Karena bahan campurannya, jika cara menanak "beras plastik" sama dengan menanak beras biasa, hasilnya hunkwee atau sama seperti beras yang ditanak oleh Dwi pada 18 Mei 2018.
Karena bahan pembuatnya, "beras plastik" memiliki sejumlah kelebihan dibanding beras biasa, di antaranya, memiliki kandungan protein, serat, vitamin dan mineral tinggi. Selain itu, "beras plastik" ini pun bebas gluten dan berkadar gula rendah.
Karenanya, istilah bagi beras buatan atau beras tiruan bukan "beras plastik", melainkan "beras cerdas". Beras cerdas ini merupakan upaya diversifikasi pangan yang digagas oleh Achmad Subagyo pada 2004.
Dan, sebenarnya, "beras plastik" ini sudah diberitakan oleh sejumlah media pada 2013.
 Maka jelas sudah, bagi sebagian orang yang tidak malas googling, beras plastik adalah sebuah fakta akan kemajuan dalam sektor pangan. Sebaliknya, bagi yang malas googling, beras plastik adalah beras yang terbuat dari bahan polimer. Dengan kata lain, orang yang memercayai isu beras plastik adalah orang yang miskin informasi, atau setidaknya kurang up date.
#BeritaGerindra Beras Plastik, Edhy Prabowo: Kok Bisa Kecolongan: http://t.co/zxUwq8npMT--- Partai Gerindra (@Gerindra) May 21, 2015
Karenanya, ketika kelompok yang malas googling ini bicara atau mengritik kebijakan pangan pemerintah Jokowi, maka kelompok yang tidak malas googling pastinya tidak mungkin menerimanya begitu saja.
Dan, benar saja, ketika mereka meneriakkan tentang pemerintah Jokowi yang dikatakannya gagal dalam menyediakan kebutuhan pangan, fakta yang sebenarnya justru sebaliknya. Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor produk pertanian terus meningkat dari Rp 403,8 triliun pada 2015 menjadi Rp 499,3 triliun pada 2018.
Demikian juga dengan Sandiaga Uno yang kerap kali menarasikan petani bertambah miskin, sebab faktanya jumlah penduduk miskin di desa yang tentu saja mayoritas petani semakin menurun sejak 2015. Jumlah penduduk miskin di desa, menurut BPS, menurun dari 17,74 juta jiwa pada 2013 menjadi 15,81 juta jiwa pada 2018.
Begitu juga dengan bawang merah. Menurut data BPS, nilai ekspor bawang merah dari 2014 ke 2018 meningkat 41,21 persen. Sementara, sejak 2017 Indonesia sudah tidak impor bawang merah lagi. Padahal nilai impor bawang merah pada 2014 tercatat 74,90 ribu ton.
Jadi kalau ada petani bawang merah yang menangis, mungkin bukan lantaran merugi, tetapi karena baru saja mengupas bawang merah untuk memasak nasi goreng. Â Â