yang baru dibangun itu diberi nama Habibie-Ainun.

Tentu bangsa ini tidak ingin mengikuti "kesalahan" nenek moyang saat memberi nama candi yang dibangun di Magelang pada abad 9 Masehi dengan nama Roro Mendut. Sebab, di samping Roro Mendut ada sosok pria yang dikasihinya: Pranacitra.

Ini Alasan Banyak Pria Kesal kepada Habibie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun