Rencananya, pada 2 Desember 2018 ini kelompok yang menamakan dirinya Persaudaraan Alumni 212 akan menggelar Reuni 212. Lewat acara kumpul-kumpul yang mengusung tema "Dengan Tauhid Menuju Kejayaan NKRI" ini, panitia sesumbar akan kembali memutihkan Monas.
Rencana kelompok yang dua tahu lalu menggagas Aksi 212 tersebut sebenarnya sudah tercium sejak jauh hari sebelumnya. Hal ini tak lepas dari pelaksanaan Pilpres 2019. Terlebih dengan majunya kembali Jokowi sebagai capres petahana.
Kelompok ini berpikir jika aksi-aksi yang digelar jelang Pilgub 2017, terutama aksi yang dilangsungkan pada 2 Desember 2016, berhasil menyungkurkan cagub petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Karenanya, kelompok ini pun ingin mengulangi kesuksesannya dalam Pilpres 2019 dengan menumbangkan capres petahana, Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi.
"Ayo kita menangkan mereka, pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno," kata motor Aksi 212, Habib Rizieq Shihab (HRS), lewat rekaman suara yang diputar pada pertemuan kedua GNPF di Grand Cempaka Hotel, Jakarta, pada 16 September 2018) sebagaimana dikutip KOMPAS.COM.
Ada dua isu menarik yang terkait Reuni Alumni 212 ini. Pertama, apakah Prabowo atau Sandi akan menghadirinya? Kedua, apakah perhelatan reuni yang diklaim akan dihadiri oleh 4 juta perserta ini dapat mengulang happy ending seperti sekuel sebelumnya?
Pertanyaan kedua tentu saja tidak mungkin terjawab hanya dengan satu peristiwa reunian. Â Sebab, ending dari Pilpres 2019 masih akan ditentukan oleh sejumlah faktor yang akan muncul belakangan, khususnya jelang Hari-H 19 April 2019.
Jelang beberapa hari menuju Pilpres 2014, misalnya, kata "sinting" yang dilontarkan kader terbaik PKS Fahri Hamzah ketika mengomentari usulan Hari Santri disebut-sebut oleh sejumlah lembaga survei sebagai faktor yang merontokkan elektabilitas Prabowo. Konon, sebelum kata "sinting" terlontar, elektabilitas Prabowo sudah menyalip elektabilitas Jokowi.
Sementara, pertanyaan pertama akan segera menemukan jawabannya. Jawabannya bisa "ya", tetapi bisa juga "tidak".
Namun demikian, kemungkinan besar Prabowo tidak akan menghadiri perhelatan reuni meski digagas dan dihadiri oleh jutaan pendukungnya sendiri. Ada 7 alasan utama bagi Prabowo untuk tidak menghadiri reuni alumni 212.
Prabowo hanyalah "Anak Kos" 212
Saat Pilpres 2009, ketika Prabowo maju sebagai cawapres pendamping Megawati Soukarnoputri, mantan Komandan Kopassus itu menjadi sasaran hujat bermuatan SARA.
Puncaknya Pilgub DKI 2012 , dalam ajang pilkada tersebut Prabowo mengusung Ahok. Begitu memasuki putaran kedua, Prabowo dan Ahok menjadi sasaran kebencian beraroma SARA. Lewat selebaran gelap berisikan kebencian terhadap etnis Tionghoa disebarkan pada akhir Agustus 2012 di sejumlah kawasan di Jakarta, Prabowo dan Ahok dimasukkan ke dalam satu "paket".
Kebencian kepada Prabowo baru mereda bahkan lenyap ketika Ketua Umum Partai Gerindra ini nyapres pada 2014. Sejak saat itu, predikat-predikat negatif yang dilekatkan kepada Prabowo sontak melenyap seolah tak membekas. Malah, sejumlah ormas Islam yang berkumpul di Masjid Kauman Yogyakarta menggelari Prabowo sebagai Panglima Perang Umat Islam.
Banyak yang berpikir jika sejak 2014 Prabowo sudah terikat secara politis dengan kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal ini. Tetapi, tidak sedikit juga yang menduga jika Probowo hanyalah bermain api dengan kelompok-kelompok ini. Mana yang benar?
Beberapa hari jelang batas akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan wapres, hasil ijtima ulama versi kelompok HRS Cs merekomendasikan Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al Jufri dan Abdul Somad sebagai cawapres pendamping Prabowo.
Untuk lebih menguatkan daya tekannya, Â salah seorang pengusul ijtima ulama tersebut HRS dan dklaim sebagai keinginan Allah.
"Isi surat menyatakan jika kepatuhan kepada ulama sama halnya patuh dengan Rasulullah. Tidaklah mungkin ulama sebagai pewaris Nabi akan menyalahgunakan wewenang, bicara menurut hawa nafsunya. Tapi kalau mereka mau istiqomah ya laksanakan. Keputusan ulama atas kesepakatan sosok yang sudah dipilih sama dengan keinginan Allah," kata Sekretaris Umum PA 212 Bernard Abdul Jabbar kepada CNNIndonesia.com pada 4 Agustus 2018.
Tetapi, Prabowo menolak mentah-mentah ijtima ulama. Atau dengan kata lain, Prabowo menolak berdampingan dengan dua figur ulam yang dikenal dekat dengan kelompok 212.
Penolakan tersebut bukan saja membuktikan jika Prabowo tidak berada di bawah ketiak HRS dan kelompok-kelompok Islam pendukungnya, tetapi juga menegaskan bahwa Prabowo tidak ingin berdekatan apalagi berdampingan dengan kelompok Ijtima Ulama yang juga penggagas Reuni Alumni 212.
Perbeda "Lingkungan" antara Prabowo dengan Alumni 212
"Lingkungan" Prabowo dan Gerindra sangat majemuk yang ditandai dengan perbedaan latar belakang agama kader-kadernya. Ada kader Gerindra yang beragama Islam, baik itu Sunni maupun Syiah, Ada kader yang memeluk Kristen. Ada penganut Katolik, Ada yang Hindu. Ada yang Budha. Bahkan, mugkin ada juga yang memeluk Yahudi sebagai agamanya.
Sementara kelompok-kelompok Islam pendukung Prabowo relatif homogen. Bahkan, sebagaian dari kelompok ini dikenal gemar melontarkan kata "kafir" kepada siapa saja yang dianggap berbeda, bahkan kepada penganut Islam sendiri.
Orang-orang di sekitar Prabowo pun sepertinya tidak begitu nyaman berdekatan dengan kelompok-kelompok ini. Bahkan di mata Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo, PKS pun sudah dinilai sebagai kelompok radikal.
Penilaian ini terbaca saat adik kandung Prabowo tersebut menjawab pertanyaan salah satu peserta forum soal radikalisme di Indonesia dalam forum USINDO Washington Special Open Forum Luncheon pada 17 Juli 2013.
"Saya beri satu contoh. Di Kementerian Pertanian, yang dikuasai PKS. 73 PNS beragama Kristen sudah dipecat dalam sembilan tahun terakhir dan belum ada penggantinya. Bahkan sekarang ini tidak ada lagi PNS beragama Kristen di Kementerian Pertanian. Itu pasti berarti sesuatu kan? Jika ini dibiarkan. Anda paham maksudnya kan?" kata Hashim yang dalam forum itu juga menegaskan jika Prabowo pro Amerika Serikat (Sumber:Â Merdeka.com).
Alumni 212 hanyalah Pemilih Prabowo, bukan Pendukung Loyal
Adalah benar jika peserta Reuni 212 adalah calon pemilih Prabowo pada Pilpres 2019. Bahkan ada yang memperkirakan jika kelompok 212 mampu menyedot 20-30 juta pemilih bagi Prabowo. Tetapi, jatuhnya pilihan kepada Prabowo hanyalah karena keterpaksaan belaka, Hal ini diungkapkan PKS lewat anggota mejelis syuronya, Aboe Bakar Al Habsy.
"Cuma dua sih calonnya. Coba ada tiga. Kita pilih yang ketiga. Tapi, karena calonnya dua, ya yang terbaik," ungkapnya.
Komentar kader terbaik PKS ini semakin menegaskan jika Prabowo bukanlah bagian dari keluarga kelompok-kelompok Islam yang memiliki pandangan keagamaan serupa dengan PKS.
Ada sesuatu yang menarik untuk dicari jawabannya. Jika kelompok-kelompok ini mendukung Prabowo pada Pilpres 2019 bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi, kenapa kelompok-kelompok yang sebelumnya begitu anti-Prabowo mendadak mendukung Prabowo saat Pilpres 2014? Padahal ketika itu elektabilitas Prabowo berada di bawah Jokowi.
Sejuta Bendera Hitam Bertuliskan Kalimat Tauhid
Rencananya pada reuni 212 itu juga akan dikibarkan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid. Jumlah yang diklaim pun tidak tanggung-tanggung: 1 juta.
Sebagai calon presiden, Prabowo pastinya menghindari moment-moment yang berpotensi dapat merusak nama baiknya di mata sebagian besar anak bangsa dan juga di mata dunia.
Meskipun dalam radius sekian puluh meter dari Prabowo disterilkan dari bendera hitam yang dikenal sebagai identitas Al Qaeda, tetap saja memungkinkan fotografer untuk menemukan sudut pandang yang menyatukan Prabowo dan bendera hitam dalam satu frame.
Prabowo pastinya sangat tidak menginginkan foto dirinya saat berada di tengah kibaran jutaan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan bendera kelompok teroris Al Qaeda memviral ke mancanegara.
Dan seumur hidup, foto Prabowo saat berada di lautan sejuta bendera hitam tersebut dianggap sebagai panu yang menjamuri nama baik Prabowo.
Prabowo Menjaga Hubungan Baiknya dengan NU
Pengibaran sejuta bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid dalam acara Reuni Alumni 212 pastinya tidak lepas dari insiden pembakaran berdera oleh Banser pada 22 Oktober 2018.
Akibat insiden tersebut, hubungan Banser dengan kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal semakin memanas dan menempatkan keduanya pada dua kutub yang saling berhadapan. Ketegangan tersebut mau tidak mau menyeret NU sebagai "orang tua" Banser.
Sementara hubungan Prabowo dengan NU jauh lebih dekat ketimbang dengan kelompok yang tengah berseteru dengan Banser. Bahkan, menurut PBNU, kasta Prabowo lebih tinggi dari Mahfud MD, lantaran Prabowo memiliki kartu anggota NU sedangkan Mahfud tidak.
Kedekatan dengan NU ini pun ditegaskan Prabowo lewat kisah masa lalunya. Prabowo menceritakan pengalamannya yang mendatangi kyai untuk didoakan sebelum turun ke medan perang. Malah, karena sudah siap mati, Prabowo pun minta dimandikan.
Dalam ceritanya tersebut, Prabowo menyebut "kyai" yang identik dengan NU, bukan ustadz yang banyak digunakan oleh ulama kelompok 212 sebagai gelar.
Prabowo tahu persis jika mayoritas warga NU akan memilih Jokowi. Tetapi, hubungan baik dengan NU harus tetap dijaganya. Karena bagaimana pun juga Prabowo dan keluarga besar Gerindra yang dipimpinnya lebih berkultur NU ketimbang kelompok yang akan menggelar kumpul-kumpul pada 2 Desember 2018.
Sebenarnya masih ada serentetan alasan lagi bagi Prabowo untuk tidak menghadiri Reuni Alumni 212. Misalnya, ketidakjelasan posisi HRS. Sebab, sebelum 2014, HRS dan FPI yang dipimpinnya diketahui memiliki hubungan sangat dekat dengan Wiranto yang dikenal sebagai seteru Prabowo sejak 1998. Mendadak lompat pagarnya HRS pada 2014 inilah yang patut diwaspadai oleh Prabowo.
Bukan hanya itu, bocoran gosip Wikileaks yang menyebut adanya aliran dana dari BIN dan Polri kepada FPI pastinya menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi Prabowo untuk berdekatan dengan ormas yang mendapat cap radikal ini.
Belum lagi jika gelaran kumpul-kumpul yang salah satunya dimotori oleh FPI itu kemudian dikaitkan dengan Maklumat FPI tentang ISIS yang dikeluarkan pada 8 Agustus 2014.
Pada poin 5 maklumat yang ditandatangani oleh HRS selaku Imam Besar FPI tersebut dinyataka FPI mendukung seruan dan nasehat pimpinan Al Qaeda Syeikh Aiman Az Zhowahiri bahwa seluruh komponen jihad Al Qaida, baik pasukan Syaikh Muhammad Al Jaulani di Syria maupun pasukan Syeikh Abu Bakar Al Baghdadi di Iraq, serta komponen jihad Al Qaeda lainnya agar bersatu dan bersaudara dengan segenap mujahidin Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan jihad di Syria, Iraq. Palestina, dan negara-negara Islam lainnya yang tertindas.
Dan, sudah menjadi rahasia umum jika ISIS yang dipimpin Abu Bakar Al Baghdadi mengeluarkan ancaman akan membantai TNI. Polri, Densus, serta Banser. Sementara, Prabowo yang juga mantan perwira tinggi berpangkat bintang tiga merupakan bagian dari keluarga besar TNI.
Maklumat FPI ini pun menjadi satu dari 7 alasan bagi Prabowo untuk tidak menghadiri Reuni Alumni 212. Karenanya, bagi Prabowo, menghadiri kumpul-kumpul Alumni 212 sama saja dengan membunuh dirinya sendiri.
Baca juga:
Di Kancah Media, Prabowo Ungguli Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H