Satu minggu jelang hari H pemungutan suara Pemilu 2019 beredar informasi yang menyebut Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengungguli Jokowi-Ma'ruf Amin di sejumlah negara, antara lain Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yaman, Belgia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Angka kemenangan pasangan nomor urut 02 tersebut tidak tanggung-tanggung. Di Belgia, Jerman, dan Amerika Serikat, pasangan yang diusung Partai Gerindra, Partai Amanat Nasiona, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat tersebut sanggup meraih suara di atas 80 persen. Bahkan di Ukraina Prabowo-Sandi mampu menggulung Jokowi-Ma'ruf dengan angka 96,6 persen.
Sebaliknya, pasangan Jokowi-Ma'ruf  hanya mengungguli Prabowo-Sandi di dua negara, yaitu Taiwan dan Papua Nugini. Itu pun dengan perolehan angka tidak lebih dari 60 persen.
Singkatnya, Prabowo-Sandiaga menang besar atas Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 yang dilangsungkan di luar negeri.
Konon, sebelum mem-viral di sejumlah jejaring media sosial, Informasi yang menyebut kemenangan besar Prabowo-Sandi tersebut lebih dulu beredar lewat layanan WhatsApp. Â Menariknya, sejumlah anggota legislatif pendukung salah satu pasangan calon turut dalam penyebarannya.
Padahal, tanpa perlu banyak mengetahui soal seluk-beluk pelaksanaan pemilu, sudah bisa dipastikan bila informasi tersebut adalah hoax alias tidak benar. Sebab, pernghitungan suara baru dilaksanakan bersamaan waktunya dengan penghitungan suara di tanah air, yaitu 17 April 2019.
Lebih menarik lagi, karena sejumlah anggota legislative turut menyebarkannya, seolah-olah para pendukung Prabowo-Sandi menutup mata atas kebenaran. Mereka seakan-akan ikut serta dalam tarian para pembuat dan penyebar hoax. Atau, mungkin juga, hanya dengan informasi hoax pendukung pasangan nomor urut 02 merasa yakin dapat memenangkan calon yangh didukungnya.Â
Dalam menyikapi informasi hoax, jelas sikap para pendukung Jokowi-Ma'ruf bertolak belakang dengan para pendukung Prabowo-Sandi. Jika mendapati informasi atau konten hoax, para pendukung Jokowi berupaya menangkalnya, bukan malah turut menyebarkannya.
Dalam kasus serupa yang terjadi saat Pilpres 2014, misalnya, pendukung Jokowi-Jusuf Kalla berupaya menangkalnya, meskipun informasi hoax tersebut menguntungkan Jokowi.
Ketika itu, sejumlah media, termasuk Beritasatu.com, memberitakan hasil quick count yang menyebut pasangan Jokowi-JK meraih 75 % suara di Arab Saudi, unggul dari pasangan Prahara yang hanya mencaplok 20 % suara.
Jelas berita tersebut ngawur! Bagaimana mungkin hasil quick count sudah diketahui, wong penghitungan suara di Arab dan negara-negara lainnya baru akan dilakukan pada 9 Juli 2014 nanti bersamaan dengan penghitungan suara di tanah air?
Quick count menurut wikipedia, "a method for verification of election results by projecting them from a sample of the polling stations. Different from an exit poll, voters are not asked who they voted for, projection of results is based on official results of the polling station. Parallel vote tabulation is similar to quick count, but uses whole data instead of samples".
Di situ jelas data quick count berasal dari hasil resmi TPS.
Gampangnya, quick count itu proses pencatatan hasil perolehan suara dari ribuan TPS sample yang dipilih secara acak. Jadi obyek quick count itu rekapitulasi suara di TPS. Rekaputulasi suara di TPS dilakukan setelah kotak suara dibuka. Setelah dibuka, baru surat suara dihitung. Prahara dapat berapa, Jokowi-Jk dapat berapa. Sesuai aturan KPU, kotak suara dari luar negeri baru dibuka pada 9 Juli nanti. Jadi, belum ada penghitungan suara dari Arab. Nah, kalau kotak suaranya saja belum dibuka kunci gembok bersegelnya, bagaimana bisa hasil quick count dirilis.
Kalau yang diberitakan itu hasil exit poll itu baru benar. Sebab exit poll itu hasil survei yang dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada para pemilih usai mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jadi, petugas exit poll yang berada di TPS sample bertanya kepada pemilih dengan interval yang sudah ditentukan, misalnya setiap 3 pemilih yang baru keluar, atau setiap 5 pemilih.
Jadi, kalau quick count baru bisa diketahui setelah pengitungan suara di TPS selesai, exit poll sudah bisa diketahui setelah ada pemilih yang keluar dari TPS. Dengan demikian kalau yang diberitakan Beritasatu itu exit poll, maka berita tersebut bisa dipercaya. Tapi kalau yang diberitakan itu quick count, jelas ngawur.
Bantahan pemberitaan hasil quick count yang menguntungkan Jokowi-Jk tersebut justru dibantah lewat artikel "Quick Count Ngawur: Di Arab Jokowi Raih 75 %, Prabowo Caplok 20 %" yang diunggah di Kompasiana. Dan artikel tersebut di-share oleh sejumlah pendukung Jokowi-JK.
Dari perbedaan antara pendukung Jokowi dengan Prabowo dalam menyikapi peredaran hoax sudah jelas jika pendukung Jokowi berupaya sekuat tenaga agar penyelenggaraan pemilu tidak diwarnai informasi hoax. Sebaliknya, pendukung Prabowo justru menari di atas gendang hoax.
Masalahnya, serentetan hoax yang disebarluaskan oleh para pendukung Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 ini menjurus pada pendelegitimasian pelaksanaan Pilpres 2019. Ujung-ujungnya, hasil Pilpres 2019 akan ditolak. Dan dari penolakan tersebut berpotensi terjadinya chaos yang dapat merontokan keutuhan NKRI.
Dari poin tersebut, sudah menunjukkan jika pendukung Jokowi-Ma'ruf berupaya mempertahankan keutuhan NKRI. Sebaliknya, sejumlah pendukung Prabowo-Sandi justru ingin merontokan NKRI.
Sebenarnya, wajar saja jika sejumlah pendukung Prabowo menghendaki hancurnya NKRI. Sebab, sejumlah kelompok pendukung Prabowo diketahui mencita-citakan berdirinya kekhalifahan islamiyah. Dan, untuk berdirinya kekhalifahan islamiyah, terlebih dahuli NKRI harus dirontokkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H