Jika benar demikian, sikap Andika tetap benar. Lantaran pemecatan Enzo Allie akan mengguncang tubuh TNI. Dan, situasi ini sangat tidak baik bagi TNI itu sendiri dan juga bagi bangsa. Apalagi guncangan tersebut terjadi pada saat Indonesia tengah melewati masa-masa pasca-Pilpres 2019 dan pra-pelantikan Presiden 2019-2024.
Karena itulah, saat menyampaikan keputusannya, KSAD Andika mengisyaratkan jika Enzo Allie belum tentu dapat melanjutkan karirnya sebagai perwira aktif.
"Dari yang sudah dikeluarkan sejak lima tahun terakhir itu lebih banyak mental. Jadi ada yang kesehatan, fisik, tapi mental banyak juga. Bervariasi, ada yang di tahun kedua dilakukan, ada yang di tahun keempat dan bahkan ketika mereka sudah dilantik. Jadi perwira pun tidak berhenti. Penilaian terus dilakukan. Dan sudah banyak contoh mereka yang terpaksa harus dipecat dari dinas aktif pun sudah banyak," kata Andik dalam jumpa pers di Mabesa pada 13 Agustus 2019 sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com.
Kasus Enzo Allie adalah Gong TNI untuk Bersihkan Tubuhnya dari HTI
Pada 2010 sebuah draf dokumen milik TNI yang dibuat oleh Pusat Pengkajian Strategis (Pusjianstra) TNI bocor. Disebut "draf" karena penulisan pada dokumen ini masih belum mencantumkan tanggal penandatanganannya.
Dokumen berjudul "Menghidupkan Kembali Kekhalifahan Di Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Strategi Mobilisasi dan Dampaknya Bagi Indonesia" ini (akan) diteken oleh Sekretaris Kepala Pusjianstra TNI Kolonel Laut Dr. A. Yani Antariksa.
Dalam dokumen itu tertulis, "HTI adalah gerakan semi-populis. Ini berarti bahwa itu bertujuan untuk mempengaruhi massa untuk menerima tujuan tetapi tidak berarti bahwa mereka harus menjadi anggota HTI.
Salah satu pemimpin HTI mengatakan bahwa "Ini tidak penting bagi kita untuk merekrut setiap orang. Hanya beberapa orang yang dipilih akan cukup untuk perubahan. Namun, massa harus dididik tentang kekhalifahan sehingga ketika saatnya tiba, mereka akan mendukungnya (Dipisah menjadi dua paragraf agar lebih nyaman dibaca)
Jadi, untuk mendukung khilafah, anggota TNI tidak harus menjadi anggota HTI. Namun, anggota TNI itu harus dididik tentang kekhilafahan agar bilamana saatnya tiba, anggota TNI tersebut memberi dukungannya pada gerakan HTI.
Dalam dokumen itu disebutkan aspek terpenting dari strategi HTI adalah membangun jejaring. Dengan strateginya itu, HTI merekrut pemimpin muslim, politisi, wartawan, pegawai negeri sipil, dan juga pemimpin militer.
HTI melebarkan jejaringnya dengan mengundang targetnya sebagai pembicara dalam berbagai forum. Setelah kontak awal ini, para pemimpin HTI akan menyelenggarakan pertemuan rutin dengan para politisi dan mulai memberitakan ideologi Hizbut Tahrir kepada targetnya.